Snouck Hurgronje harus berpura-pura masuk Islam untuk menjauhkan kaum Muslim dengan Islam.? Begitu cara orientalis [bagian kedua habis]
Hidayatullah.com–“Adalah kewajiban kita untuk membantu penduduk negeri jajahan -maksudnya warga Muslim Indonesia- agar terbebas dari Islam”. Demikian ujar Snouck tahun 1876, saat menjadi mahasiswa di Leiden.
Untuk merobah wajah Islam, Snouck sampai berpura-pura masuk Islam. ?Snouck pernah menulis laporan panjang yang berjudul kejahatan-kejahatan Aceh. Laporan ini kemudian jadi acuan dan dasar kebijakan politik dan militer Belanda dalam menghadapai masalah Aceh.
Snouck pernah menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan Muslimin. Pada saat yang sarna, Islam membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan “pembersihan” ‘Ulama dari tengah masyarakat, maka Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para tokoh-tokoh adat bisa menguasai dengan mudah.
Sambil berpura-pura masuk Islam, Snouck juga tetap melakukan korespondensi dengan gurunya Theodor Noldekhe, seorang orientalis Jerman terkenal. Dalam suratnya, Snouck pernah menegaskan bahwa keislaman dan semua tindakannya adalah permainan untuk menipu orang Indonesia demi mendapatkan informasi.
“Saya masuk Islam hanya pura-pura. Inilah satu-satulnya jalan agar saya bisa diterima masyarakat Indonesia yang fanatik. ” Siapa Snouck?
Christian Snouck Hurgronje (1857-1936)
Orientalis ini banyak dikenal masyarakat Indonesia. Lahir di Belanda, Snouck meraih gelar sarjananya di Fakultas Teologi, Universitas Leiden.? Keudian ia melanjutkan ke jurusan sastra Semitik dan meraih doktor, ketika umur 23 tahun (24 November 1880).
Disertasinya tentang ?Perjalanan Haji ke Mekah’, ?Het Mekkanche Feest’. Tahun 1884 ia pergi ke Jedah sampai 1885, dan bersiap-siap untuk masuk ke Mekah.? Snouck kemudian berpura-pura masuk Islam, agar bisa ke Mekah dan menjalankan ibadah haji.? Tapi enam bulan kemudian ia diusir karena terbongkar jati dirinya.
Ia kemudian kembali ke Belanda sebagai lektor di Universitas Leiden hingga tahun 1887.? Lalu ia tinggal di Indonesia, sebagai jajahan Belanda hingga 17 tahun, dengan kedudukan sebagai penasehat pemerintah Belanda. ?Ia menulis karyanya yang berjudul ?Makkah’ dalam bahasa Jerman, dua jilid (1888-1889).? Selain itu, ia juga menulis ?De Atjehrs’ (Penduduk Aceh) dalam dua jilid (1893-1894).
Dalam disertasinya yang berjudul ?Het Mekkanche Feest’, Snouck menjelaskan arti ibadah haji dalam Islam, asal usul dan tradisi yang ada di dalamnya.? Ia mengakhiri tulisan dengan menyimpulkan bahwa haji dalam Islam merupakan sisa-sisa tradisi Arab Jahiliyah. (Mustolah Maufur, hal. 53).? Pendapat Snouck memang mirip dengan Goldziher yang mencoba menarik-narik pengaruh tradisi Jahiliyah, Kristen dan Yahudi ke Islam.? Snouck bahkan lebih jauh mencoba mengeliminir Islam hanya menjadi agama ritual, ibadah khusus belaka. Dan ?mengkiritk’ umat Islam yang membawa-bawa Islam ke arah perjuangan politik.
Louis Massignon (1883-1963)
Ia adalah orientalis terkemuka berasal dari Perancis. Louis banyak belajar dari tokoh-tokoh orientalis terkenal, seperti Goldziher, Hurgronje dan Le Chatelle orientalis dari Perancis.? Ia pernah mengujungi dunia Islam selama tiga tahun sampai 1954. Di Baghdad, ia mengadakan misi penelitian dan penggalian arkeologis dan berhubungan baik dengan tokoh Iraq Al Alusi.? Pada tahun 1906-1909 ia pergi ke Mesir dan belajar di Universitas Al Azhar.? Pada tahun 1912 ia mengajar filsafat disitu dan diantara pengagumnya adalah Dr. Thaha Husein? Di Timur Tengah saat itu ia juga menjadi perwira militer pada kantor Gubernur Jenderal Perancis di Suria dan Palestina.? Pengalamannya di dunia Islam itu menjadikannya orientalis yang sangat memahami politik di dunia Islam.
Tahun 1922 ia kembali ke Paris untuk menyelesaikan program doktornya di Universitas Sorbonne.? Ia menulis disertasi mengenai tasawuf Islam dengan judul “La Passion d’ al Hallaj, Martyr Mystique de l’Islam” (Derita Al Hallaj, Sang Sufi yang Syahid dalam Islam).
Bila para ulama Islam mengkafirkan al Hallaj, maka Massignon memujinya sebagai seorang saleh yang syahid. Cerita Al Hallaj versi Massignon ini banyak diambil oleh para aktivis Islam Liberal di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Massignon selain mengkaji Islamologi, ia juga menjadi pembimbing rohani pada perkumpulan missionarisme Perancis di Mesir.? Ia berusaha keras memasukkan misi Kristen pada program-program pemerintah Perancis di tanah jajahannya di Timur Tengah.? Bahkan ia berusaha -sebagaimana Goldziher-memasukkan unsur-unsur Katolik dalam Islam.? Dimana ia menyamakan penghormatan kaum Muslim kepada Fatimah sebagaimana pemujaan Katolik ke ?Bunda Maria’.? Ia menulis sejumlah karya : Yesus dalam Injil menurut Al Ghazali (1932), Al Mutanabbi dan Masa Dinasti Ismailiyah dalam Islam (1935), Sejarah Ilmu Pengetahuan di Kalangan Bangsa Arab (1957) dan lain-lain.
Massignon juga berusaha mempengaruhi rakyat Afrika Utara agar menerima niat baik politik Perancis di wilayah itu.? Aliran sufi dan mistik ini banyak dianut oleh rakyat Afrika Utara dan itu sangat menguntungkan pemerintah Perancis.? Ia berusaha menyakinkan rakyat Afrika Utara agar menjadi bagian dari tanah Perancis.
Selain orientalis-orientalis yang disebutkan di atas, sebenarnya masih banyak lagi orientalis lain yang pengaruhnya besar bagi dunia Islam.? Seperti J. Arberry, Arthur Jeffery, Montgomery Watt dan lain-lain. Orientalis masa kini pun tak kalah banyaknya dengan zaman dahulu.? Bahkan kini mereka mendirikan ?Islamic-Islamic Studies’ di Barat, untuk mendidik anak-anak cerdas Islam agar mengikuti jejak mereka.? Diantara tokoh yang terkenal adalah Wilfred C Smith dan Leonard Binder.? Kini, ada beberapa orientalis yang dikenal cukup akomodatif dengan Islam, meski masih ada bias-bias dalam tulisannya.? Seperti John L Esposito dan Karen Amstrong.? Esposito, meski banyak melahirkan karya-karya yang membela Islam, tapi ia tetap memberi cap kepada Sayyid Qutb dan Al Maududi sebagai tokoh “Islam Radikal”.? Karen Amstrong menyamakan “Islam Fundamentalis” dengan Kristen Fundamentalis dan Yahudi Fundamentalis. Dan itulah yang dirujuk dan dipuja-puja kaum liberal untuk melihat Islam. [Nuim Hidayat, dari berbagai sumber/www.hidayatullah.com]