Friday, 22 November 2024, 05:33

Kalangan liberal memuji setinggi langit kaum orientalis tanpa kritik. Kaum Muslim seolah diminta belajar Islam dari orang yang tak mengimani Islam. [bagian pertama]

Hidayatullah.com–Sekitar tahun 70-an, ?almarhum Prof. HM Rasjidi pernah menunjukkan kuatnya pengaruh metode orientalis terhadap buku wajib dalam studi Islam di Indonesia. Yang dimaksudkan adalah buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya“, karya Prof. Harun Nasution.

30 tahun setelah benih orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, ?cengkeraman’ orientalis dalam studi Islam sudah semakin merambah ke berbagai bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya ?proyek-proyek pesanan’ negara-negara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata kuliah hermeneutika di IAIN atau UIN, hari ini, adalah salah satu bagian kecil dari imbas orientalis yang tidak bisa dianggap hal yang enteng.

Dalam sebuah kolom,? berjudul, “Mempertimbangkan Ulang Orientalisme“, yang dimuat di situs http://islamlib.com,? aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Novriantono,memuji ?selangit’ kiprah para orientalis.

Katanya, “Jaringan Islam Liberal menggelar diskusi tentang Islam dan Orientalisme. Diskusi ini penting diadakan untuk meninjau, mengkritik, serta mengapresiasi kembali kajian-kajian orientalisme yang kaya itu, terutama dalam bidang doktrin dan peradaban Islam. Rasanya, sayang betul bila hasil kajian yang bersungguh-sungguh dan mendalam tentang Islam itu dibuang begitu saja, hanya karena kita sudah terjebak dalam pandangan yang pejoratif dan simplistik tentang orientalisme.

Terasa lebih sayang lagi bila kita mengabaikan kajian-kajian orang di luar kita hanya karena alasan-alasan ideologis dan psikologis, bukan karena alasan ilmiah. Penolakan ideologis atas orientalisme sampai kini sangat dipengaruhi oleh kritik-kritik intelektual semacam Anwar Abdul Malik (1963), Hisyam Jaid (1978), Edward Said (1978), dan Hassan Hanafi (1981) tentang keterkaitan orientalisme dengan proyek kolonialisme. Kritik semacam ini, kini sudah sepantasnya ditinjau ulang secara kritis.”

Banyak orang –bahkan kaum cendekiawan Muslim– tiba-tiba silau mata. Mereka mendadak percaya orang di luar Islam yang tidak mengakui akidah Islam, untuk melihat Islam, seolah-olah orientalis lebih baik dari orang Islam sendiri.

Siapa sesungguhnya mereka? Dan bagaimana kaum liberal sampai memuji-muji ?nyaris’ tanpa kritik sedikitpun. Hidayatullah.com, ?menurunkan profil orientalis yang pikirannya banyak diamini dan dijadikan bahan rujukan oleh kaum liberal. []

***

ImageTheodor Noldeke (1836-1931)

Noldeke lahir 2 Maret 1836, di Hamburg, Jerman. Ia seorang pakar semitik Jerman yang ternama dan menyelesaikan studinya di Gottingen, Vienna, Leiden dan Berlin.? Pada tahun 1859 tulisannya tentang ?Sejarah Al-Quran’ memenangkan penghargaan dari French Academie des Inscription.? Tahun 1860, ia menuliskannya kembali, dibantu? muridnya Schwally, dari bahasa Latin ke bahasa Jerman dengan judul ?Geschichte des Korans. Dan mempublikasikannya dengan beberapa tambahan di Gottingen.? Pada tahun 1861, ia mulai mengajar di Universitas Gottingen.? Tiga tahun kemudian ia meraih gelar profesor.? Pada 1872 ia aktif di Oriental Languages di Strassburg dan pensiun pada1906.

Tulisannya tentang ?Semitic Languages’ dan ?The History and Civilization of Islam’ juga mendapatkan penghargaan. Beberapa artikelnya pertama kali dipublikasikan oleh Encyclopaedia Britannica.

Artikelnya tentang Al-Quran dan sejenisnya dicetak lagi dalam sebuah bab yang diberinama ?Oriental Sketches’.? Beberapa karyanya adalah : Das Leben Mohammaeds (1863), Zur Grammatik des klassichen Arabisch (1896), Funf Mo’allaqat, iiberttzt und erklart (1899-1901), dll.

Noldeke bisa dikatakan dedengkot orientalis.? Selain ia menguasai sastra Yunani, ia juga mendalami tiga bahasa Semit, yaitu Arab, Suryani dan Ibrani.? Ayahnya banyak berperanan mengarahkan Noldeke untuk mempelajari berbagai bahasa itu. Noldeke belajar bahasa Suyani kepada H Elwald, bahasa Arami kepada Bertheau dan belajar bahasa Sansekerta kepada Benfay.

Ketika masih duduk sebagai mahasiswa, Noldeke sudah mulai belajar bahasa Turki dan Persia.? Ia meraih gelar sarjana mudanya pada usia 20 tahun dengan karya tulisnya berjudul ?Tarikh Al-Quran’. Pada usia itu ia mulai mengadakan penelitian ke luar Jerman.? Pertama, Noldeke pergi ke Wina dan menetap disana selama setahun (1856-1857), dengan tujuan untuk mempelajari dan meneliti manuskripmanuskrip yang tersimpan di perpustakaan Wina.? Disitu Noldeke juga memperdalam bahasa Persia dan Turki, dengan mempelajari syair-syair yang ditulis penyair besar Persia Sa’di dan Aththar.

Tahun berikutnya, 1857-1858, Noldeke pindah ke Leiden. Di sini Noldeke menjumpai manuskrip-manuskrip Arab yang amat banyak, sekaligus bertemu dengan orientalis-orientalis terkemuka.? Seperti, Dozy, Juynboll, Mattys de Vries dan Kuenen.? Pada saat yang sama, Noldeke juga berkenalan dengan tokoh-tokoh orientalis muda Belanda yang terkenal, seperti de Goeje, de Jong dan Engelmann.

Setelah menetap di Leiden, Noldeke pergi menuju ke Goeta, Jerman untuk meneliti manuskrip-manuskrip di sana selama satu bulan.? Kemudian ia ke Berlin untuk tujuan yang sama dengan dibantu orientalis Jerman, R Gosche, orang yang pertama kali menyusun indeks tulisan-tulisan Al Ghazali. Ia turut membantu mewujudkan proyek penyusunan indeks manuskrip-manuskrip Turki yang mencapai 200-300 manuskrip.? Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Roma.? Meski Noldeke telah mengelilingi Eropa, tapi ia sekalipun tidak pernah mengunjungi negeri-negeri Arab dan Islam.

Noldeke sebenarnya mengembangkan pemikiran Abraham Geiger yang mengatakan bahwa Al-Quran terpengaruh agama Yahudi.? Pertama, dalam hal-hal yang menyangkut keimanan dan doktrin dan kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral dan ketiga tentang pandangan terhaap kehidupan.? Pada tahun 1833 Geiger menulis karya dalam bahasa Jerman (dialihkan dalam bahasa Inggris) berjudul “What Did Muhammad Borrow from Judaism?”

Tulisan Noldeke tentang Sejarah Al-Quran terus direvisi oleh muridnya Friedrich Schwally dan karyanya diterbitkan dengan judul : The Origin of the Qur’an. (1909).? Pada tahun 1919 ia menyelesaikan edisi keduanya dengan judul The Collection of The Qur’an. Ia juga merintis penyusunan, penyusunan buku The History of the Text.? Setelah Schwally meninggal, usahanya itu dilanjutkan oleh Bergstassser dan terakhir disempurnakan oleh Otto Pretzl pada tahun 1938.? Jadi buku tentang ?Sejarah Al-Quran’ itu ditulis oleh ramai-ramai orientalis Jerman selama 68 tahun.? Hasilnya karya itu kini menjadi karya standar dalam masalah sejarah kritis penyusunan Al-Quran bagi para orientalis (Lihat Adnin Armas, 2003, hal. 62-64).

Taufik Adnan Amal, Dosen Ulumul Qur’an dan aktivis Islam Liberal, juga menjadikan karya orientalis menjadi rujukan utamanya dalam menulis buku “Rekonstruksi Sejarah Al-Quran.”

ImageJoseph Schacht (1902-1969)

Ia lahir di Rottbur Jerman, 15 Maret 1902.? Ia mulai studi di perguruan tinggi dengan mendalami filologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Prusia dan Leipzig. ?Tahun 1923, ia memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Prusia dan menjadi guu besar pada 1929.? Schacht menjadi dosen di Universitas Frayburg, Jerman.? Pada tahun 1934 ia diundang untuk mengajar di Universitas Kairo, Mesir.? Disitu ia

mengajar fikih, bahasa Arab dan bahasa Suryani, di? jurusan Bahasa Arab, Fakultas Sastra. Ia mengajar di Universitas Mesir hingga 1939.? Ketika terjadi Perang Dunia II pada September 1939, Schacht pindah dari Mesir ke London dan bekerja di Radio BBC, London.? Di situ ia berperanan melancarkan propaganda melawan nazi Jerman.

Di Inggris itu Schacht melanjutkan studinya di Universitas Oxford dan memperoleh gelar Magister pada tahun 1948, serta gelar Doktor pada tahun 1952.? Ia diangkat sebagau guru besar di seluruh universitas yang ada di kerajaan Inggris. Pada tahun 1954, ia pakar fikih Islam ini, menjadi guru besar di Universitas Leiden sampai 1959.? Ia dengan kawan-kawannya mengedit cetakan kedua Dairat al Ma’arif al Islamiyah.? Kemudian ia ke New York dan menjadi guru besar di Universitas Columbia dan meninggal di Amerika pada Agustus 1969.

Dalam bidang Fikih, karya Schacht antara lain: Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain. Karyanya yang menonjol dan kontroversial adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence
(Oxford, 1950).? Karya Schacht ini banyak mengambil rujukan Ar Risalahnya Imam Syafii.

Guru Besar Hadits dan Ilmu Hadits Universitas King Saud, Prof Dr MM Azami menulis dua buku tentang pemutarbalikan sanad hadits oleh Schacht. Azami, dengan bukti-bukti yang otentik -karyanya dipuji orientalis Prof. AJ Arberry dari Universitas Cambridge Inggris-menulis kritik Sacht dalam bukunya ?Studies in Early Hadith Literature’ (terj. Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya). Dalam buku itu Azami menjelaskan bahwa teori Schacht tentang ?Sejarah Pemalsuan Hadits’, banyak ditemui kesalahan dan pemutarbalikan fakta.

Misalnya ketika Schacht meragukan suatu sanad: “Amr bin Amr adalah rawi yang menjadi titik temu bersama untuk sanad-sanad ini.? Dan sulit rasanya -dilihat dari tempatnya-Amr mondar-mandir untuk bertemu dengan tuannya (al Muttalib) dan orang-orang yang tidak dikenal sehingga sanadnya dapat disebut langsung.”

Terhadap contoh sanad ini ia menyebutnya sebagai gejala umum dalam hadits-hadits Nabi saw.? Setelah melakukan kajian yang mendalam Prof. Azami menemukan bahwa? seorang yang tidak dikenal (seorang dari suku Bani Salamah) itu sebenarnya adalah al Muttalib sendiri.? Ia kemudian meluruskan diagram sanad yang dibuat salah oleh Schacht (Azami, hal.557-561).

Schacht juga melakukan tuduhan kepada Hadits : “Sanad-sanad hadits itu sebagian besar adalah palsu…dan hal ini diketahui oleh semua orangbahwa sanad-sanad itu pemakaiannya dimulaidalam bentuk yang sangat sederhana, kemudian berkembang dan mencapai bentuknyayang sempurna pada paruh kedua abad ketiga hijri,… Kebanyakan sanad-sanad itu tidak mendapatkan perhatian yang cukup.? Apabila ada suatu kelompok yang ingin menisbatkan pendapatnya dengan orang-orang dahulu, maka kelompok tersebut akan memilih tokoh-tokoh orang dahulu itu dan menaruhnya dalam sanad.”

Terhadap pendapat Schact itu, Prof. Azami menyatakan: “Penggunaan sanad sudah dimulai pada masa Nabi saw, hanya saja metode ahli-ahli hadits dalam menggunakan sanad itu tidak sama, khususnya pada masa Sahabat. Dan dapat kita katakan bahwa perhatian terhadap pentingnya sanad itu? mencapai puncaknya pada akhir abad pertama.? Dalam bab lalu, kita juga sudah mengetahui jumlah rawi-rawi hadits dan tempat tinggal mereka yang saling berjauhan.? Apalagi apabila hal itu ditambah dengan perbedaan umur serta tradisi mereka.

Oleh karena teori Schacht yang disebut dengan ?Projecting Back’ (Proyeksi ke Belakang) itu sulit dibayangkan, bahkan prakteknya juga mustahil.”

Kamaruddin Amin, kandidat doktor Bonn University, Germany yang juga aktivis Islam Liberal (JIL), dalam sebuah tulisan berjudul, “Diskursus Hadis di Jerman”, membela Joseph Schacht terhadap studi hadits di Barat.? “Tentu naif menolak satu tradisi intelektual secara a-priori tanpa mengetahui esensi tradisi tersebut. Tantangan buat kita semua.”

ImageIgnaz Goldziher (1850-1921)

Goldziher adalah termasuk orientalis terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam.? Ia lahir pada 22 Juni 1850, di Hongaria.? Ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang.?? Pendidikannya dimulai dari Budhapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 dan pindah lagi ke Universitas Leipzig.

Goldziher dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka saat itu yaitu Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal-usul kata). Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870 dengan karyanya : “Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah.”

Ia kemudian kembali ke Budapest dan ditunjuk sebagai asisten Guru Besar di Univeritas Budhapest pada tahun 1872.? Ia tidak lama mengajar, dan lalu meneruskan studinya di Wina dan Leiden.? Setelah itu ia mengadakan perjalanan ke Timur Tengah, Suriah dan Palestina dan kemudian menetap di Kairo.

Ketika di Universitas Budapoest, ia banyak menekankan kajian peradaban Arab, khususnya agama Islam. Pada tahun? 1894, ia diangkap menjadi profesor kajian bahasa Semit.? Goldziher memang snagat cerdas.? Pada usia 16 tahun, ia telah sanggup menerjemahkan dua buah kisah Turki ke dalam bahasa Hongaria. Saat itu ia juga biasa membaca buku-buku tebal dan memberikan ulasannya.? Buku klasik pertama yang menjadi kajiannya adalah Azh Zhahiriyah: Madzhabuhum wa Tarikhuhum.? Ia kemudian mendalami kajian fikih dan ushul fikih.? Tahun 1889 menulis karangan tentang hadits berjudul Dirasah Islamiyah, dua juz. Dalam bukunya ?Al Aqidah was Syariah fil Islam’ Goldziher banyak melakukan tuduhan-tuduhan menyimpang kepada Muhammad saw.? Prof. Ahmad Muhammad Jamal mengkritik keras karyanya ini.? Menurut Jamal, pada halaman 12, Goldziher melontarkan tuduhan bahwa Islam merupakan himpunan pengetahuan dan pandangan agama-agama lain yang sengaja dipilih Muhammad.. hal ini diketahui dan ditimba oleh Muhammad karena hubungannya dengan oknum-oknum Yahudi, Nasrani dan lain-lainnya.

Dalam buku itu, Goldziher juga menyatakan: “Sesungguhnya Muhammad telah memilihkan ajaran-ajaran Islam dari agama-agama yang menonjol pada masanya, yaitu agama Yahudi, Nasrani, Majusi dan agama berhala, setelah ia melakukan penyaringan…Islam tidak mampu mempersatukan bangsa Arab dan menghimpun kabilah-kabilah yang bermacam-macam kepada tata peribadatan yang satu.”? (Prof Ahmad M Jamal, hal. 250).

Menurut Prof. Jamal, tuduhan-tuduhan yang dilakukan oleh Goldziher itu bukan barang yang aneh. Dulu, ketika turun Al-Quran, orang-orang Musyrik juga menyatakan Muhammad seorang yang gila, tukang sihir, mendongeng palsu dan lain-lain.? Al-Quran bahkan turun meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan Yahudi dan Nashrani. [nuim hidayat, dari berbagai sumber/www.hidayatullah.com]… berlanjut

1 thought on “Sosok Orientalisme dan Kiprahnya

  1. Assalamu’al;aikum wr wb.
    Meski disusun oleh ulama besar yang sangat alim di berbagai bidang, kitab kumpulan hadits ini menjadi bahan perdebatan panjang dulu sebelum dijadikan buku induk hadits.
    Tak seperti lima kitab sebelumnya yang dimufakati ulama perihal kelayakannya menjadi anggota kutubus sittah, kitab Sunan Ibnu Majah yang berada di urutan keenam harus melewati banyak perdebatan para ahli hadits sebelum dianggap layak menjadi bagian dari enam kitab induk hadits tersebut.

    Ulama yang tidak memasukkan kitab tersebut ke dalam kutubus sittah beralasan derajat Sunan Ibnu Majah lebih rendah dari kitab-kitab hadits yang lima, karena memuat juga hadits yang munkar dan maudhu’ (palsu) meski hanya sedikit. Sebagai gantinya mereka memasukkan kitab hadits Al-Muwaththa karya Imam Malik, yang dianggap lebih shahih, di urutan keenam.Tulisan selengkapnya klik http://www.thohiriyyah.com/2010/09/sunan-ibnu-majah-kitab-induk-hadits.html
    Semoga bermanfaat.

    Hasna Mufida

Comments are closed.