Sunday, 24 November 2024, 06:05

CATATAN KRITIS UNTUK ISLAM LIBERAL*

Meskipun kelahiran JIL (Jaringan Islam Liberal) Maret 2001 nampaknya membawa hal baru bagi sebagian orang, namun sesungguhnya ia bukanlah sama sekali baru. Agenda-agenda JIL sesungguhnya adalah kepanjangan imperialisme Barat? atas Dunia Islam yang sudah berlangsung sekitar 2-3 abad terakhir. Hanya saja, bentuknya memang tidak lagi telanjang, tetapi mengatasnamakan Islam. Jadi istilah “Islam Liberal� bukanlah suatu kebetulan, namun sebuah istilah yang dipilih dengan sengaja untuk mengurangi kecurigaan umat Islam dan sekaligus untuk menobatkan diri (sendiri) bahwa “Islam Liberal� adalah bagian dari Islam, seperti halnya jenis-jenis pemahaman Islam lainnya (www.islamlib.com). Sesungguhnya “Islam Liberal� adalah peradaban Barat yang diartikulasikan dengan bahasa dan idiom-idiom keislaman. Islam hanyalah kulit atau kemasan. Namun saripati atau substansinya adalah peradaban atau ideologi Barat, bukan yang lain.

Untuk membuktikan deklarasi di atas, baiklah kita lihat dua dasar argumentasinya. Yaitu : (1) hakikat imperalisme itu sendiri, dan (2) kerangka ideologi Barat (kapitalisme). Pemahaman hakikat imperialisme akan menjadi landasan untuk memilah apakah suatu agenda termasuk aksi imperalisme atau bukan. Sedang kerangka ideologi kapitalisme, akan menjadi dasar untuk menilai apakah sebuah pemikiran termasuk dalam ideologi kapitalisme atau bukan, atau untuk mengevaluasi sebuah metode berpikir, apakah ia metode berpikir kapitalistik atau bukan.

Imperalisme
Imperialisme (al-isti’mar) itu sendiri, menurut Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Mafahim Siyasiyah li Hizb At-Tahrir (1969:13) adalah pemaksaan dominasi politik, militer, budaya dan ekonomi atas negeri-negeri yang dikalahkan untuk kemudian dieksploitasi. Dua kata kunci imperialisme yang patut dicatat : pemaksaan dominasi, dan eksploitasi. Maka jika sebuah negara melakukan aksi imperalisme atas negara lain, artinya, negara penjajah itu akan memaksakan kehendaknya? kepada negara lain, sehingga negara yang dijajah itu mau tak mau harus mengikuti negara penjajah dalam hal haluan politik, program ekonomi rancangannya, budaya dan cara berpikirnya, serta pembatasan dan penggunaan sarana militernya. Semua ini adalah demi keuntungan negara penjajah sendiri. Jika negara yang dijajah menolak atau melawan, ia akan mendapat sanksi dan hukuman dari sang penjajah. Inilah hakikat imperialisme.

Imperialisme ini, menurut An-Nabhani (1969:13), adalah metode (thariqah) baku –tak berubah-ubah– untuk menyebarluaskan ideologi kapitalisme, yang berpangkal pada sekularisme, atau pemisahan agama dari kehidupan (fashl al-din â€?an al-hayah). Tak mungkin ada penyebarluasan kapitalisme, kecuali melalui jalan imperialisme. Atau dengan kata lain, manakala negara penganut kapitalisme ingin menancapkan cengkeramannya pada negara lain, ia akan melakukan aksi-aksi imperialisme dalam segala bentuknya, baik dalam aspek politik, militer, budaya, dan ekonomi. Berhasil tidaknya aksi imperalisme ini, diukur dari sejauh mana ideologi kapitalisme tertanam dalam jiwa penduduk negeri jajahan dan sejauh mana negara penjajah mendapat manfaat dari aksi penjajahannya itu. Jika penduduk negeri jajahan sudah mengimani kapitalisme –yang berpangkal pada paham sekularisme–? atau dari negeri itu dapat diambil berbagai keuntungan bagi kepentingan imperialis, berarti aksi imperialisme telah sukses.

Kerangka Ideologi Kapitalisme
Kapitalisme pada dasarnya adalah nama sistem ekonomi yang diterapkan di Barat. Milton H. Spencer (1977) dalam Contemporary Macro Economics mengatakan bahwa kapitalisme adalah sistem organisasi ekonomi yang bercirikan kepemilikan individu atas sarana produksi dan distribusi, serta pemanfaatan sarana produksi dan distribusi itu untuk memperoleh laba dalam mekanisme pasar yang kompetitif (lihat juga A. Rand, Capitalism: The Unknown Ideal, New York : A Signet Book, 1970). Karena fenomena ekonomi ini sangat menonjol dalam peradaban Barat, maka, menurut Taqiyyudin An Nabhani, kapitalisme kemudian digunakan juga untuk menamai ideologi yang ada di negara-negara Barat, sebagai sistem sosial yang menyeluruh (An Nabhani, Nizham Al-Islam, 2001:26; W. Ebenstein, Isme-Isme Dewasa Ini? (terjemahan), Jakarta : Erlangga, 1990).

Sebagai sebuah ideologi (Arab : mabda’), kapitalisme mempunyai aqidah (ide dasar) dan ide-ide cabang yang dibangun di atas aqidah tersebut. Aqidah di sini dipahami sebagai pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia. Aqidah kapitalisme adalah pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), sebuah ide yang muncul di Eropa sebagai jalan tengah antara dua ide ekstrem, yaitu keharusan dominasi agama (Katolik) dalam segala aspek kehidupan, dan penolakan total eksistensi agama (Katolik). Akhirnya, agama tetap diakui eksistensinya, hanya saja perannya dibatasi pada aspek ritual, tidak mengatur urusan kehidupan seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya (An-Nabhani, 2001:28).

Di atas aqidah (ide dasar) sekularisme ini, dibangunlah berbagai ide cabang dalam ideologi kapitalisme, seperti demokrasi dan kebebasan. Ketika cabang agama sudah dipisahkan dari kehidupan, berarti agama dianggap tak punya otoritas lagi untuk mengatur kehidupan. Jika demikian, maka manusia itu sendirilah yang mengatur hidupnya, bukan agama. Dari sinilah lahir demokrasi, yang berpangkal pada ide menjadikan rakyat sebagai sumber kekuasaan-kekuasaan (legislatif, eksekutif, yudikatif) sekaligus pemilik kedaulatan (pembuat hukum) (An-Nabhani, 2001:27).

Demokrasi ini, selanjutnya membutuhkan prasyarat kebebasan. Sebab tanpa kebebasan, rakyat tidak dapat mengekspresikan kehendaknya dengan sempurna, baik ketika rakyat berfungsi sebagai sumber kekuasaan, maupun sebagai pemilik kedaulatan. Kebebasan ini dapat terwujud dalam kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk), kebebasan berpendapat? (hurriyah al-ar`y), dan kebebasan berperilaku (al-hurriyah asy-syakhshiyyah) (Abdul Qadim Zallum, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, 1993).

Mengkritisi JIL
Paparan dua pemikiran di atas, yaitu tentang imperialisme dan kerangka ideologi kapitalisme, dimaksudkan sebagai pisau analisis untuk membedah JIL, untuk menjawab pertanyaan : Benarkah agenda-agenda JIL adalah kepanjangan imperialisme Barat ? Benarkah ide-ide JIL adalah ideologi? kapitalisme berkedok Islam ?

Jawabnya : IYA. Mengapa ? Sebab agenda-agenda dan ide-ide JIL dapat dipahami dalam kerangka kepanjangan imperalisme Barat atas Dunia Islam. Selain itu, ide-ide JIL itu sendiri, dapat dipahami sebagai ide-ide pokok dalam ideologi kapitalisme, yang kemudian dicari-cari pembenarannya dari khazanah Islam.

Mereka yang mencermati dan mengkritisi agenda dan pemikiran JIL, kiranya akan menemukan benang merah antara imperialisme Barat dan agenda JIL. Adian Husaini dan Nuim Hidayat dalam bukunya Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabanya (2002:3) mengutip Luthfi Asy-Syaukanie, bahwa setidaknya ada empat agenda utama Islam Liberal, yaitu agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekpresi. Dalam agenda politik, misalnya, kaum muslimin “diarahkan� oleh JIL untuk mempercayai sekularisme, dan menolak sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Perdebatan sistem pemerintahan Islam, kata Luthfi Asy-Syaukanie, dianggap sudah selesai, karena sudah ada para intelektual seperti Ali Abdur Raziq (Mesir), Ahmad Khalafallah (Mesir), Mahmud Taleqani (Iran), dan Nurcholish Madjid (Indonesia) yang mengatakan bahwa persoalan tersebut adalah masalah itjihadi dan diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin (Ibid.).

Pertanyaannya adalah, sejak kapan kaum muslimin menganggap persoalan ini “sudah selesai�? ? Apakah sejak Ali Abdur Raziq menulis kitabnya Al-Islam wa Ushul Al-Hukm (1925) yang sesungguhnya adalah karya orientalis Inggris Thomas W. Arnold ? Apakah sejak Khilafah di Turki dihancurkan pada tahun 1942 oleh gembong imperalis, Inggris, dengan menggunakan Mustahafa kamal ? Apakah sejak negara-negara imperalis melalui penguasa-penguasa Dunia Islam yang kejam menumpas upaya mewujudkan kembali sistem pemerintahan Islam ? Dan juga, apakah nama-nama intelektual yang disebut Luthfi cukup respresentatif mewakili umat Islam seluruh dunia di sepanjang masa, ataukah mereka justru menyuarakan aspirasi penjajah ?

Yang ingin disampaikan adalah, persoalan hubungan agama dan negara, memang boleh dikatakan sudah selesai, di negara-negara Barat. Namun persoalan ini jelas belum selesai di Dunia Islam (Th. Sumartana, “Kata Pengantar� dalam Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, 2002:xvii-xviii). Dari sini dapat dipahami, bahwa tugas JIL adalah membuat selesai persoalan yang belum selesai ini. Maka ada kesejajaran antara agenda politik JIL ini dengan aksi imperliasme Barat, yang selalu memaksakan sekularisme atas Dunia Islam dengan kekerasan dan darah.

Agenda-agenda lainnya di bidang toleransi (pluralisme agama), misalnya anggapan semua agama benar dan tak? boleh ada truth claim, agenda emansipasi wanita, seperti menyamaratakan secara absolut peran atau hak pria dan wanita tanpa kecuali (dan tanpa ampun), dan agenda kebebasan berekspresi, seperti hak untuk tidak beragama (astaghfirullah), tak jauh bedanya dengan agenda politik di atas. Semua ide-ide ini pada ujung-ujungnya, pada muaranya, kembali kepada ideologi dan kepentingan imperialis. Sulit sekali –untuk tak mengatakan? mustahil—mencari akar pemikiran-pemikiran tersebut dari Islam itu sendiri secara murni, kecuali setelah melalui pemerkosaan teks-teks Al-Qur’an dan As- Sunnah. Misalnya teologi pluralisme yang menganggap semua agama benar, sebenarnya berasal dari hasil Konsili Vatikan II (1963-1965) yang merevisi prinsip extra ecclesium nulla salus (di luar Kattolik tak ada keselamatan) menjadi teologi inklusif-pluralis, yang menyatakan keselamatan dimungkinkan ada di luar Katolik. (Husaini & Hidayat, op.cit., hal.110-111). Infiltrasi ide tersebut ke tubuh umat Islam dengan justifikasi QS Al-Baqarah : 62 dan QS Al-Maidah : 69 jelas sia-sia, karena kontradiktif dengan ayat-ayat yang menegaskan kebatilan agama selain Islam (QS Ali Imran : 19, QS At-Taubah : 29).

Agenda-agenda JIL tersebut jika dibaca dari perspektif kritis, menurut Adian Husaini dan Nuim Hidayat, bertujuan untuk menghancurkan Aqidah Islamiyah dan Syariah Islamiyah (Ibid., hal.81 & 131). Tentunya mudah dipahami, bahwa setelah Aqidah dan Syariah Islam hancur, maka sebagai penggantinya adalah aqidah penjajah (sekularisme) dan syariah penjajah (hukum positif warisan penjajah yang sekularistik). Di sinilah titik temu agenda JIL dengan proyek imperalisme Barat. Maka, sungguh tak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa agenda JIL adalah kepanjangan imperalisme global atas Dunia Islam yang dijalankan negara-negara Barat kapitalis, khususnya Amerika Serikat.

Ini dari segi kaitan agenda JIL dengan imperialisme. Adapun ide-ide JIL itu sendiri, maka berdasarkan kerangka ideologi kapitalisme yang telah disinggung secara singkat diatas, dapatlah kiranya dinyatakan bahwa ide-ide JIL sesungguhnya adalah ide-ide kapitalisme. Luthfi Asy-Syaukanie (ed.) dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002) telah berhasil menyajikan deskripsi dan peta ide-ide JIL. Jika dikritisi, kesimpulannya adalah di sana ada banyak imitasi (baca:taqlid) sempurna terhadap ideologi kapitalisme. Tentu ada kreativitas dan modifikasi. Khususnya pencarian ayat atau hadits atau preseden sejarah yang kemudian ditafsirkan secara paksa agar cocok dengan kapitalisme.

Ide-ide kapitalisme itu misalnya : (1) sekularisme, (2) demokrasi, dan (3) kebebasan. Dukungan kepada sekularisme –pengalaman partikular Barat— nampak misalnya dari penolakan terhadap bentuk sistem pemerintahan Islam (Ibid., hal. xxv), dan penolakan syariat Islam (Ibid., hal.30). Demokrasi pun begitu saja diterima tanpa nalar kritis dan dianggap kompetibel dengan nilai-nilai Islam seperti �adl (keadilan), persamaan (musawah), dan syura (Ibid., hal. 36). Kebebasan yang absolut tanpa mengenal batas –yang nampaknya? sangat disakralkan JIL–didukung dalam banyak statemen dengan beraneka ungkapan : “tidak boleh ada pemaksaan jilbab� (Ibid., hal. 129), “harus ada kebebasan tidak beragam� (Ibid., hal. 135), “orang beragama tidak boleh dipaksa.� (Ibid., hal. 139 & 142), dan sebagainya.

Kentalnya ide-ide pokok kapitalisme dan berbagai derivatnya ini, masih ditambah dengan suatu metode berpikir yang kapitalistik pula, yaitu menjadikan ideologi kapitalisme sebagai standar pemikiran. Ide-ide? kapitalisme diterima lebih dulu secara taken for granted. Kapitalisme dianggap benar lebih dulu secara absolut, tanpa pemberian peluang untuk didebat (ghair qabli li an-niqasy) dan tanpa ada kesempatan untuk diubah (ghair qabli li at-taghyir). Lalu ide-ide kapitalisme itu dijadikan cara pandang (dan hakim!) untuk menilai dan mengadili Islam. Konsep-konsep Islam yang dianggap sesuai dengan kapitalisme akan diterima. Tapi sebaliknya kalau bertentangan dengan kapitalisme, akan ditolak dengan berbagai dalih. Misalnya penolakan JIL terhadap konsep dawlah islamiyah (negara Islam) (Ibid., hal. 291), yang berarti konsep ini dihakimi dan diadili dengan persepktif sekuler yang merupakan pengalaman sempit dan partikular dari Barat. Padahal sekularisme adalah konsep lokal (Barat), dan tidak bisa dipaksakan secara universal atas Dunia selain-Barat Th, Sumartana mengatakan :

“Apa yang sudah terjadi di Barat sehubungan dengan hubungan antara agama dan negara, sesungguhnya dari awal bercorak lokal dan berlaku terbatas, tidak universal. Dan prinsip-prinsip yang dilahirkannya bukan pula bisa dianggap sebagai resep mujarab untuk mengobati komplikasi yang terjadi antara negara dan agama di bagian dunia yang lain.� (Th. Sumartana, “Kata Pengantar� dalam Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal,? 2002:xiv).

Dan patut dicatat, sekularisme tak pernah menjadi konsep yang berlaku di Dunia Islam seperti saat ini, kecuali melalui jalan imperalisme Barat yang kejam, penuh darah, dan tak mengenal perikemanusian.

Penutup
Kesimpulan paling sederhana dari uraian di atas adalah bahwa agenda-agenda JIL tak bisa dilepaskan dari imperalisme Barat atas Dunia Islam. Ide-ide yang diusung JIL pun sebenarnya palsu, karena yang ditawarkan adalah kapitalisme, bukan Islam. Agar laku, lalu diberi label Islam. Islam hanya sekedar simbol, bukan substansi ide JIL. Jadi JIL telah menghunus dua pisau yang akan segera ditusukkan ke tubuh umat Islam, yaitu pisau politis dan pisau ideologis. Semua itu untuk menikam umat, agar umat Islam kehabisan darah (baca:karakter Islamnya) lalu bertaqlid buta kepada JIL dengan menganut peradaban Barat.

Jika memang dapat dikatakan bahwa JIL adalah bagian dari proyek imperalisme Barat, maka JIL sebenarnya mengarah ke jalan buntu.? Tidak ada perubahan apa pun. Tidak ada transformasi apa pun. Sebab yang ada adalah legitimasi terhadap dominasi dan hegemoni kapitalisme (yang, toh, sudah berlangsung). Dan pada saat yang sama, yang ada adalah pementahan dan penjegalan perjuangan umat untuk kembali kepada Islam yang hakiki, yang terlepas dari hegemoni kapitalisme.

Jadi, Anda masih percaya JIL ? Kalau begitu, saya ucapkan selamat jalan menuju jalan buntu. Semoga tidak nabrak. [Muhammad Shiddiq Al Jawi**]
– – – – –
*? Disampaikan dalam Seminar Nasional dan Bedah Buku “Wajah Liberal Islam di Indonesia�, diselenggarakan oleh HMJ Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro, di Auditorium UNDIP Pleburan, Semarang, pada hari Selasa 8 Oktober 2002.
**? Aktivis Hizbut Tahrir.