Kalo kamu merhatiin film-film yang bercerita tentang sepak terjang para bandit Yakuza—mafia Jepang, maka akan mengetahui salah satu tradisi mereka dalam membela kelompoknya. Ada salah satu kebiasaan mereka bila tertangkap polisi atau bersumpah, yakni rela memotong jari kelingking dari salah satu tangannya. Itu dimaksudkan sebagai bentuk sumpah setia untuk tidak membahayakan kelompoknya. Di situ, udah nggak peduli lagi benar atau salah, yang penting anggotanya dididik untuk bisa “membenarkan� dan menyelamatkan gang-nya. Pokoke, hidup dan mati untuk kelompoknya. Kayak robot dong? Bisa jadi.
Kamu pernah dengar istilah KGB? Itu tuh, singkatan dari Komitet Gosudarstvenoi Bezopasnoti. Ih susah banget melapalkannya ya? Lidah kita ampe kebelit-belit nih. Udah deh, mudahnya, KGB adalah dinas rahasia di masa kejayaan Uni Soviet. Ya, setara CIA-nya Amrik atau BIN (Badan Intelijen Negara) di sini. Nah, para agen rahasia negerinya Vladimir Putin ini, kalo mereka gagal dalam misi negaranya, misalnya ketangkep, mereka rela melepaskan nyawanya yang cuma satu-satunya itu, dengan menelan cairan kimia mematikan bernama sianida yang dibungkus semacam kapsul dan diletakkan di sela-sela giginya. Yang penting, rahasia negara kagak kebongkar pihak musuh. Duh, setia banget ya?
Rupanya, tradisi setia ama kelompok, khususnya yang dicontohkan oleh para gangster itu mendapat perhatian juga dari sebagian besar remaja kita. Utamanya yang emang hobi bikin gang, kelompok, komplotan, or apalah namanya. Mereka berikrar untuk sehidup-semati demi kelompoknya. Rela berkorban demi kelompoknya. Dalam hal apapun, salah or bener. Gaswat. Kalo ada anggota gang menderita, teman satu gang yang lain menghibur. Ada yang lagi seneng, dijalani bersama. Makan sepiring berdua pun rela dilakoni (jadi inget lagu dangdut jaman baheula—Sepiring Berdua, he..he..he..). Termasuk kalo ada yang mencederai, langsung dibela. Pokoknya, solider ama teman kelompok kayaknya menjadi prioritas. Tapi nggak tahu juga sih, kalo dalam soal utang mah.
Maka jangan heran bila kemudian kita sering lihat ada banyak anak sekolah yang terlibat tawuran demi mempertahankan kelompoknya. Kalo salah satu anggota gang-nya dihina, maka seribu yang lain siap marah dan menyerbu. Tragisnya, soal bener atawa salah nggak jadi ukuran. Yang penting, bila ada yang macam-macam terhadap kelompoknya, maka “darah� urusannya. Walah?
Sobat muda muslim, manusia hidup memang senang berkumpul, berkelompok, atau istilah gaulnya nge-gang. Kalo waktu di kampung dulu, mungkin kita pernah ngalami juga hal ini. Ada anak yang tinggal di daerah sekitar kuburan, karena alasan senasib dan sepenanggungan, mereka bikin gang yang menggambarkan kondisi wilayahnya, misalkan diberi nama GAMAL alias Gabungan Anak Makam Lebak. Maksudnya wilayah makam bagian bawah. Terus ada yang merasa satu selera dan satu tujuan dalam berbuat. Istilahnya bisa diajak ngapain aja. Mau duel atau damai hayo aja. Nah, merujuk tujuan mulianya (ceile tujuan mulia!) terus mereka bikin deh nama kelompoknya, misalnya, RIBODABO (Ribut Boleh Damai Boleh). Itu untuk menggambarkan bahwa mereka bisa diajak damai or ribut. Ih, plin-plan dong?
Malah ada juga yang kacau banget, pake bawa-bawa nama malaikat segala. Di kampung penulis, pernah ada kelompok remaja yang menamakan dirinya JIBRIL, alias Jiwa Berandal Ingat Ilahi. Walah, aneh-aneh aja ya? Sesuai dengan namanya, mereka kerap bikin onar, tapi juga kadang suka sholat dan puasa ramadhan. Wah, ini yang namanya kadarkum, alias kadang sadar kadang kumat. Celaka!
Walhasil, banyak banget yang bikin gang dan masing-masing mempertahankannya sekuat tenaga dengan pilihan hidup atau mati. Nggak peduli gang-nya merusak atawa membawa berkah. Yang penting, membela kelompok adalah fardhu. Pokoknya, right or wrong is my gang! Wackss? Tapi itulah fakta yang banyak terjadi.
Tradisi kuno
Nenek moyang kita dulu, juga nggak ada bedanya sama kita sekarang. Bahkan mungkin lebih luas lagi jangkauannya. Bisa keluarga, bisa suku, kampung, kabupaten, atawa malah negara. Sekarang-sekarang kita suka dengar istilah itu dengan nama sukuisme, patriotisme, nasionalisme. Pokoknya ashabiyyah alias bangga terhadap kelompoknya, sukunya, atawa negaranya.
Kabilah-kabilah di wilayah Arab pada masa jahiliyah acapkali membanggakan kelompok masing-masing. Termasuk kalo ada kabilah yang kebetulan lebih maju dari kabilahnya, mereka suka iri, lalu menebar dendam dan terjadilah perang. Idih, hina banget ya? Cuma persoalan sepele kok ribut. Aneh ya?
Sepanjang abad kelima, salah satu perang yang sangat terkenal alah Harb al-Basus, yang disebabkan oleh terbunuhnya unta bernama Basus milik seorang tua dari Bani Bakr. Perang ini berlangsung selama 30 tahun dan masing-masing saling menyerang, merampas, dan membunuh. Harb Dahis wa’l Ghabraa timbul karena ketidakjujuran dalam suatu pacuan kuda antara Suku Abs dan Dhabyan di Arabia Tengah. Perang ini berlangsung sampai beberapa waktu. Kedua Suku Aus dan Khazraj di Yastrib (sekarang Madinah) juga terlibat dalam Harb al Bu’ath (Perang Bu’ath), dan di Mekkah Suku Quraisy dan sekutunya, Bani Kinanah, berperang dengan Suku Hawazin dalam perang Harb al-Fujjar (Akar Nasionalisme di Dunia Islam, hlm. 14).
Ya, itulah kebodohan yang emang sedang merajalela saat itu. Dan tradisi tersebut terus berlangsung sampai Islam datang di tengah kehidupan mereka. Maka kalo sekarang, setelah Islam datang, kita-kita masih betah dengan nasionalisme, kesukuan, atau membanggakan ras, maka kita sama saja dengan kembali ke masa jahiliyah dulu. Amit-amit deh!
Kamu perlu tahu, bahwa ide ini amat rusak dan berbahaya banget. Lho kok bisa? Begini sobat, misalnya kamu ngefans banget dengan klub sepakbola kampung kamu, kamu rela bermandikan keringat dan suara serak saat mendukung tim kesayangan kamu main lawan kampung sebelah. Bila perlu, siap berjuang sampe titik darah yang penghabisan dalam 2 kali 15 menit perpanjangan baku hantam dengan suporter klub lain. Uppsss, karena menggunakan sistem sudden death, jadi yang ngejoprak duluan yang KO (he..he..he..)
Sobat muda muslim, yang begitu itu, namanya fanatik banget sama klub yang kamu kagumi dan senangi. Kira-kira kayak gitu deh. Jadi kamu merasa melibatkan emosi kamu. Itu artinya kamu adalah bagian dari kelompok itu.
Fanatisme memang seringkali bikin buta mata tuli telinga. Kalo orang udah kadung cinta tapi nggak bijak, jadinya ya kayak begitu. Salah or bener bukan lagi ukuran, yang penting adalah nama besar kelompoknya. Aduh, ini pemahaman yang salah sobat. Itu sebabnya, kudu belajar manahan diri. Kudu bijak dalam menilai persoalan. Tepatnya, kita kudu proporsional. Jangan sampe karena itu adalah kelompok or gang kita, lalu kita asal bela aja. Seolah mata dan telinga kita ditutup rapat-rapat untuk melihat dan mendengarkan kejelasan dari masalah yang terjadi. Padahal, siapa tahu, gang or anggota gang kita itu memang terbukti salah. Tul nggak?
Sayangnya, banyak di antara teman remaja yang nggak mau peduli dengan persoalan ini. Buktinya, banyak yang mau aja kalo diajak untuk tawuran. Padahal, doi belum ngecek, siapa yang salah dalam kasus itu. Lagian, bela-belain masalah yang sebetulnya nggak perlu dipersoalkan.
Ashabiyyah, bahaya dan haram, lho!
Sobat muda muslim, ikatan semacam itu nggak bisa bertahan lama—dan emang bisa menimbulkan pertentangan terus. Terus dan terus nggak ada akhirnya, sampai di antara mereka ada yang tersungkur dan kalah. Itupun akan diteruskan oleh generasi berikutnya. Wah, dunia kok rasanya gelap banget ya kalo begini?
Sudah terbukti bahwa ikatan-ikatan ini rentan banget terhadap goncangan. Kalau ada musuh, kita bangkit dan trengginas. Pas nggak ada ancaman dari musuh, kita adem ayem aja. Itu namanya ikatan yang nggak stabil. Udah gitu yang dibelanya juga suka nggak jelas dan amat rendahan. Bener, yang dibela itu paling-paling cuma urusan sepele dua pele.
Kayak sekarang nih, lagi rame-ramenya ajang World Cup 2002 di Korea dan Jepang. Kamu bisa saksikan gimana para pendukung kesebelasan negara tertentu ikutan sedih or seneng. Liat aja gimana sedihnya pendukung kesebelasan Korea Selatan saat digilas tim Panser Jerman dalam babak semifinal ajang bal-balan sejagat itu. Sebaliknya, pendukung berat tim asuhan Rudi Voeller itu bersuka cita saat Michael Ballack menyarangkan bola ke gawang yang dikawal Lee Woon-jae. Rasa kebangsaan, bahkan ras mereka pun muncul tiba-tiba.
Bahkan boleh jadi akan memicu �pertempuran’ baru dari ajang ini. Orang-orang Korea mulai memandang curiga dan memendam benci terhadap orang-orang Eropa. Pasalnya, di pesta sepakbola sedunia itu, para pendukung tim-tim tangguh seperti Portugal, Italia, dan Spanyol yang berhasil dijungkalkan oleh Korsel protes keras seolah nggak terima atas kekalahan tersebut. Jadi deh, dua kubu dari dua benua akan saling berhadapan di luar ajang bal-balan ini. Pokoknya berpotensi siap ricuh. Walah, inilah nasionalisme, sobat. Makanya berbahaya banget deh. Emang racun tuh!
Hmm.. masalah-masalah sepele memang. Penghinaan saat kalah main basket, kalah rebutan cewek favorit di sekolah. Atau dalam tataran yang lebih luas, bapak-bapak kita suka kelabakan saat negeri ini ada yang mengancam; embargo ekonomi, invasi militer musuh, or negara lain ikut campur urusan politik dalam negeri. Semuanya bak kebakaran jenggot. Bahkan mulai kampanye untuk bikin perlawanan.
Itu kalo lagi ada ancaman, lho. Kalo lagi aman sejahtera? Lihat aja, kemana-mana juga enjoy aja berkendara Mercy, BMW or Volvo. Melupakan rakyat dan melupakan siapa musuh yang siap mengancam lagi. Nah, itu sebabnya, dalam Islam paham ini mendapat kritikan tajam dan dikasih label haram untuk dipake dan disebarluaskan. Hati-hati ya!
Gimana urusannya? Begini, pertama kamu kudu nyadar or ngeh, bahwa seorang muslim itu standar perbuatannya adalah aturan Islam. Hala or haram menurut Islam. Bukan yang lain. Jadi apa katanya Islam. Titik.
Ashabiyyah artinya semangat golongan. Dan dalam faktanya, semangat golonganisme ini terdapat di dalamnya sukuisme dan nasionalisme, patriotisme, dan sejenisnya.
Rasulullah saw, baginda kita bersabda saat terjadi peristiwa perang yang megusung semangat antar golongan: “Wahai kaum muslimin, ingatlah Allah, ingatlah Allah. Apakah kalian akan bertindak seperti para penyembah berhala saat aku hadir di tengah kalian dan Allah telah menunjuki kalian dengan Islam; yang karena itulah kalian menjadi mulia dan menjauhkan diri dari paganisme, menjauhkan kalian dari kekufuran dan menjadikan kalian bersaudara karenanya?�
Jadi, jangan sampe kita membela kelompok yang menyerukan semangat golongan. Padahal seharusnya kita membela kelompok, dimana dasar pembelaan kita adalah karena ikatan akidah Islam. Bukan yang lain. Sebab, inilah yang diperintahkan oleh Allah swt. dalam firman-Nya:
?ˆ???§?¹?’?????µ???…???ˆ?§ ?¨??????¨?’?„?? ?§?„?„?‘???‡?? ?¬???…?????¹?‹?§ ?ˆ???„?§?? ?????????±?‘???‚???ˆ?§ ?ˆ???§?°?’?ƒ???±???ˆ?§ ?†???¹?’?…???©?? ?§?„?„?‘???‡?? ?¹???„?????’?ƒ???…?’ ?¥???°?’ ?ƒ???†?’?????…?’ ?£???¹?’?¯???§???‹ ?????£???„?‘?????? ?¨?????’?†?? ?‚???„???ˆ?¨???ƒ???…?’ ?????£???µ?’?¨????’?????…?’ ?¨???†???¹?’?…???????‡?? ?¥???®?’?ˆ???§?†?‹?§ ?ˆ???ƒ???†?’?????…?’ ?¹???„???‰ ?´???????§ ??????’?±???©?? ?…???†?? ?§?„?†?‘???§?±?? ?????£???†?’?‚???°???ƒ???…?’ ?…???†?’?‡???§ ?ƒ???°???„???ƒ?? ?????¨?????‘???†?? ?§?„?„?‘???‡?? ?„???ƒ???…?’ ?????§?????§?????‡?? ?„???¹???„?‘???ƒ???…?’ ?????‡?’?????¯???ˆ?†??
“Berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai. Ingatlah akan nikmat Allah ketika kalian dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan hingga Allah mempersatukan hati kalian, lalu menjadilah kalian, karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kalian agar kalian mendapat petunjuk. (TQS Ali Imr?¢n [3]: 103)
Jadi mulai sekarang yang wajib kita bela dan perjuangkan adalah Islam. Jangan sampe kita membela gang atawa kelompok yang ikatannya bukan akidah Islam. Sesama muslim kita bersaudara, kawan. Kita hidup dan mati hanya untuk Islam. Begitu, sobat!
(Buletin Studia – Edisi 104/Tahun ke-3/1 Juli 2002)