Sunday, 24 November 2024, 13:08

Misionaris Kristen Virginia AS, WoldHelp, telah membawa lalri 300 anak yatim Aceh ke panti-panti Kristen. Serbuan misionaris Kristen di Aceh bukan mimpi. Baca CAP, Adian Husaini, MA ke-86

Aceh tidak hanya berduka dari segi fisik dihantam gempa bumi dan gelombang tsunami. Keimanan rakyat Aceh –terutama anak-anaknya– pun terancam diporakporandakan misionaris Kristiani. Serbuan misionaris Kristen di Aceh bukan mimpi. Seperti ungkap sebelumnya oleh The Washington Post, (13/1) kelompok misionaris Kristen dari Virginia AS, WoldHelp, telah memindahkan 300 anak yatim Aceh ke panti Kristen di Jakarta. Seperti dikutip koran Republika, WorldHelp, kelompok misionaris itu, menjemput langsung anak-anak Aceh itu dari Banda Aceh terus dibawa ke Jakarta, dan ditempatkan di keluarga-keluarga Kristen.

Dalam laporan koran ternama AS itu, WorldHelp menyatakan bencana besar di Acehlah yang membuat mereka membawa anak-anak itu. ”Di masa normal, Banda Aceh tertutup bagi orang asing dan juga penyebar agama.” Demikian pernyataan WorldHelp di situs internetnya. Tapi, lanjut organisasi keagamaan ini, karena kondisi darurat tak terelakkan, ada gempa tektonik dan Tsunami, para misionaris memiliki hak untuk masuk dan menyebarkan agama mereka. Menurut Washington Post, WorldHelp bekerja sama dengan kelompok Kristen di Indonesia yang ingin menanamkan prinsip-prinsip Kristiani secepat mungkin.

WorldHelp menyebut anak-anak yang dibawanya kehilangan orang tua dan keluarganya. Rata-rata mereka berusia 12 tahun ke bawah. ”Mereka trauma, yatim-piatu, tidak punya rumah, tak tahu mau pergi ke mana, dan tak memiliki sesuatu untuk dimakan,” kata WorldHelp. Jika anak-anak itu tinggal bersama keluarga Kristen dan memeluk Kristen, kata WorldHelp, mereka bisa membawa ajaran itu ke Aceh. ”Kita ingin menjangkau Aceh lewat anak-anak itu,” kata WorldHelp.

WorldHelp termasuk organisasi amal dan keagamaan yang terjun ke Serambi Mekkah begitu Tsunami menerjang pada 26 Desember lalu. Berbeda dengan organisasi sosial-kemanusiaan lainnya yang membantu, WordlHelp, seperti dikatakan Washington Post, membawa misi untuk mengkristenkan anak-anak yang mereka bawa. Presiden WorldHelp, Pendeta Vernon Brewer, mengatakan organisasinya telah mengumpulkan 70 ribu dolar AS untuk Aceh. Targetnya, kata Vernon, sampai 350 ribu dolar AS. Pemerintah Indonesia, jelasnya, sudah memberikan izin WorldHelp untuk membawa anak-anak itu ke Jakarta.

”Pemerintah Indonesia juga sadar bahwa mereka akan kami Kristenkan,” kata Vernon kepada Washington Post. “Kita memberikan Injil karena korban bencana selalu mempertanyakan keberadaan Tuhan,” kata Oliver Asher, juru bicara Advancing Native Missions. Bisa dibayangkan, sambungnya, ada gelompang setinggi 15 meter dan banyak korban jatuh, tentu mereka bertanya-tanya soal Tuhan. Operation Mobilization, organisasi keagamaan berbasis di Tyrone, AS, juga telah mengumpulkan 60 ribu dolar AS. Douglas R Barclay, wakil presiden organisasi itu, mengatakan pihaknya mendukung kegiatan 3.700 misionaris di 110 negara.

Satu lagi, Samaritan’s Purse of Boone, kelompok Evangelis terkenal di AS, mengatakan pihaknya sudah masuk ke Aceh. Pendeta Franklin Graham mengatakan Aceh memang terlalu sensitif, tetapi mereka sudah melakukan upaya-upaya besar di sana. Samaritan juga menyebarkan Kristen di Iraq begitu AS menjajah negeri itu.

Relawan FPI, seperti dilaporkan tempointeraktif.com, juga melihat sejumlah bantuan yang disalurkan melalui PMI bermuatan unsur misi Kristen. Ada ratusan kardus bantuan yang kemasannya bertulis Jesus Loves You. Ketua FPI Sobri Lubis, menyesalkan adanya bantuan bermotifkan SARA seperti itu. Ia katakan: “Kalau mau bantu ya bantu saja, jangan memberikan doktrin-doktrin. Ini kan seperti mengail ikan di air lumpur. Ada juga pengiriman kaos-kaos bergambar porno yang diduga dikirim dari Medan.

Para misionaris Kristen tentu paham bahwa Aceh adalah wilayah Muslim. Tetapi, mereka memanfaatkan kesempatan untuk menyebarkan misi. Dan itu bukan cerita baru. Kelompok-kelompok Kristen evangelis sering muncul di televisi atau kebaktian-kebaktian massal dengan acara penyembuhan ajaib, mengeksploitasi orang-orang yang lemah dan sengsara karena terserang penyakit atau penderitaan tertentu. Kemudian dengan menggunakan teknik pengobatan mirip hipnotis, mereka menyembuhkan si pesakit.

Dikatakan kepada pesakit, bahwa kalau mereka percaya kepada Tuhan Jesus, maka mereka akan sembuh. Ketika ramai-ramai masalah RUU Pendidikan Nasional, Abdurrahman Wahid pernah diterapi semacam ini oleh sejumlah pendeta misionaris, tetapi ternyata gagal untuk dapat melihat kembali.

Sejak dulu, para misionaris Kristen sadar benar, bahwa wilayah Muslim adalah wilayah yang paling sulit ditaklukkan misi Kristen. J. Christy Wilson, seorang misionaris Kristen, menyatakan, “Evangelism for Mohammedans is probably the most difficult of all missionary tasks.” (Misi Kristen terhadap pengikut Muhammad mungkin merupakan tugas misionaris yang paling berat) (The Moslem World Journal, Oct. 1946).

Para evangelis Kristen, sejak dulu, berusaha menaklukkan dunia Islam dengan bebagai cara. Mereka percaya, kaum Muslim bisa ditaklukkan dengan kasih dan argumentasi. Kata-kata Henry Martin, misionaris terkenal, “I come to meet the Moslems, not with arms but with words, not by force but by reason, not in hatred but in love.” Misonaris lainnya, Raymond Lull, juga menyatakan, bahwa Islam tidak dapat ditaklukkan dengan “darah dan air mata”, tetapi dengan “cinta kasih” dan doa. (by love and prayers, and the pouring out of tears and blood).

Bagi para misionaris Kristen ini, mengkristenkan kaum Muslim adalah satu keharusan. Jika tidak, maka dunia pun akan diislamkan. Dalam laporan tentang “Centenary Conference on the Protestant Missions of the World¨ di London tahun 1888, tercatat ucapan Dr. George F. Post, “We must meet Pan-Islamism with pan-Evangelism. It is a fight for life.” Selanjutnya, dia berpidato, “OK we must go into Arabia; we must go into the Soudan; we must go into central Asia; and we must Christianize these people or they will march over their deserts, and they will sweep like a fire that shall devour our Christianity and destroy it.”

Ringkasnya, misionaris ini menyatakan: Kristenkan orang Islam, atau mereka akan mengganyang Kristen! Misi Kristen harus dijalankan. Sebab dalam pandangan kaum Kristen, misi Kristen adalah kewajiban utama mereka. Jika kaum Muslim diwajibkan untuk berdakwah dan menyeru umat manusia untuk memeluk Islam, maka kaum Kristen juga memiliki ideologi misi semacam itu.

Dalam soal ideologi misi Kristen, tidak ada perbedaan antar berbagai kelompok Kristen, baik Protestan maupun Katolik. Bahkan, setelah Konsili Vatikan II, yang sering dikatakan membawa angin segar bagi hubungan antar-agama, misi kewajiban menjalankan misi Kristen ke seluruh dunia tetap ditekankan.

Dalam “The Decree on the Missionary Activity of the Church” (Ad Gentes), disebutkan, bahwa “Gereja memiliki tugas suci untuk menyebarkan Injil kepada seluruh bangsa dan seluruh manusia.” Sebab itu, semua manusia harus dikonversi ke dalam Jesus, dikenalkan kepada Jesus oleh misi Gereja, dan semua harus disatukan dengan cara dibaptis ke dalam Gereja dan tubuh Kristus. Dokumen Ad Gentes disetujui dengan voting para peserta Konsili dengan suara 2394 setuju dan 5 menolak. Dokumen ini diumumkan oleh Paus Paulus VI pada 18 November 1965.

Bishop Donal Lamont, seorang peserta Konsili, menyatakan, bahwa Dekrit ad Gentes (artinya: kepada bangsa-bangsa), adalah dokumen yang paling tegas dalam sejarah Konsili Gereja. Dokumen ini menekankan, bahwa semua Gereja adalah misionaris. (The whole Church is missionary. Missionary work is the task of the whole People of God, as a fundamental duty. No other Council has ever insisted this so strongly). Dalam pidatonya, Evangelii Nuntiandi, 8 Desember 1975, Paus Paulus VI menyatakan, bahwa “evangelisasi adalah proklamasi Tuhan Jesus kepada umat manusia yang belum mengenalnya.”

Sebuah jargon populer dalam Konsili Vatikan II ialah: “Nulla gens tam fera est ut Christi Evangelii capax non sit, neque tam culta Ut Evangelio non indigeat.” (Tidak ada bangsa yang terlalu primitif sehingga tidak cocok dengan misi Kristen, dan tidak ada bangsa yang terlalu maju sehingga tidak membutuhkan misi Kristen).

Paus Yohanes Paulus II juga menyatakan, bahwa “Islam bukanlah agama penyelamatan. Tidak ada tempat dalam Islam, untuk Salib dan Kebangkitan Jesus.” (Islam is not a religion of redemption. There is no room for the Cross and Resurrection). (Lihat, Vittorio Messori, Crossing The Threshold of Hope by His Holiness John Paul II, Alfred A. Knopf, New York, 1994, hal. 92).

Maka, dalam “Redemptoris Missio”, 7 Desember 1990, Paus Yohanes Paulus II menyerukan: “Bukalah pintu buat Kristus, wahai manusia di mana saja.” Kata Paus, “Open the doors to Christ, people everywhere! Anda tidak akan kehilangan kebebasan anda dengan membuka diri anda terhadap Kata-kata Tuhan. Jumlah orang yang tidak mengenal Kristus terus bertambah.

Sejak akhir Konsili Vatikan II jumlah itu menjadi dua kali lipat. (Karena itu), saatnya telah tiba untuk menghimpun segala energi Gereja untuk menjalankan evangelisasi dan misi Kristen kepada semua umat manusia. (Lihat, Joseph Donders, (ed.), John Paul II: The Encyclicals in Everyday Language, Orbis Book, New York, 1996, hal. 144-145).

Begitulah semangat kaum Kristen Katolik dalam menjalankan misi Kristen. Padahal, pada saat yang sama, dalam dokumen Konsili Vatican II yang lain (nostra aetate), mereka juga menyatakan, bahwa mereka menghormati kaum Muslim. Kaum Muslim dikatakan menyembah satu Tuhan. Meskipun selama berabad-abad antara Muslim dan Kristen terlibat dalam konflik dan permusuhan, kaum Muslim didesak untuk melupakan masa lalu dan bekerjasama untuk mewujudkan keadilan sosial, nilai-nilai moral, perdamaian, dan kebebasan.

Dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Konsili Vatikan II dan Dialog Antar-Agama di Indonesia”, TH Sumartana, mencatat, “Konsili Vatikan II mengubah peta hubungan antaragama, baik pada tingkat dunia, maupun merembes sampai pada tingkat lokal; merambah pada tingkat global dan mempunyai pengaruh mendalam dalam kehidupan jemaat-jemaat lokal. Bukan hanya umat Kristiani saja yang dengan gembira merujuk pada dokumen Konsili Vatikan II, akan tetapi juga dengan senang hati banyak penganut agama lain menunjuk dokumen tersebut selaku sebuah milik dan pencapaian bersama. Dokumen tersebut diterima sebagai sebuah harapan, sebagai munculnya semangat baru dalam menjalankan dialog antaragama.” (Lihat, buku Gereja Indonesia Pasca vatikan II, Refleksi dan Tantangan, Kanisius, Yogyakarta, 1997, hal. 353-356).

Pada faktanya, dokumen-dokumen Konsili Vatikan itu seperti saling bertabrakan. Jika dikatakan, bahwa keselamatan sudah dapat dicapai melaluin agama lain, di luar Kristen, mengapa kaum Kristen masih diwajibkan menjalankan misi Kristen, bahkan dinyatakan, semua manusia harus dibaptis? Mengapa mereka ngotot untuk mengarahkan misi Kristen kepada kaum non-Kristen, di luar negara-negara Barat? Mengapa usaha Kristenisasi tidak diarahkan kepada orang-orang Barat yang jelas-jelas mengalami de-Kristenisasi? Mengapa misi Kristen tidak diarahkan kepada George W. Bush atau Ariel Sharon yang jelas-jelas menjadi sumber ketidaktenteraman dunia dan begitu banyak melanggar aturan main internasional? Mengapa Kristenisasi masih saja diarahkan kepada kaum yang sudah memeluk agamanya masing-masing?

Kaum Kristen perlu memikirkan masalah ini dengan serius. Di Indonesia, sejak dulu, sudah disarankan, agar penyebaran agama tidak diarahkan kepada orang-orang yang sudah memeluk agamanya masing-masing.

Namun, kaum misionaris Kristen selalu menolak hal itu, sebab mereka mengaku, bahwa menjalankan misi Kristen adalah kewajiban dasar mereka sebagai seorang Kristen. Pada 3 Oktober 1967, Majelis Dakwah Pelajar Islam Indonesia (PII) mengeluarkan seruan: “Menyerukan kepada kaum Kristen/Katolik untuk menghentikan usaha-usaha provokatif propaganda-propaganda/bujukan-bujukan dengan cara apa pun terhadap umat Islam.”

Seruan semacam itu banyak sekali ditujukan kepada kaum Kristen. Tetapi, tentu saja sulit dipenuhi. Dalam Musyawarah Kerukunan Umat Beragama tahun 1967, pihak Kristen menolak keras usulan pihak Islam untuk menyepakati klausul “tidak menjadikan umat yang beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing.” Alasannya, agama Kristen adalah agama misioner dan manusia memiliki hak asasi untuk berpindah agama.

Menurut catatan Karel Steenbrink, Letjen TNI (Purn) TB Simatupang sebagai salah satu Ketua PGI “bertarung bagaikan singa untuk membela posisi Kristen.” (Lihat, Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, BPK, Jakarta, 2004, hal. 391).

Bagaimana pun, kata Berkhof, “Indonesia adalah suatu daerah Pekabaran Injil yang diberkati Tuhan dengan hasil yang indah dan besar atas penaburan bibit Firman Tuhan Jadi tugas zending gereja-gereja muda di benua ini masih amat luas dan berat. Bukan saja sisa kaum kafir yang tidak seberapa banyak itu, yang perlu mendengar kabar kesukaan, tetapi juga kaum Muslimin yang besar, yang merupakan benteng agama yang sukar sekali dikalahkan oleh pahlawan-pahlawan injil.

Apalagi bukan saja rakyat jelata, lapisan bawah, yang arus ditaklukkan untuk Kristus, tetapi juga dan terutama para pemimpin masyarakat, kaum cendikiawan, golongan atas dan tengah”.

Jadi, bagi kaum misionaris Kristen, pemurtadan terhadap anak-anak Muslim, anak-anak terlantar, kaum dhu’afa, korban bencana alam, dan lain-lain, adalah sebuah tugas suci dari Tuhan. Bentuk-bentuk pemurtadan semacam ini, mudah dilihat dan segera menarik simpati banyak kalangan Muslim. Yang perlu dicermati juga, sebagaimana disarankan Berkhof, adalah pemurtadan kalangan cendekiawan dan pemimpin masyarakat Muslim.

Meskipun namanya masih Muslim, tetapi pola pikir dan hatinya sudah menjadi laksana “Kristen”. Ada kalangan semacam ini yang begitu kencang teriaknya jika kaum Kristen tertimpa masalah, tetapi jika saudaranya Muslim tertimpa masalah, mereka terdiam. Bahkan, tidak jarang, mereka rajin “menggebuki” kaum Muslim sendiri.

Kaum Muslim tidak bisa hanya menyalahkan kaum Kristen karena menyebarkan agama mereka . Sebab, itu sudah menjadi keyakinan mereka. Yang perlu dilakukan kaum Muslim adalah meningkatkan kemampuan dakwah mereka, agar mampu menyadarkan para pemuka-pemuka Gereja, bahwa kepercayaan yang mereka pegang selama ini keliru, karena itu seyogyanya mereka tidak patut menyebarkannya kepada umat manusia. Jika Gospel itu sendiri begitu bermasalah, bagaimana mungkin umat manusia diajak untuk mengimaninya?

Kaum Muslim tidak sepatutnya bersifat pasif dan defensif dalam menyadarkan pihak Kristen, tetapi perlu bersifat agresif dan lebih aktif mendakwahi para misionaris Kristen itu agar mereka sadar.

Keaktifan dakwah kaum Muslim ini sangat diperlukan untuk mengimbangi agresivitas kelompok-kelompok Kristen evangelis, agar tercipta sebuah “balancing of power” dalam penyebaran agama. (KL, 14 Januari 2005). [hidayatullah]