Friday, 22 November 2024, 14:32

Oleh: Revrisond Baswir (Dewan Pakar Koalisi Anti Utang)

Indonesia adalah negara miskin produsen minyak. Produksi minyak Indonesia, sebagaimana dapat disimak dalam berbagai edisi Nota Keuangan, rata-rata mencapai di atas satu juta barel per hari. Tahun 2003 dan 2004, produksi minyak Indonesia mencapai 1,09 juta barrel dan 1,15 juta barel per hari. Sedangkan untuk tahun 2005, produksi minyak Indonesia diproyeksikan mencapai 1,12 juta barel per hari.

Sebagian produksi minyak Indonesia, dengan pertimbangan bahwa kualitas dan harganya jauh lebih tinggi, diekspor ke negara lain. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri, Indonesia mengimpor minyak dengan kualitas dan harga yang lebih rendah dari negara lain. Hasil ekpor minyak dan gas Indonesia untuk tahun 2003 dan 2004 mencapai US$15,2 miliar dan US$19,6 miliar. Sedangkan impor minyak dan gas Indonesia untuk kedua tahun yang sama masing-masing mencapai US$7,8 miliar dan US$11,5 miliar. Untuk tahun 2005, ekspor dan impor minyak dan gas Indonesia diproyeksikan mencapai US$19,7 miliar dan US$11,3 miliar.

Menyimak angka-angka tersebut dapat disaksikan betapa hasil ekspor minyak dan gas Indonesia sejauh ini masih tetap mengalami surplus. Sebab itu, sebagai negara miskin produsen minyak, sebenarnya sangat wajar bila harga BBM di Indonesia lebih murah daripada harga BBM di pasar internasional. Harga BBM yang lebih mahal, yang terus menerus di sesuaikan dengan harga BBM di pasar internasional, tidak hanya akan memberatkan beban hidup rakyat, tetapi juga akan menghambat mobilitas, dan dengan demikian akan membatasi peluang rakyat untuk keluar dari perangkap kemiskinan.

Tetapi pemerintah rupanya memiliki pandangan lain. Dalam pandangan pemerintah, harga BBM yang lebih murah daripada harga BBM di pasar internasional, yaitu yang memperoleh subsidi dari negara, selain akan membebani anggaran negara, juga cenderung menimbulkan distorsi terhadap bekerjanya mekanisme pasar. Sebagaimana terungkap dalam advertorial sosialisasi pengurangan subsidi BBM yang diterbitkan pemerintah di berbagai media massa, subsidi BBM diyakini oleh pemerintah sebagai pemicu terjadinya penyelundupan BBM, pengoplosan BBM, dan merupakan penghambat bagi penggunaan bahan bakar alternatif.

Sepintas lalu, berbagai alasan pemerintah tersebut memang tampak masuk akal. Walau pun demikian, sebagai negara miskin produsen minyak, berbagai alasan pemerintah untuk meniadakan subsidi dan menyesuaikan harga BBM di Indonesia dengan harga BBM di pasar internasional itu, pada dasarnya cenderung mengada-ada. Mungkin benar bahwa subsidi BBM cenderung menimbulkan distorsi di pasar. Tapi apa salahnya distorsi pasar, jika hal tersebut justru bermanfaat untuk meringankan beban hidup rakyat?

Alasan pemerintah dalam mengurangi subsidi BBM, walau pun alasan yang utama tetap soal pengurangan beban anggaran negara, memang tidak terbatas hanya pada soal dampak negatif subsidi BBM terhadap bekerjanya mekanisme pasar. Sebagaimana terungkap dalam advertorial sosialisasi pengurangan subsidi BBM tadi, yang antara lain diperkuat dengan data yang bersumber dari Bank Dunia, pemerintah juga menyatakan bahwa subsidi BBM cenderung tidak tepat sasaran dan lebih banyak “dinikmati oleh golongan mampu dan orang kaya.”

Alasan pemerintah yang terkesan seolah-olah sangat memihak rakyat banyak dan kaum miskin itu tentu tampak sangat heroik. Lebih-lebih bila dilengkapi dengan embel-embel akan tetap mempertahankan subsidi minyak tanah, memberikan subsidi beras, beasiswa, dan fasilitas kesehatan bagi kaum miskin. Walau pun demikian, hemat saya, berbagai alasan pemerintah tersebut, selain cenderung mengeksploitir kaum miskin dan memicu terjadinya pertentangan kelas, secara keseluruhan justru cenderung menyesatkan dan bersifat manipulatif.

Kesimpulan tersebut tentu tidak saya buat secara serampangan. Saya setidak-tidaknya mencatat lima alasan mendasar yang dapat dan perlu dipergunakan oleh masyarakat untuk menolak kenaikkan harga BBM secara argumentatif. Sebagaimana akan saya uraikan di bawah ini, kelima alasan tersebut sesungguhnya tidak hanya perlu diketahui oleh masyarakat, tetapi juga perlu diketahui oleh pemerintah dan parlemen, yaitu sebagai titik tolak untuk menyusun kebijakan yang lebih berpihak terhadap kepentingan bangsa dan perbaikan nasib rakyat.

Alasan Pertama: Liberalisasi Ekonomi

Kebijakan peniadaan subsidi BBM bukanlah kebijakan yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan dengan kebijakan besar liberalisasi ekonomi yang saat ini tengah berlangsung di Indonesia. Secara khusus, kebijakan peniadaan subsidi BBM berkaitan dengan kebijakan uang ketat yang merupakan bagian dari pelaksanaan agenda Konsensus Washington sebagaimana diperintahkan oleh IMF. Sebagai unsur dari agenda Konsensus Washington, tujuan utama kebijakan peniadaan subsidi BBM pada dasarnya adalah untuk memperbesar peranan mekanisme pasar dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia.

Pada tahap selanjutnya, sejalan dengan dilakukannya unbundling PT Pertamina, sebagaimana terungkap dalam Undang Undang (UU) Minyak dan Gas No. 22/2001, kebijakan tersebut diharapkan dapat merupakan insentif bagi para investor pertambangan untuk menanamkan modal mereka di Indonesia. Sebagaimana diketahui, sudah sejak lama perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang pertambangan minyak dan gas, seperti Exxon Mobil, Chevron Texaco, BP Amoco Arco, Total Fina Elf, dan Shell, sangat berhasrat untuk memperluas wilayah kerja mereka di Indonesia.

Padahal, sesuai dengan UU Pertambangan Minyak dan Gas No. 44 Prp/ 1960 dan UU Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara No. 8/1971, perusahaan-perusahaan multinasional tersebut hanya diperkenankan berperan sebagai kontraktor dalam proses eksplorasi minyak dan gas di Indonesia.

Dengan demikian, sejalan UU No. 22/2001, yang meniadakan perbedaan antara perusahaan-perusahaan multinasional tersebut dengan PT Pertamina, penjualan BBM dengan harga bersubsidi jelas sangat bertentangan dengan kepentingan bisnis mereka. Terutama jika dilihat dari sudut hasrat mereka untuk menjadi pengecer BBM di Indonesia, penjualan BBM dengan harga bersubsidi tentu sangat bertentangan dengan rencana besar liberalisasi sektor pertambangan dan gas yang telah mereka perjuangkan sejak lama.

Menyimak agenda tersembunyi di balik kebijakan peniadaan subsidi BBM yang sedang dilakukan pemerintah, lebih-lebih menyusul keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menghendaki dilakukannya amandemen terhadap UU No. 22/2001, maka masyarakat sesungguhnya justru memiliki kewajiban untuk menolak peniadaan subsidi dan kenaikan harga BBM. Kebijakan tersebut pada dasarnya hanyalah unsur dari proses sistematis untuk meminggirkan rakyat dan merupakan jalan lurus menuju neokolonialisme.

Alasan Kedua: Struktur Ekonomi

Melencengnya sebagian besar manfaat subsidi BBM terhadap anggota masyarakat golongan mampu dan orang kaya sama sekali bukan kesalahan subsidi BBM, melainkan lebih erat kaitannya dengan corak struktur perekonomian Indonesia yang memang terlanjur sudah sangat timpang.

Sebagaimana diketahui, sesuai dengan batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia, jumlah penduduk Indonesia yang berpenghasilan kurang dari US$2 atau sekitar Rp19.000 per hari, saat ini masih berjumlah sekitar 60 persen dari jumlah seluruh penduduk. Sebaliknya, deposito dengan volume terkecil Rp 5 miliar, yang secara keseluruhan meliputi 95 persen dari jumlah seluruh deposito yang terhimpun pada berbagai bank di Indonesia, diperkirakan hanya dimiliki oleh 14.000 orang terkaya di negeri ini.

Sebab itu, bila dikaji lebih jauh, jangankan subsidi BBM, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, dan bahkan keberadaan pemerintah itu sendiri, pada dasarnya cenderung lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu dan orang kaya daripada oleh anggota masyarakat golongan bawah dan orang miskin.

Pertanyaannya, apakah untuk mengakhiri berlanjutnya keberadaan pemerintah yang cenderung “tidak tepat sasaran” itu kita juga perlu berpikir untuk membubarkan pemerintah? Jawabannya tentu saja tidak. Yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuik mencegah berlanjutnya pemberian subsidi BBM, pendidikan, kesehatan, dan keberadaan pemerintah yang cenderung tidak tepat sasaran tersebut bukanlah meniadakan pemberian subsidi. Melainkan melakukan koreksi sistematis terhadap struktur perekonomian Indonesia yang timpang.

Caranya adalah dengan memerangi korupsi, menghentikan pemberian subsidi terselubung terhadap sektor perbankan, mengalokasikan anggaran negara yang lebih besar bagi penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan alokasi anggaran untuk membiaya pendidikan dan kesehatan, dan dengan meningkatkan tarif pajak kendaraan bagi para pemilik kendaraan pribadi.

Pendek kata, masyarakat perlu menolak pengurangan subsidi dan kenaikan harga BBM, sebab alasan pemerintah bahwa pemberian subsidi BBM cenderung tidak tepat sasaran sama sekali tidak memiliki landasan argumentasi yang kuat dan cenderung bersifat manipulatif.

Alasan Ketiga: Beban Utang

Jika dilihat dari segi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), membengkaknya defisit dan sangat beratnya beban anggaran negara, pada dasarnya tidak dapat begitu saja dikaitkan dengan membengkaknya subsidi BBM.

Pembengkakan defisit dan sangat beratnya beban APBN terutama dipicu oleh sangat besarnya pengeluaran negara untuk membayar angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri setiap tahunnya. Sebagaimana diketahui, pembayaran angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri dalam anggaran negara rata-rata mencapai Rp140 – Rp 150 triliun setiap tahun.

Sebagaimana tampak dalam APBN 2004, angsuran pokok dan bunga utang dalam negeri menelan sekitar Rp 30 triliun dan Rp 44 triliun. Sedangkan angsuran pokok dan bunga utang luar negeri menelan sekitar Rp 46 triliun dan Rp 25 triliun per tahun. Jumlah itu, bandingkan dengan volume subsidi BBM yang dalam APBN 2004 hanya dianggarkan sebesar Rp 14,5 triliun atau setara dengan sepersepuluh anggaran pembayaran angsuran pokok dan bunga utang, meliputi sekitar sepertiga APBN.

Perlu ditambahkan, pembayaran angsuran pokok dan bunga utang dalam negeri pada dasarnya adalah subsidi terselubung yang dikeluarkan pemerintah untuk para pemilik deposito dengan volume terkecil Rp 5 miliar, yang hanya dimiliki oleh sekitar 14.000 orang, sebagaimana saya kemukakan tadi.

Selain itu, sebagaimana diakui sendiri oleh pemerintah, volume subsidi BBM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tiga tahun terakhir, justru terus menerus mengalami penurunan. Tahun 2001 volume subsidi BBM masih meliputi 4,7 persen PDB. Tahun 2002 dan 2003 turun menjadi hanya 1,9 dan 0,7 PDB. Sedang tahun 2004 lalu, volume subsidi BBM kembali hanya dianggarkan sebesar 0,7 persen PDB.

Artinya, masyarakat memang perlu menolak kenaikan harga BBM, sebab secara de facto, relatif terhadap PDB, selama beberapa tahun belakangan ini, subsidi BBM telah terus menerus mengalami penurunan. Sebab itu, subsidi BBM sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai kambing hitam membengkaknya defisit APBN. Beban berat anggaran negara terutama disebabkan oleh sangat besarnya subsidi terselubung yang diberikan pemerintah terhadap sektor perbankan dan sangat besarnya beban angsuran pokok dan bunga utang dalam negeri setiap tahunnya.

Alasan Keempat: Rejeki Nomplok

Kenaikan harga minyak di pasar internasional sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM. Sebagai negara produsen dan pengekspor migas, Indonesia sesungguhnya juga memperoleh manfaat dari kenaikkan harga minyak tersebut. Sebagaimana telah saya singgung pada bagian awal tulisan ini, proyeksi hasil ekspor migas Indonesia untuk tahun 2005 mencapai US$19,7 miliar. Sedangkan proyeksi biaya impor migas Indonesia hanya mencapai US$11,3 triliun.

Jika dilihat dari sudut APBN, sejalan dengan meningkatnya harga minyak di pasar internasional, penerimaan negara dari sektor migas yang meliputi PPh Migas dan Penerimaan Bukan Pajak Migas, seharusnya juga mengalami peningkatan secara signifikan. Anehnya, sebagaimana tampak dalam APBN 2005, volume PPh Migas terhadap PDB justru diproyeksikan turun dari satu persen menjadi 0,5 persen PDB. Sedangkan Penerimaan Bukan Pajak Migas turun dari 3,8 persen menjadi hanya 1,8 persen PDB.

Hal itu terutama disebabkan oleh sangat rendahnya asumsi harga minyak dalam APBN 2005. Sebagaimana diketahui, ketika harga minyak di pasar internasional melonjak melampaui US$50 per barrel, APBN 2005 hanya mengasumsikan harga minyak sebesar US$24 per barrel. Dengan demikian, pemerintah sesungguhnya diam-diam menikmati rejeki nomplok (windfall profit) dari kenaikan harga minyak di pasar internasional itu.

Sayangnya, kita tidak pernah tahu berapa besarnya rejeki nomplok yang dinikmati pemerintah dan untuk apa saja uang itu digunakan? Padahal, sementara itu, kita terus menerus dikejutkan oleh semakin tingginya peringkat Indonesia sebagai negara juara korupsi di dunia. Sebagaimana diumumkan oleh Transparency International, peringkat Indonesia dalam jajaran negara juara korupsi terus meningkat dari urutan ketujuh pada 2002, menjadi urutan keenam pada 2003, dan menjadi urutan kelima pada 2004.

Menyimak hal tersebut, saya kira masyarakat memang wajib menolak kenaikkan harga BBM, sebab angka-angka mengenai penghasilan negara dari migas dan volume subsidi BBM cenderung tidak transparan. Sejalan dengan itu, seiring dengan meningkatnya peringkat Indonesia sebagai negara juara korupsi, volume kebocoran APBN patut dicuriga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Artinya, daripada menambah beban hidup rakyat dengan menaikkan harga BBM, jauh lebih masuk akal jika pemerintah menampakkan kesungguhannya dalam memerangi korupsi dan kebocoran APBN.

Alasan Kelima: Kemiskinan dan Pengangguran

Terakhir, pengurangan subsidi BBM sudah dapat dipastikan akan memicu terjadinya kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok dan biaya hidup rakyat. Hal itu, suka atau tidak, di tengah-tengah jumlah penduduk miskin yang masih meliputi 60 persen penduduk, dan jumlah penganggur yang meliputi 36 persen angkatan kerja, pasti akan semakin memperberat beban hidup rakyat.

Sementara itu, sebagaimana tampak pada struktur APBN 2005 yang bersifat sangat kontraktif, dan susunan tim ekuin Kabinet Indonesia Bersatu yang dipenuhi oleh para ekonom neoliberal pemuja IMF, sama sekali tidak tampak tanda-tanda bahwa pemerintahan yang ada sekarang ini memang memiliki tekad untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran secara sungguh-sungguh.

Alih-alih berusaha keras mengurangi kemiskinan dan pengangguran, pemerintah justru tampak sangat getol membela kepentingan para kreditor dan investor asing di Indonesia. Tawaran moratorium dan penghapusan sebagian utang luar negeri yang dikemukakan oleh negara-negara anggota Paris Club, misalnya, cenderung ditanggapi dengan dingin oleh pemerintah. Sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Keuangan Jusuf Anwar, tindakan tersebut dapat menghambat naiknya rating utang Indonesia dan menurunkan kepercayaan para investor untuk menanamkan modal mereka di sini.

Intinya, sekaligus sebagai penutup tulisan ini, saya tidak hanya menyerukan kepada masyarakat untuk menolak kenaikkan harga BBM. Pada saat yang sama, saya juga mengajak masyarakat untuk mendesak pemerintah agar segera mengakhiri pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal di sini, memerangi korupsi dengan memperkarakan koruptor-koruptor kelas kakap, menghentikan pemberian subsidi terselubung terhadap sektor perbankan, dan berjuang keras menuntut dilakukannya penghapusan sebagian utang lama Indonesia serta segera menghentikan pembuatan utang-utang baru.

Last but not least, menyusul terjadinya gempa dan gelombang tsunami yang menelan lebih dari 100 ribu korban jiwa pada 26 Desember lalu, saya kira masyarakat juga perlu mendesak pemerintah untuk meningkatkan keseriusannya dalam menanggulangi bencana gempa dan gelombang tsunami yang melanda Provinsi Nanggroe Aceh Darussallam dan sekitarnya itu. Wallahu a’lam bishawab. [ ]

SUMBER :

http://209.85.175.104/search?q=cache:D4YmIbbkF2AJ:kau.or.id/index.php%3Foption%3Dcom_docman%26task%3Ddoc_view%26gid%3D30+revrisond+BBM&hl=id&ct=clnk&cd=41&gl=id

Catatan Redaksi www.khilafah1924.org :

Tulisan Revrisond Baswir ini dibuat dalam konteks kenaikan harga BBM bulan Oktober tahun 2005. Namun, meski beberapa data kuantitatif perlu di-up-date, substansi dan struktur argumennya tetap kuat dan relevan untuk menolak kenaikan harga BBM Juni 2008 mendatang secara rasional dan argumentatif. Pemerintah memang zhalim. Kejam.?Tega. Pengkhianat. Penipu. Antek penjajah. (msj). [diambil dari: khilafah1924]