Kontroversi terhadap aksi penyanyi dangdut asal Pasuruan, Jatim yang terkenal dengan goyangan mautnya terus berlanjut. Banyak yang menghujatnya, tapi tak sedikit yang memujanya. Bahkan berita tentang penyanyi sensual ini terus menghiasi media massa elektronik dan cetak negeri ini. Hebatnya lagi, mampu menenggelamkan berita seputar intrik politik yang biasanya menjadi sajian menarik para kuli tinta. Inul memang fenomena.
Sobat muda muslim, sebenarnya kita males ikut-ikutan ngebahas masalah ini. Sebab, dalam kondisi masyarakat yang rusak seperti ini, hujatan maupun pujian malah akan menjadikan doi kian terkenal. But, karena banyak pihak kebingungan atas masalah ini (cieee… pede amat ya?), akhirnya kita turun juga. Bukan untuk ikutan joget, tapi coba ngasih solusi.
Penyanyi yang memiliki nama asli, Ainul Rokhimah ini oleh publik �sepakat’ dijuluki si goyang “ngebor�. Maklum, aksi goyangannya memang heboh banget. Nggak perlulah kita jelasin dengan detil, seperti apa �ngebor’ itu. Bagi yang pernah ngelihat aksinya di televisi, kayaknya udah bisa menerjemahkan sendiri deh maksud dari julukan itu.
Lebih-lebih, setelah beredar foto barengnya dengan Taufiq Kiemas, saat mereka menjadi tamu di acara “Waroeng Toedjoe� yang digelar stasiun televisi TV7, Inul kian ngetop aja. Bahkan, tercium kabar bahwa Inul jadi rebutan partai-partai menjelang pemilu 2004 ini. Joget barengnya dengan suami Megawati itu, ada yang menafsirkan bahwa kubu partai berlambang banteng itu akan menjadikan Inul sebagai mesin penggaet massa di pemilu nanti.
Dalam laporan GATRA, ada artikel berjudul, “Inul: Goyang Bor Untuk Pemilu� menyebutkan bahwa Inul memberi isyarat bahwa, ia tak hanya berjoget untuk PDI Perjuangan. “Siapa saja aku pasti bantu, baik dari PAN, PKB, atau partai lainnya,� kata Inul. (GATRA, Nomor 14, 17 Februari 2003)
Hmm… Inul Daratista menjelma menjadi sebuah fenomena di negeri ini. Aksi panggungnya yang kerap mengobral goyang pinggul heboh itu menjadi catatan tersendiri di benak masyarakat. Panggungnya di berbagai pelosok kota kecil selalu dinanti orang. Misalnya di Jombang, Jawa Timur, bertepatan dengan Idul Adha, Rabu pekan lalu. Di kota itu, ia tampil di Taman Wisata. Buat warga “kota santri� itu, pertunjukan ini istimewa, karena Inul. Maka, usai salat id, ribuan orang berhamburan ke tempat itu. Jalan poros Jombang macet total sejak pukul 07.00. Gerimis pagi tidak mengurangi minat mereka. Tiket seharga Rp 6.000, yang menjadi Rp 10.000 di tangan para calo, ludes. Penonton tak hanya didominasi remaja dan orang tua. Anak-anak pun ikut meramaikan acara itu. (GATRA, ibidem). Glodaks, kacau Rek!
Uang dan ketenaran jelas sedang berpihak kepada gadis kelahiran 21 Januari 1979 ini. Menurut pengakuannya yang ditulis GATRA, acara di tahun baru kemarin, dari goyang ngebornya itu, Inul meraup duit sampe 200 juta rupiah. Wow!
Porno, sebatas mana sih?
Para penghujat Inul memang mengkategorikan aksi goyang Inul Daratista sebagai bentuk pornoaksi dan pronografi. Situs berita detik.com menurunkan laporannya bahwa goyang Inul berbuah hujatan. Keluhan itu datang dari Media Watch & Comsumer Center (MWCC) dan Masyarakat Tolak Pornografi (MTP). Kedua LSM inilah yang agaknya paling terusik dengan fenomena Inul. Mereka pun mengirimkan semacam pernyataan keprihatinan ke berbagai media massa di Jakarta, Jumat (14/2/2003).
MWCC menuding Inul telah “menyepelekan masyarakat kita yang masih menjunjung tinggi moral susila dan ajaran agamanya�.
Senada dengan MWCC, MTP mempersoalkan pernyataan Inul di TV7, “Kalau orang protes soal penampilan atau make up saya tidak masalah. Tapi, kalau soal gaya, saya akan tetap seperti ini.� Pernyataan Inul ini merupakan respon atas keberatan sebagian umat Islam di Pasuruan, Jawa Timur terhadap penampilan sang penyanyi. Lebih khusus lagi, MTP juga menyarankan agar Inul “bertobat�.
Dalam tayangan “Silet� di RCTI hari Rabu 19/02/2003, manajer Inul menyatakan bahwa batasan porno sendiri masih belum jelas. Nah lho, memang harus diakui bahwa masyarakat kita masih kebingungan kalo disuruh menjelaskan batasan porno dan pornografi itu. Ada yang bilang kalo kasus itu sudah melanggar adat or norma ketimuran, barulah disebut porno. Kayaknya kalo kita kejar lagi dengan pertanyaan adat ketimuran yang mana, bisa jadi lidahnya kelipet-lipet dalam menjawabnya. Timur yang mana? Nah, kalo “timurnya� adalah masyarakat pedalaman Papua, maka menurut mereka mengenakan koteka juga sudah sopan. Walah, bingung sendiri kan?
Padahal, jawab aja bahwa itu terlarang menurut aturan Islam. Iya nggak? Gitu aja kok repot. Tapi masalahnya, memang masyarakat kita juga udah jauh banget dengan ajaran Islam, jadinya tetep bingung ketika ditanya batasan porno. Inilah nasib kaum muslimin saat ini. Bukan hanya jeblok di bidang ekonomi, tapi intelektualnya juga tekor. Kasihan.
Para pendukung dan pemuja Inul juga mengeluarkan pernyataan bahwa seni itu universal. Atas nama seni, maka itu sah-sah saja. Gedubrak, apa nggak salah baca dan denger neh kita? Asal deh. Seni seringkali menjadi topeng untuk menutupi sebuah kebobrokan. Kalo goyang ngebor Inul adalah sebuah seni, maka wajar jika film dan iklan yang berbau porno juga nggak bakalan dilarang. Begitulah, jika sebuah penilaian diserahkan kepada manusia, bisa banyak penafsiran. Kacau bin amburadul. Bahaya banget kan?
Sobat muda, ngomong-ngomong soal definisi pornografi, dalam yourdictionary.com kamu bisa dapatkan keterangannya. Disebutkan bahwa pornografi adalah: the depiction of acts in a sensational manner so as to arouse a quick intense emotional reaction (penggambaran sebuah perbuatan dalam perilaku yang sensasional untuk merangsang secara cepat reaksi emosi yang hebat). Jadi kalo aksi panggung yang dilakukan Inul, menurut kamus tersebut, bisa digolongkan kepada aksi pornografi.
Bagaimana dalam pandangan Islam? Sobat, Islam udah mengatur masalah ini sejak lama. Misalnya saja dalam masalah aurat. Ada bagian tubuh yang boleh diperlihatan di depan umum, tapi ada juga bagian tubuh yang haram diperlihatkan di depan umum. Bagi wanita, seluruh tubuhnya (kecuali muka dan telapak tangan) adalah aurat yang terlarang dilihat di depan umum. Joget erotis di depan umum? Termasuk menunjukkan �perhiasan’ yang terlarang euy. Apalagi memang aksi itu umumnya bisa memancing pikiran yang �nggak-nggak’. Gaswat kan? Firman Allah Swt.:
?ˆ???„?§?? ?????¨?’?¯?????†?? ?²?????†???????‡???†?‘?? ?¥???„?§?‘?? ?…???§ ?¸???‡???±?? ?…???†?’?‡???§
“…Janganlah mereka menampakkan perhiasannya (anggota badannya) kecuali yang biasa tampak dari padanya…� (TQS an-Nuur [24]: 31)
Rasulullah saw bersabda: “Anak Adam tidak dapat menghindar dari perbuatan (yang menghantarkannya kepada) zina, yang pasti akan menimpanya, yaitu zina mata adalah dengan melihat (aurat wanita), zina telinga adalah dengan mendengar (kata-kata porno, cinta asmara dari wanita/lelaki yang bukan istri/suami), zina lidah adalah dengan ucapan (menggoda wanita dengan rayuan dan kata-kata kotor dan porno), zina tangan adalah dengan tindakan kasar (memperkosa, menjawil bagian tertentu dari tubuh wanita), zina kaki adalah dengan berjalan (ke tempat maksiat, misalnya ke komplek pelacuran). (Dalam hal ini), hatilah yang punya hajat dan cenderung (kepada perbuatan-perbuatan tersebut), dan farji (kelamin) yang menerima dan menolaknya.� (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Produk kapitalisme
Sobat muda muslim, dalam menyikap kejadian ini, tentunya kita juga kudu ambil bagian untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat. Sebab, kasus ini bukan semata persoalan penyimpangan sebuah seni, tapi memang merupakan kerusakan sebuah sistem kehidupan. Inilah produk masyarakat yang dibangun atas dasar kapitalisme.
“Akibat kapitalisme, seorang perempuan dengan mudah diekspolitasi tanpa yang bersangkutan merasa dieksploitasi, bahkan dengan senang hati melakukannya. Ini bisa kita lihat di iklan-iklan yang menampilkan perempuan sebagai model,� kata Khofifah. Menurut mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan itu, upaya mengurangi eksploitasi seksual bukannya tidak dilakukan, namun dalam kenyataannya upaya itu tidak semudah yang dibayangkan.
“Saat menjabat menteri, saya pernah mendatangi suatu rumah produksi untuk membicarakan masalah eksploitasi perempuan. Apa kata sang produser? Katanya, urusan dia adalah urusan dagang, bukan moral,� ujarnya. (gatra.com, 18 Februari 2003)
Inul, sebenarnya bukan yang pertama, tapi boleh jadi paling heboh. Dengan catatan bahwa aksi ini yang diketahui oleh publik. Sebab, sangat boleh jadi yang tak tersentuh media, seperti aksi di diskotik atau bar malah lebih hot dari aksi ini. Mungkin lho. Sebab, kehidupan masyarakat ini memang udah rusak berat.
“Terlalu kecil kalau cuma bicara Inul dibanding budaya erotisme yang telah sedemikian besar yang harus dikikis dan kalau bisa dihapus,� kata Cak Hasyim, panggilan akrab KH Hasyim Muzadi, kepada pers di kantor PBNU, Jakarta, Selasa, 18 Februari 2003.
Cak Hasyim lantas mencontohkan dunia periklanan, terutama iklan-iklan yang ditayangkan di televisi yang mengumbar erotisme dan hedonisme, meski adakalanya tidak ada kaitannya, seperti iklan obat, iklan mobil, dsb.
“Penonjolan seks dan erotisme pada semua bidang itulah yang harus kita soroti. Jadi, tidak sekedar Inul,� katanya seraya menambahkan bahwa tidak akan banyak berarti jika hanya meributkan goyangan Inul sementara membiarkan persoalan penonjolan erotisme yang lebih besar.
Sobat muda muslim, dalam kehidupan kapitalisme, kebebasan memang menjadi dewa. Atas nama kebebasan, seringkali orang berbuat sesukanya. Dikasih catatan lagi, bahwa setiap orang jangan turut campur terhadap urusan orang lain. Jadi nggak boleh ada yang ngerecokin. Buktinya, meski banyak yang protes, Inul tetep aja enjoy dengan goyang ngebornya. “Toh, masih banyak yang suka dengan gaya saya,� barangkali begitu alasan Inul. Walah?
Pemerintah yang seharusnya memberantas kegiatan asusila, ternyata malah membiarkan, bahkan di Bantul dan Sleman ada pejabat yang mengecam pencekalan Inul. Ketua DPRD Sleman D.I. Yogyakarta, Jarot Subiantoro, berharap agar pihak keamanan khususnya Polres Sleman tidak mencekal Inul penyanyi dangdut asal Jawa Timur dalam melakukan pentas di wilayah ini. “Biarlah daerah lain mencekal Inul Daratista, yang dikenal sebagai penyanyi dangdut bergoyang `ngebor` itu, tetapi pihak keamanan Sleman sebaiknya jangan ikut mencekal dia, sebab dia pentas untuk mengembangkan bakat serta sarana mencari nafkah,” katanya (gatra.com, ibidem)
“Dalam batasan pencekalan terhadap Inul, ia hanya merupakan korban seni, karena pada kenyataannya banyak pentas dangdut di Propinsi D.I Yogyakarta, yang lebih berbau porno dibandingkan pementasan Inul,� kata Ketua DPRD Bantul, Agus Wiyarto, SE (gatra.com, ibidem)
Duh, beginilah kondisi masyarakat yang amburadul. Sebagian protes, tapi yang setuju juga banyak. Aneh bin ajaib. Itu sebabnya, sudah saatnya sistem kapitalisme ini diganti dengan sistem kehidupan Islam. Islam tidak akan membiarkan masalah ini terus berlanjut. Negara akan menghukum orang-orang yang terlibat di dalamnya. Abdurrahman al-Maliki, dalam Kitab Sistem Sanksi Dalam Islam (hlm. 287) menjelaskan bahwa, jika seorang wanita menari dengan maksud jelek (jahat); dalam bentuk yang melanggar adab umum, di dalam tempat yang terbuka, atau mirip terbuka yang mudah dilihat oleh masyarakat, maka si penari tersebut akan dikenakan sanksi—jika penari tersebut melakukannya atas pilihannya (kehendak sendiri), maka akan dipenjara selama 3 tahun.
Dijelaskan juga bahwa, setiap orang yang melakukan tarian atau gerakan-gerakan erotis (merangsang) yang dapat membangkitkan syahwat di tempat umum; seperti di jalan, warung, atau kafe dan sebagainya, maka akan dikenakan sanksi penjara sampai 6 bulan lamanya. Jika ia mengulangi lagi perbuatannya, maka sanksinya akan ditambah menjadi hukuman penjara selama 2 tahun dan dijilid (dicambuk).
Sobat muda muslim, kasus Inul hanya satu dari sekian banyak produk sistem kehidupan kapitalisme; korupsi, kriminalitas, pelacuran, perjudian, dsb. Jadi, mari kita kampanyekan untuk menggusur kapitalisme dan menerapkan Islam sebagai ideologi negara. Mulai sekarang, tetap semangat untuk mengkaji dan memperjuangkan Islam. Oke?
(Buletin Studia – Edisi 133/Tahun ke-4/24-02-2003)