gaulislam edisi 530/tahun ke-11 (29 Rabiul Awwal 1439 H/ 18 Desember 2017)
Reuni Alumni 212 sudah jauh berlalu. Itu awal bulan ini. Namun judul ini tetap dipilih karena tujuan tertentu. Oya, jangan lupakan yang masih hangat kemarin (17/12/2017), yakni Aksi Peduli Palestina, di tempat yang sama dengan Aksi 212, Monas. Berbahagialah kita, sebab imbas perjuangan sebelumnya insya Allah kian mengokohkan ikatan kaum muslimin, semoga berimbas pada perjuangan kelak yang lebih ‘bergengsi’.
Oya, ngomongin 212, bagi sebagian orang yang masa remajanya di tahun 80-an sampe 90-an, manakala disebutkan angka 212, maka yang akan kebayang biasanya adalah kesaktian sekaligus kekonyolan seseorang tokoh dalam cerita fiksi berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212, Wiro Sableng.
Tapi itu dulu lho, Bro and Sis. Karena di zaman now, jika disebutkan istilah 212, ingatan orang-orang nggak melulu hanya tertuju pada Si Wiro Sableng itu, yang hanya merupakan tokoh fiksi, buah khayal dari seorang pengarang bernama Bastian Tito. Namun, ingatan orang-orang juga akan mengingat sebuah fakta berupa sebuah aksi massa besar bertajuk Aksi Bela Islam jilid III, yang pada akhirnya dikenal sebagai ‘Aksi 2 Desember’ atau ‘ Aksi Super Damai 212’. Terjadi pada 2 Desember 2016. Aksi ini digelar di Monas dalam rangka untuk membela kehormatan kitab suci umat Islam sedunia, al-Quran al-Karim dari mulut kotor seorang penista, Basuki T Purnama alias Ahok.
Dikatakan jilid ke tiga, karena sebenarnya aksi ini adalah yang ketiga kalinya lho, Bro and Sis. Tercatat, jilid pertama dari aksi ini digelar pada 14 Oktober 2016. Aksi jilid pertama ini digelar di depan Balai Kota DKI Jakarta. Jilid kedua tercatat digelar pada 4 November 2016 sehingga dikenal juga dengan Aksi Damai 411. Menghadirkan jumlah massa yang jauh lebih besar, aksi ini digelar di depan Istana Negara.
Jumlah peserta Aksi 212 jauh lebih banyak lagi dari aksi di jilid ke dua sehingga sukses memutihkan kawasan Monas dan sekitarnya. Kaum muslimin pada saat itu kompak bersatu, melupakan perbedaan remeh-temeh yang selama ini seringkali menjadi penyekat persatuan di antara mereka. Aksi tersebut berbuah keoknya Ahok di Pilgub DKI, lalu si penista yang pada awalnya kebal hukum, akhirnya jadi tersangka dan dibui.
Bersatu dalam harapan
Bro and Sis pembaca gaulislam, diakui atau nggak, mengumpulkan kaum muslimin dari berbagai kelompok dan golongan sebenarnya susah, lho. Kok bisa begitu? Ya, coba kamu lihat kondisi di sekitarmu. Betapa perbedaan kecil saja sudah cukup mampu membuat sesama kaum muslimin berantem, atau seenggaknya, saling diem-dieman menahan dongkol. Misalnya, persoalan qunut atau nggak ketika shalat Subuh, atau persoalan dzikir dan doa bersama atau nggak usai shalat berjamaah.
Selain itu, betapa umat Islam saat ini gemar sekali mengunggulkan kelompok atau haraqahnya sendiri. Seolah-olah, hanya kelompoknyalah yang paling benar. Efeknya adalah, ogah ngumpul dengan anggota haraqah lainnya. Akrab dengan yang sekelompok, namun bersikap dingin dan saling membelakangi dengan yang beda kelompok.
Kondisi kaum muslimin saat ini persis sebagaimana yang telah digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, yakni ibarat buih di lautan. Coba kamu perhatikan buih di lautan. Jumlahnya memang banyak, tapi lemah sekali. Mudah diombang-ambingkan gelombang laut. Centang perenang, nggak banyak yang bisa dilakukan.
Kaum muslimin saat ini juga nggak ada bedanya dengan sapu lidi yang lidinya tercerai berai. Lidi, jika ia hanya sebatang, ia akan sangat rapuh, mudah dipatahkan orang. Akan tetapi manakala lidi-lidi bersatu di bawah satu ikatan, maka mereka akan sangat kuat.
Sama halnya dengan persatuan kaum muslimin. Meskipun susah, tapi penting bagi kaum muslimin saat ini untuk bersatu. Mengesampingkan perbedaan, melihat persamaan. Kenapa? Karena sudah cukup banyak penderitaan dan kerugian yang dialami kaum muslimin saat ini.
Ya, ini terjadi karena nggak mau bersatu, para musuh Islam pun bersorak gembira. Dengan mudah mereka bisa menguasai negeri-negeri kaum muslimin. Menjarah secara halus sumber daya alamnya. Menyebarkan paham-paham menyesatkan di tengah-tengah kehidupan kaum muslimin. Merusak moral para generasi mudanya.
Kejadian paling baru dan menyakitkan, adalah pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mendeklarasikan Yerusalem sebagai Ibukota Israel. Ini kan keterlaluan. Kaum muslimin di seluruh dunia memang marah dan mengecam, tapi para pemimpin negeri-negeri muslim tak ada satu pun yang bergerak mengirimkan pasukan untuk membela rakyat Palestina dan melawan Zionis Israel.
Lihatlah sobat gaulislam, karena nggak mau bersatu, musuh-musuh Islam dengan gampangnya melakukan genosida terhadap kaum muslimin Rohingya. Mereka nggak takut lagi, bahwa akan ada gelombang serangan balasan dari tentara-tentara kaum muslimin seluruh dunia. Semuanya hanya cukup mengecam, nggak ada langkah konkrit yang bisa dilakukan karena wilayah kaum muslimin saat ini terpecah-pecah oleh batas negara masing-masing. Berani mengirimkan tentara ke Rohingya, maka siap-siap akan dicap melanggar kedaulatan dan urusan dalam negeri negara lain.
Fakta juga menunjukkan dengan jelas, bahwa bertahun-tahun lamanya penjajahan Israel atas Palestina berlangsung. Israel dengan keji dan membabi buta merampas wilayah-wilayah Palestina. Tak terhitung sudah korban jiwa, luka, dan hilang di pihak Palestina. Namun demikian, Israel sama sekali nggak merasa khawatir, karena meskipun mereka menjajah Palestina secara terang-terangan, negeri kaum muslimin yang lain nggak akan ada yang sudi mengirimkan tentaranya untuk membela Palestina. Mereka sibuk dengan urusan dan kepentingan negara masing-masing.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya), “Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan saling berempati bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya merasakan sakit, maka seluruh tubuh turut merasakannya dengan berjaga dan merasakan demam.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ya, kaum muslimin seharusnya ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seharusnya anggota tubuh yang lain akan ikut merasakan sakit. Nggak hanya ikut merasa sakit, tapi juga akan berusaha mencari cara guna menghentikan rasa sakit itu.
Misalnya saja, jarimu ada yang tertusuk jarum berkarat. Maka, mulut akan ikut mengaduh, kepala nut-nutan, mata terbelalak, dan kaki akan segera melangkah mencari obat atau puskesmas terdekat.
Maka di tengah situasi yang demikian adanya, ketika tiba-tiba umat bisa disatukan pada saat aksi damai 212, ini membuktikan bahwa masih ada harapan umat ini bisa bersatu, mengingat peserta aksi 212 ini datang dari beragam kelompok umat Islam di Indonesia.
Akidah Islam itu pemersatu
Ini membuktikan, bahwa seberapa pun besar perbedaan, umat Islam satu dengan yang lain tetap memiliki satu ikatan yang nggak akan pernah pudar sampai kapan pun. Ikatan apa itu? Itulah ikatan akidah islamiyyah, dimana kaum muslimin disatukan oleh persamaan akidah mereka. Sama-sama Allah Ta’ala Tuhannya, sama-sama al-Quran kitab sucinya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam nabinya. Maka sepanjang seseorang itu muslim, maka ikatan-ikatan ini nggak akan pernah pudar sampai kapan pun. Percayalah.
Maka harusnya, ikatan inilah yang dikedepankan oleh kaum muslimin. Karena jika umat ini masih getol menonjolkan kelompoknya, maka selama itu pula umat ini nggak akan pernah bersatu. Beneran!
Ikatan akidah islamiyyah inilah yang mampu membuat musuh-musuh Islam gentar. Apalagi jika ikatan ini diperkuat lagi dengan adanya institusi negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh, maka hal ini akan semakin menjadikan musuh-musuh Islam gentar.
Sobat gaulislam, memang betul bila dikatakan, bahwa bersatunya umat dalam aksi bela Islam belumlah ideal. Semangat dari aksi ini harus terus dilanjutin lagi. Nggak hanya karena sebab Ahok yang menista al-Quran, melainkan dalam rangka menegakkan Islam secara menyeluruh. Sebab, ketika Islam diterapkan secara menyeluruh, musuh-musuh Islam tentunya akan gentar, nggak akan berani menista al-Quran, Islam, dan kaum muslimin lagi.
Namun demikian, adanya aksi bela Islam ini patut kita syukuri, ini sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwa kaum muslimin di Indonesia masih banyak yang peduli dengan persoalan Islam dan kaum muslimin.
So, diakui atau nggak, sebenarnya pangkal dari segala macam permasalahan yang menimpa kaum muslimin saat ini adalah terkait dengan persatuan umat, yang diawali oleh runtuhnya institusi pemersatu umat Islam (Khilafah Islamiyah) di Turki. Sejak saat itu, wilayah kaum muslimin terpecah-pecah menjadi puluhan negara, dimana antar negara dipisahkan oleh yang namanya batas teritorial, nasionalisme.
Sejak saat itulah, kaum muslimin menjadi lemah dan terbelakang. Antara negeri Islam yang satu dengan yang lain bahkan ada yang saling serang, hanya karena masalah sepele, padahal dulu mereka adalah satu.
Nah, karena sudah lemah pula, para imperialis juga lebih leluasa menjarah kekayaan alam yang ada di negeri-negeri muslim. Contoh paling dekat dengan kita adalah terkait dengan Freeport. Betapa emas yang seharusnya dimiliki oleh negeri ini, malah diangkut oleh asing. Kita hanya dapat sedikit sekali. Harusnya, yang paling merasakan kemakmuran akibat adanya tambang emas besar itu adalah masyarakat sekitar. Namun lihat, mereka tetap miskin, tetap terbelakang.
Lalu apa yang dilakukan oleh penguasa negeri ini? Bertahun-tahun, secara turun-temurun, penguasa negeri ini nggak bisa berbuat apa-apa, bahkan cenderung melindungi aktivitas Freeport di sana dengan menempatkan polisi untuk menjaga kepentingan asing tersebut. Ini nggak akan terjadi apabila Islam masih berkuasa. Kekayaan alam berupa emas itu tentunya akan diperuntukkan sebesar-besarnya guna kemakmuran rakyat, terutama mereka yang tinggal di sekitar tambang emas itu.
Jadi jelas, bahwa persatuan bagi kaum muslimin itu sangat penting untuk diperjuangkan. Tanpa persatuan, maka nggak ada kekuatan. Kita kaum muslimin senantiasa dialihkan perhatiannya oleh hal-hal yang sebenarnya nggak begitu penting untuk diperhatikan, semisal pernak-pernik duniawi yang remeh-temeh atau perbedaan masalah fikih diantara kelompok atau organisasi keislaman.
Sobat gaulislam, menghadapi situasi semacam ini, apa yang bisa dilakukan oleh kita para remaja? Mari sesuaikan dengan kemampuan kita masing-masing. Mulailah dengan hal-hal kecil, misalnya aktif di rohis, mengedukasi dan mengajak teman-teman untuk rajin ibadah, punya tujuan hidup dan mau ngaji, serta berdakwah untuk kemaslahatan umat.
Jika kamu mempunyai kemampuan lebih, misalnya jago nulis, ngomong, desain grafis, bikin film pendek, dan lain sebagainya, manfaatkan itu untuk dakwah. Mudah-mudahan, dengan kemampuan lebih itu, kamu bisa menjangkau lebih banyak orang. Siap nggak? Insya Allah. Ya, tetap semangat belajar dan berdakwah. [Farid Ab | Twitter @badiraf]