Friday, 22 November 2024, 21:16

By: O. Solihin

Ogi menunggu anteng di sebuah halte. Di depannya ada tas punggung yang penuh muatan pakaian dan seabrek makanan kecil. Ia mengamati setiap angkot yang berhenti di halte itu. Kali aja orang yang ditunggu datang.? Yup, Ogi lagi menunggu Koko dan Jamil. Ceritanya, Ogi mau nyobain gimana sih rasanya lebaran di kampungnya Koko. Menurut pengakuan Koko, ia tinggal di sebuah desa di kawasan Bogor. Pokoknya Bogor ke dalam lagi deh. Makanya Ogi pernah ngeledekin Koko dengan sebutan DKNY, alias Dari Kampung Nih Yee.

Nah, Ogi yang tahun ini nggak mudik ke kampung ortunya memilih berlebaran di kampungnya Koko. Supaya lebih seru, Ogi ngajak Jamil. Maklum, Jamil kan orangnya suka heboh kalo udah gabung sama Ogi. Apalagi ini acara liburan. Ditanggung antimanyun kalo gaul sama Jamil.

Setelah hampir lima belas menit Ogi nunggu, sebuah angkot mampir di halte. Sejurus kemudian, muncul makhluk manis bernama Jamil dari dalam angkot. Lengkap dengan barang bawaannya. Ogi buru-buru menjemput Jamil.

“Wah, kayak mau mudik jauh aja nih Mil” kata Ogi sambil mengangkat kardus yang dibawa Jamil.

“Kamu bisa aja, Gi” komentar Jamil sambil tangannya menyodorkan uang ke sopir angkot.

“Koko belum datang, Gi” tanya Jamil

“Belum tuh,” jawab Ogi singkat.

“Ngomong-ngomong, apa sih yang di dalam kardus itu?” Ogi penuh selidik. Matanya menatap Jamil.

“Yang jelas bukan petasan apalagi bom,” Jamil sekenanya sambil tersenyum.

“Coba aku tebak, ini pasti mainan kamu ya? Kamu kan MKKB, alias Masa Kecil Kurang Bahagia,” Ogi terkekeh.

“Enak aja, ini oleh-oleh buat ortunya Koko,” Jamil akhirnya terus terang.

Lagi asyik ngobrol, Koko turun dari angkot yang berhenti di halte itu. Ogi dan Jamil kompak ngomentarin, “Akhirnya, jadi juga kita lebaran di kampung…” keduanya tertawa lebar. Koko cuma mesem-mesem aja ngelihat tingkah makhluk aneh bin ajaib itu.

“Mau langsung berangkat neh?”

“Tentu dong Ko. Aku udah nggak sabar lagi neh pengen lihat sawah,” Ogi antusias.

“Kalo aku udah nggak tahan pengen nyebur di kali yang airnya masih bersih…” Jamil nggak mau kalah.

Koko nggak banyak omong, lalu meraih tas punggungnya. Ia berjalan menuju stasiun kereta Manggarai.

“Gi, siap-siap berjibaku ya… soalnya nih KRL musti penuh jam segini,” ujar Koko sambil melirik jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul empat sore.

“Tenang aja Ko, kita naik duluan ke KRL, Ogi suruh belakangan sambil bawa barang-barang kita…” Jamil asal ngomong.

“Wacks…sembarangan! Emang enak berebut masuk KRL sambil bawa barang bawaan sebanyak ini?” Ogi setengah menggerutu.

“Aduh, janganlah engkau memasang emoticon sejutek itu kepada hamba,” Jamil mulai muncul jahilnya sambil tertawa cekikikan.

“Tuh KRL-nya mulai datang…” Koko mengingatkan Ogi dan Jamil.

“Wah, KRL dari Tanah Abang lagi. Berabe. Jelek sih…” Jamil rada kecewa.

“Nggak apa-apa lah Mil, kita naik aja daripada nunggu dari Kota. Bisa lama,” Koko menenangkan. Benar, biasanya jam segitu, KRL Jabotabek kudu ngalah dulu, untuk memberikan kesempatan kepada kereta-kereta jurusan Jawa yang diberangkatkan dari Stasiun Gambir.

Nggak lama, ketiga anak cowok itu udah berada di gerbong keempat yang sesak. Maklumlah, KRL kelas ekonomi. Harus rela berjubelan bermandi peluh. Tapi apa mau dikata, kalo naik bis, selain mahal, juga nggak efektif, kudu berkali-kali ganti kendaran, belum macetnya. Naik KRL kan efektif, murah, dan nyaman. Bisa lebih cepet lagi. Tapi ya, itu tadi, KRL Jabotabek kelas ekonomi memang terkenal paling padat dan nggak nyaman. Kalo punya uang sedikit banyak, bolehlah ber-AC-ria di kelas bisnis dan eksekutifnya KRL Pakuan. Kalo cekak? Cukup puas berdesak-desakkan di kelas ekonomi, yang nggak jarang harus satu gerbong dengan ayam, kambing, bahkan pernah juga dengan kodok yang dibawa berkarung-karung oleh seorang penumpang. Wacks… nggak cocok bagi yang nggak tahan bau.

Tepat saat maghrib, KRL udah datang di Stasiun Bogor.

“Alhamdulillah, akhirnya nyampe juga. Kaki kamu masih ada Gi,” tegur Jamil sambil merapikan barang bawaannya.

“Aku malah khawatir ketuker sama kaki kamu, Mil. Abisnya padat banget,” Ogi menyunggingkan senyum tipis ke arah Jamil.

Keluar dari stasiun mereka langsung menuju Masjid Agung yang jaraknya cuma seratus meter dari stasiun kereta.

“Nanti sekalian kita buka di masjid aja. Suka banyak makanan,” Koko ngasih tahu.

“Asyik.. dapat makanan gratis…” Jamil setengah girang.

Koko dan Ogi tersenyum kecut lihat tingkah Jamil.

Setelah buka dan sholat maghrib berjamaah di Masjid Agung, ketiga anak muda itu melanjutkan perjalanan ke kampungnya Koko.

“Gi, kampungku masih satu setengah jam lagi dari sini dengan naik angkot,” Koko menjelaskan.

“Nggak apa-apa, yang penting selamat nyampe kampung kamu Ko,” kata Jamil dan Ogi hampir bersamaan.

ooOoo

Sinar matahari pagi terasa hangat di kulit. Jamil, Koko, dan Ogi sudah berada di sawah milik orangtuanya Koko. Mereka asyik memperhatikan burung-burung dan hamparan padi yang mulai menguning, yang tentunya nggak mereka dapatkan di Jakarta yang panas dan gersang. Di sini, udaranya masih bersih. Di Jakarta, udah bercampur dengan timbal dan juga karbon monoksida sisa pembakaran dari kendaran bermotor.

“Mil, di desa juga udah maju ya. Lihat tuh, banyak yang pake parabola,” Ogi menunjuk ke deretan rumah yang memiliki alat penangkap gelombang elektromagnetik itu.

“Kalo gitu, nggak heran kalo mereka dengan mudah menangkap segala budaya yang dilihatnya dalam tayangan televisi,” Jamil seolah mengiyakan.

“Itu juga masalahnya,” Koko buka mulut.

“Jadi di sini sudah seperti kehidupan orang kota maksudmu, Kok?” Ogi mencoba menebak pikiran temannya itu.

“Benar, meski secara geografis mereka tinggal di tempat yang jauh dari kota. Tapi bukan berarti terhambat untuk mengetahui dunia luar dan kehidupannya. Cukup menyalakan televisi, semua yang ada bisa dicontek,” Koko menambahkan.

Lagi asyik ngobrol di pinggir sawah itu, sayup-sayup terdengar suara berisik musik dari arah selatan. Sekelompok anak muda. Ada sekitar lima orang, membawa sebuah mini compo. Tampaknya mereka menuju ke sebuah saung yang ada di tengah sawah. Suaranya makin terdengar nyaring. Yang bikin kaget Ogi dan Jamil adalah, jenis musik yang diputarnya itu.

“Gila, tuh anak kampung dengerin lengkingan gitarnya Kirk Hammet dan dentuman drumnya Lars Ulrich,” Ogi geleng-geleng kepala.

“Lagunya …And Justice for All lagi…” Jamil tersenyum sambil rada-rada heran.

“Budaya global memang laku menjual. Budaya lokal dicampakkan..” seru Koko.

“Benar adanya kalo dunia sekarang seperti sebuah kampung besar. Informasi yang ada di belahan dunia lain, dengan mudah ditangkap belahan bumi lainnya,” tambah Ogi.

Musik berisik khas Metallica tetap mengalun. Ogi hapal betul dengan iramanya. Maklum, dulu kan vokalis band sekolahan. Kali ini terdengar teriakan James Hetfield, sang pesinden, dengan Eye of The Beholder-nya. Karuan aja, suara drum yang digebuk Lars Ulrich bersahutan dengan betotan bass Jason Newsted. Ogi, Jamil, dan Koko cuma geleng-geleng kepala aja menyaksikan dari jauh tingkah lima anak kampung itu.

“Gi, jangan-jangan setelah ini keluar tuh Rollin-nya Limp Bizkit, atau Minority-nya Greenday,” celetuk Jamil.

“He..he..he.. yang pasti sih kayaknya bakalan keluar tuh Toxicity-nya System of a A Down dengan langgam Mbah Dukun-nya Alam,” Ogi ngeledekin.

“Ssttt.. jangan ribut. Tuh, yang pake jaket kulit sambil jejingkrakan. Si Amud namanya, kalo di rumahnya mah, lagu yang diputer nggak jauh dari karya Bang Rhoma Irama macam Bujangan, Darah Muda, Pengorbanan dan…” Koko nggak ngelanjutin omongannya karena keburu dipotong Ogi.

“Oh.. ternyata Mil, teman kita ini juga ABRI, alias Anak Buah Rhoma Irama. He..he..he.. pantesan rabutmu galing Ko,” Ogi cengegesan sambil ngelirik Koko.

“Iya Ko, aku nggak nyangka kamu apal lagu-lagunya Bang Rhoma,” Jamil juga ikutan tersenyum.

Koko jadi nggak enak ati. Mau ngasih tahu si Amud temannya itu, eh, malah kena juga. Lama juga mereka ngobrol. Nggak terasa udah jam sembilan pagi.

“Pulang yuk!” ajak Koko.

Jamil dan Ogi mengangguk. Ketiganya berjalan di pematang sawah, terus menyusuri jalan setapak menuju perkampungan. Dalam perjalanan ke rumahnya banyak mata memandang asing kepada tiga pemuda itu. Mungkin karena penampilannya yang beda dengan anak kampung sekitar.

ooOoo

Menjelang Maghrib, suasana mulai ramai. Bahkan suara orang bertakbiran dari pita kaset yang diputer di masjid menambah indah suasana menjelang malam takbiran itu. Ini kali pertama Ogi dan Jamil berlebaran di tempat orang. Di kampungnya Koko. Sebetulnya, nggak kampung-kampung amat kalo dilihat. Sebab, kebetulan tempat Koko ada di kota kecamatan. Wartel ada, banyak toko, termasuk banyak yang punya sepeda motor. Rata-rata sih pake untuk ngojeg.

Makin malam, suasana makin meriah. Di tengah jalan menuju masjid, Koko bertemu dengan teman lamanya yang juga katanya jualan ikut pamannya di Jakarta, namanya Rusli. Tapi ada yang aneh dengan Rusli, sekarang kelihatan tambah dekil, item, dan sekaligus norak, dengan telinganya yang diganduli anting-anting. Berbincang sebentar melepas rindu, kemudian berpisah.

“Mil, ini temannya Koko benar-bener UDIN,” bisik Ogi sesaat setelah berpisah dengan Rusli.

“Namanya Rusli, bukan Udin,” Jamil belum ngeh maksud Ogi.

“Maksud aku, tuh anak Udin, alias Udah Dekil, Item, Norak lagi,” Ogi cengegesan.

“Huss… jangan ghibah ah…” seru Koko sambil tersenyum juga. Jamil ikutan cekikikan.

Di masjid udah banyak anak kecil yang rebutan pemukul beduk. Sebagian yang lain sibuk teriak-teriak di depan mikrofon melantunkan takbiran. Mungkin itu semacam Independence Day bagi mereka. Maklum saja, biasanya beduk dan mikrofon itu dimonopoli hak penggunaannya oleh marbot masjid.

“Wah, mana pemuda dan orangtuanya? Ini mah bocah semua atuh..” Jamil heran.

“Nggak usah kaget Mil. Anak muda dan orang tua sibuk dengan urusannya masing-masing,” jelas Koko.

“Eh, nama kamu siapa?” Jamil sok akrab.

“Asep, Kak” bocah umur tujuh tahun yang memegang pemukul bedug itu sambil menatap wajah Jamil.

“Hebat namanya, Kakak jadi inget sama Mas Garin Nugroho..” Jamil ngelantur.

Yang dikomentari bengong, tapi terus bertanya, “Emangnya kenapa, Kak?” tanyanya heran.

“Iya, Asep kan kepanjangannya Anak Seribu Pulau…” kata Jamil sambil senyum. Kontan aja teman-teman Asep yang ikutan nimbrung saat Asep ditanya Jamil tertawa lepas. Hua..ha..haaa

Jamil buru-buru memeluk anak itu sambil ketawa lalu masuk masjid menyusul Koko dan Ogi yang udah duduk bersila dekat mimbar sambil memegang mikrofon. Hampir dua jam Koko, Jamil, dan Ogi bertakbiran di masjid itu. Jamil yang paling semangat takbiran, sampe-sampe tuh mikrofon hampir ketelen. Jamil sampe serak. Jam setengah sepuluh malam mereka meninggalkan masjid karena sudah ada yang gantian untuk takbiran.

Di sebuah warung, Koko Cs melihat banyak orang berkumpul. Seperti ada pesta. Tadinya Koko nggak mau berhenti, tapi setelah melihat seorang pemuda yang ditindik kupingnya, yang nggak lain adalah Rusli, tengah memegang botol minuman keras. Koko ngajak Jamil dan Ogi untuk berhenti. Rusli sedang ngoceh karena pengaruh minuman keras itu. Amud, temannya Koko yang pagi tadi jejingkrakan saat dengerin musik berisik juga ada di situ. Keduanya teler abis. Lagu Goyang Dombret diputer dengan suara kenceng mengiringi aksi mereka yang tengah mabuk. Sesaat kemudian, tiga pemuda lainnya ikut ngoceh sambil menghisap daun ganja kering. Astaghfirullah…malam takbiran itu malah dinodai dengan pesta miras dan narkoba.

Koko menatap lekat wajah Jamil dan Ogi seolah meminta pendapat keduanya.

“Gi, kamu yang ngomong ke pemilik warung ini,” saran Jamil.

“Jangan dulu, kita cari bantuan aparat di sini aja, juga dari DKM,” Ogi ngasih alternatif.

“Wah, setahuku pemilik warung ini pernah ngajak duel pengurus DKM, kalo mereka berani ngusik bisnisnya,” jelas Koko.

Lagi diskusi begitu. Terdengar seruan dari pemilik warung, “Ayo anak-anak puaskan pestamu malam ini. Jangan takut polisi. Karena mereka sudah kita suap,” teriaknya bangga.

Deg, Koko dan kawan-kawan kaget setengah hidup demi mendengar kata-kata itu. Koko nyaris lunglai. Ogi buru-buru maju ke hadapan Pak Tua berkumis tebal yang tadi bicara itu disusul Jamil dan Koko.

“Kamu anak baru ya? Mau apa? Nipam, magadon, putauw, atau mungkin Topi Miring dan AO?” katanya sambil menyebut beberapa nama narkoba dan miras.

“Cihh.. aku bukan orang yang kau maksud, Pak” Ogi kesal sambil meludah.

“Mil, kamu tunggu di sini ya.. aku mau cari bantuan…” pinta Koko sambil buru-buru meninggalkan tempat itu menuju rumahnya. Jamil cuma mengangguk dan siap-siap kalo ada hal yang nggak diinginkan.

“Hei… apa maksudmu?” Pak Tua berkumis tebal itu kelihatan merah matanya. Merasa dihina anak seumur Ogi.

“Pak, sadarlah. Umur udah tua. Bapak bertanggung jawab dengan masa depan anak muda di sini, Pak. Selain itu, bapak juga bertanggung jawab di akhirat kelak,” Ogi berusaha untuk tenang dalam menjelaskan.

“Bukan saatnya untuk berkhotbah. Apa peduli kamu. Urus dirimu sendiri. Jangan ganggu orang lain. Terserah deh kamu mau ngapain juga, asal jangan ganggu bisnis saya,” Pak Tua menghardik Ogi sambil memilin-milin kumisnya yang tebel kayak ulet bulu.

Suara musik makin bergemuruh mengiringi sekitar sepuluh anak muda yang teler di malam takbiran itu. Ogi makin kesal.

“Pak, hentikan bisnis yang merusak moral anak muda kita ini, atau saya laporkan ke polisi,” Ogi berusaha menakut-nakuti.

“Ha..ha..ha..ha.. rupanya ada cecurut yang berani bertingkah di sini” tawanya lepas begitu mendengar omongan Ogi.

“Tak seorang pun yang bisa mencegah bisnis saya. Polisi? Ha..ha..ha.. setiap bulan mereka dapat upeti yang berlimpah. Jadi, sia-sia saja ceramahmu anak muda…..” Pak Tua itu tetap tertawa sambil hendak memegang kepala Ogi. Ogi berusaha menepis dengan lengannya.

Tiba-tiba… terdengar jeritan wanita dari dalam kamar.

Pak Tua pemilik warung itu segera memburu ke arah datangnya suara. Nampak seorang pemuda memegang pisau belati berlumur darah. Tangan kirinya masih memegang erat botol minuman keras yang isinya masih tersisa seperempatnya. Di depannya, seorang wanita muda, istri kedua Pak Tua itu ngejoprak mandi darah.

“Kurang ajar kamu, kamu telah membunuh istri saya,” teriaknya cemas dan kesal.

Sang pemuda menjawabnya dengan tusukan yang diarahkan ke dada Pak Tua. Orang tua itu mengelak. Tapi telat, lengan kananya kena tusuk. Ia sempoyongan. Darah mengucur deras membasahi bajunya. Di saat-saat yang genting itu, terdengar teriakan dari orang-orang diluar, “Bakar! Bakar!”

Ogi buru-buru keluar. Nampak di situ Koko dan puluhan warga bersenjata tajam. Untung, polisi segera datang di tempat kejadian. Puluhan pemuda yang ikut pesta itu dibekuk petugas. Begitu pula Pak Tua pemilik warung digelandang dengan tangan terborgol menuju mobil polisi. Sementara ambulan membawa istrinya yang sedang sekarat.

“Mil, ini oleh-oleh cerita untuk teman-teman di Jakarta,” Ogi tersenyum kecut.

“Gi, ternyata kemaksiatan itu sudah mengglobal ya? Kehidupan orang desa sama dengan yang di kota. Menyedihkan,” Jamil nimpalin.

“Ini buah kapitalisme. Sistem rusak pembawa bencana kehidupan. Tantangan bagi mereka yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam,” Koko menambahkan. Ketiganya lalu pulang ke rumah, menyisakan sebaris kesedihan menyaksikan kehidupan umat ini.[]

[diambil dari Majalah PERMATA edisi 10/Tahun VII/Februari 2003]

1 thought on “Lebaran di Kampung Koko

Comments are closed.