Friday, 22 November 2024, 15:13

Oleh: Adian Husaini

Meskipun Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa tentang haramnya paham ?sipilis’? (sekularisme, pluralisme agama, dan liberalisme), tetapi masalahnya bukanlah selesai. Ibarat virus, makhluk ?sipilis’ tidak mudah dideteksi dan diidentifikasi. Karena itu, bukan tidak mungkin, virus ini menyusup secara diam-diam ke berbagai komunitas dan pikiran manusia, tanpa menyadari dampak yang ditimbulkannya.

Contoh yang menarik tentang penyusupan (infeksi) virus ini di dalam tubuh umat Islam bisa dilihat dalam majalah “Azzikra”, sebuah majalah yang diterbitkan oleh PT Dzikra Pers. Menyimak deretan nama-nama terkenal dari Dewan Syariah Majlis Az-Zikra, maka orang akan berpikir, tentulah majalah ini aman-aman saja dari virus ?sipilis’. Sebab, di situ ada nama Dr. Muslih Abdul Karim, Abu Bakar Baasyir, Dr. Salim Segaf Al-Jufri, KH Dr. Didin Hafiduddin, Ja’far Umar Thalib, Habib Rizieq Syihab, Toto Tasmara, dan sebagainya.

Majalah ini diterbitkan seiring dengan populernya nama Arifin Ilham dalam menggelar Majelis Zikir.
Tetapi, jika dicermati beberapa bagian isi majalah ini, maka akan kita dapatkan benih-benih dan infeksi paham ?sipilis’. Itu bisa disimak dalam penggunaan istilah-istilah untuk membaca fenomena keislaman dan masyarakat Islam di Indonesia. Misalnya, ketika redaksi melakukan pemetaan terhadap penerbit-penerbit buku Islam di Indonesia, pada edisi Sepember 2005.

Redaksi sudah memberikan cap-cap “konservatif”, “fundamentalis”, terhadap penerbit-penerbit tertentu. Misalnya, dalam tulisan berjudul “Gairah Penerbitan Buku Islam”, redaksi majalah ini menulis: “Al-Kautsar dan Gema Insani Press mewakili penerbit yang membidik pasar muslim yang konservatif.

Kalangan ini, menurutnya,? menyukai buku-buku yang menafsirkan teks-teks Islam secara literal yang disebut secara pejoratif sebagai kalangan fundamentalis. Al-Kautsar hingga kini telah menerbitkan buku sebanyak 500 judul, sedang Gema Insani Press berhasil meluncurkan ke pasar 1000 judul. Memakai contoh kasus dua penerbit tersebut, pasar buku dari sayap fundamentalis terkesan menggiurkan.” (hal. 9)

Ketika membuat laporan tentang penerbit Paramadina, redaksi majalah ini menulis judul laporannya: “Lokomotif Gagasan Pembaruan”. Buku yang ditampilkan fotonya, ialah buku “Fiqih Lintas Agama”. “Salah satu kekuatan penerbit ini,” tulis redaksi, “buku-buku yang diterbitkannya memuat pemikiran baru dalam Islam.

Naskah yang diterbitkan umumnya menyajikan masalah aktual, wacana kontemporer, serta berwatak pluralis dan inklusif. Contohnya, buku “Benturan Antar Fundamentalis”, “Wacana Islam Liberal”, dan “Oksidentalisme”. Karena buku-bukunya memuat gagasan baru, tak jarang bukunya menuai kontroversi.

Contohnya, buku Islam Ditelanjangi dan Fiqih Lintas Agama. Sesuai dengan karakter penerbit ini, pasar buku terbitan Paramadina adalah kaum terpelajar yang berpikiran terbuka terhadap pemikiran baru dalam Islam.” (hal. 21).

Dari istilah-istilah yang digunakan tampak istilah-istilah stigmatik – seperti istilah “konservatif”, “fundamentalis” — sudah diberikan kepada penerbit-penerbit Islam seperti Al-Kautsar dan Gema Insani Press serta pembaca buku-bukunya.

Sedangkan untuk penerbit Paramadina dan pembacanya, diberikan label dan cap-cap yang indah seperti “berpikiran terbuka” dan sebagainya.

Penggunaan istilah-istilah tertentu merefleksikan cara pandang redaksi majalah ini dalam memandang fenomena keislaman di tengah masyarakat. Banyak cendekiawan Muslim menolak dan mengkritik buku “Fiqih Lintas Agama” dengan hujjah-hujjah yang kuat, bukan semata-mata karena buku ini memuat ide-ide baru.

Buku ini tidak memiliki “metodologi” atau “epistemologi” yang jelas dalam perumusan hukum-hukum Islam, tetapi sudah berani membuat hukum-hukum baru yang bertentangan dengan nash-nash al-Quran dan pendapat para ulama Islam, sejak zaman sahabat Nabi sampai saat ini. Seperti, pendapat buku ini yang menghalalkan pernikahan antara muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Paramadina juga pernah menerbitkan buku bagus, seperti Buku “Ahl Kitab, Makna dan Cakupannya”, yang merupakan disertasi Dr. Muhammad Ghalib di IAIN Ciputat. Buku ini justru mengritik ide-ide baru yang disebarkan oleh Nurcholish Madjid tentang makna Ahlul Kitab.

Nurcholish sendiri tidak pernah menulis satu makalah khusus berkaitan dengan masalah ini.? Jika ingin disebut “objektif” dan “fair”, seyogyanya, redaksi majalah ini menghindarkan diri dari penggunaan istilah-istilah yang peyoratif seperti “konservatif” dan sebagainya terhadap kelompok Islam atau satu institusi Islam yang memiliki corak pendapat tertentu, yang katanya, suka “menafsirkan teks-teks Islam secara literal”. Sebab, istilah “konservatif” dan “penafsiran secara literal”, bukanlah kata-kata yang diakui oleh penerbit Islam seperti Al-Kautsar dan Gema Insani Press.

Apa sih artinya koservatif? Kata ini memberikan konotasi “kolot”, “tidak mau maju”, “tidak mau berkembang”, dan sebagainya. Apakah kata ini tepat ditujukan kepada kaum Muslim yang bermaksud kosisten dalam mengamalkan dan memperjuangkan agamanya? Tentu tidak tepat. Ketika seorang Muslim ingin mengamalkan ajaran agamanya semaksimal mungkin, maka dia? akan berhadapan dengan nilai-nilai Barat sekular-liberal yang hegemonik di tengah masyarakat global.

Kaum Muslim itu sering dicap konservatif karena tidak mau mengikuti nilai-nilai sekular-liberal. Sedangkan yang siap mengikuti nilai-nilai dan paham sekular-liberal lalu dikatakan ?progresif’ dan berpikiran terbuka.

Padahal, sejatinya, kaum yang mengikuti ideologi dominan (sekular-liberal) layaknya dicap sebagai konservatif, karena tidak mampu melihat kecemerlangan nilai-nilai Islam yang bertentangan secara diametral dengan paham sekularisme-liberalisme.

Pada edisi sebelumnya, Agustus 2005, kita juga bisa melihat “bau sekularisme dan liberalisme” di majalah ini. Dalam sebuah artikel berjudul “Surat Terbuka untuk Presiden”, redaksi menulis kalimat-kalimat sebagai berikut:

“Di era reformasi, ketegangan itu muncul justru dari sekelompok kecil umat Islam yang masih menghendaki Indonesia menjadi negara Islam, atau masih tetap ingin memberlakukan syariat Islam seperti difahami kaum? fundamentalis.”

Membaca kalimat-kalimat itu, kita menjadi bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya posisi Habib Rizieq dan Abu Bakar Baasyir dan tokoh-tokoh Islam lainnya di majalah ini dan Majlis Az-Zikra? Sebab, tokoh-tokoh itulah yang di era reformasi aktif? dalam menyuarakan penegakan syariat Islam di Indonesia.

Anehnya, justru di majalah yang nama mereka dicantumkan, aktivitas penegakan syariat Islam dikatakan sebagai penyebab ketegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Majalah Az-Zikra dan Majlis Az-Zikra adalah satu komunitas yang jelas tidak termasuk kategori liberal.

Tokohnya, Arifin Ilham, dikenal sebagai ustad yang sering menyerukan penegakan ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Dia juga merangkul tokoh-tokoh yang aktif memperjuangkan syariat Islam, seperti Habib Rizieq, dalam majlisnya.

Ketika Habib Rizieq saya hubungi dan saya konfirmasi tentang isi Majalah Az-Zikra, dia mengaku belum membacanya. Dia bahkan meminta agar majalah itu dikritik dan dia akan membawa masalah ini kepada Arifin Ilham.

Habib Rizieq, misalnya, menolak pendapat Nasaruddin Umar yang ditulis pada edisi September 2005 majalah Az-Zikra tentang definisi “ummi” bagi Nabi Muhammad saw. Menurut Nasaruddin Umar, “ummi” bukanlah berarti “tidak dapat membaca dan menulis”, sebagaimana yang dipahami para ulama Islam selama ini.

Tapi, tulisnya, makna “ummi” yang benar ialah yang disebutkan dalam bahasa Ibrani, yakni “pribumi” (native).

Kata Nasaruddin, profesor Ilmu Tafsir di Universitas Islam Negeri Jakarta, “Saya cenderung memahami kata ummi dalam arti pribumi, mengingat suku dan keluarga nabi Muhammad tidak termasuk golongan pembaca kitab.

Yang masyhur sebagai pembaca kitab (qari) pada waktu itu ialah komunitas Yahudi dan Nashrani. Mereka bukan warga native di dunia Arab. Jika pemahaman kita seperti ini, Nabi Muhammad tentu bukan sosok yang belum menganut faham salah satu kitab suci. Karenanya ia dipilih Tuhan untuk menjadi Nabi dan Rasul. Orang secerdas Nabi sulit dipahami sebagai orang yang buta huruf atau orang yang tidak diperkenankan untuk membaca dan menulis.”

Habib Rizieq menolak pendapat seperti itu, dan menyatakan, bahwa pendapat itu adalah pendapat kaum syiah dan sejumlah orientalis. Meskipun antara syiah dan orientalis memiliki motif yang berbeda dalam menolak pendapat bahwa “ummi” untuk Nabi Muhammad saw adalah tidak dapat membaca dan menulis.

Kaum sunni, menurut Habib, sudah berijma’ bahwa makna “ummi” untuk Nabi Muhammad saw bermakna “tidak dapat membaca dan menulis”.

Dalam bukunya “Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran” (2005), Adnin Armas memaparkan pendapat para orientalis Yahudi dan Kristen yang sejalan dengan pendapat Nasaruddin Umar dalam memberikan definisi “ummi” untuk Nabi Muhammad saw.

Menurut mereka, tidak mungkin Nabi Muhammad tidak dapat membaca dan menulis.Theodore Noldeke, misalnya, menyatakan bahwa kata “ummi” dalam al-Quran merujuk kepada sebuah masyarakat tanpa wahyu. Hirshfeld juga menyatakan, Muhammad bisa membaca dan menulis, dan mengerti aksara Ibrani ketika berkunjung ke Syria.

Menegaskan pengaruh agama Yahudi kepada Muhammad, Horovitz berpendapat, bahwa Muhammad salah paham ketika mendengar kata “ummi” dari Yahudi di Madinah. Menurut Horovitz, Muhammad menyebut dirinya sebagai “ummi” (dalam surat Al A’raf ayat 157 dan 158) karena Muhammad berasal dari Arab, bukan dari Israel.

Horovitz manafsirkan kata “ummi” dalam ayat tersebut sebagai “ummot ha-olam”,? yakni masyarakat yang tidak diberi kitab, yang berbeda dengan umat terdahulu yang diberi kitab.

Pendapat? Horovitz tentang “ummi” sejalan dengan pendapat Nasaruddin Umar yang ditulis dalam majalah Az-Zikra tersebut. Padahal, para ulama Islam telah memahami makna “ummi” dengan pemahaman yang jelas, bahwa Nabi Muhammad saw memang tidak dapat membaca dan menulis. Ibnu Manzhur (m. 711 H), menjelaskan, bahwa kata “ummi” berarti tidak dapat menulis. Allah mengutus Nabi Muhammad dan beliau tidak dapat membaca dan menulis sebagai bukti kemukjizatannya, karena nabi saw mampu membaca Kitab Allah dengan sangat teratur, tepat, tidak kurang dan tidak lebih, ketika Nabi saw mengulang-ulanginya.

Demikianlah sekilas pandangan tentang Majalah Azzikra, yang ternyata bisa juga “kesusupan” virus “sipilis”.

Padahal, para pengasuh Majlis Azzikra terdiri atas orang-orang yang selama ini gigih dalam melawan pemikiran sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.

Sangat disayangkan, jika majalah yang bagus dari segi layout dan perawajahan ini harus ternoda oleh sebagian pemikiran yang justru destruktif terhadap Islam. Wallahu a’lam. (Jakarta, 7 Oktober 2005). [www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini bekerjasama dengan Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

1 thought on ““Infeksi ‘Sipilis’ di Majalah Azzikra”

  1. Assalamu’alaikum.w.w.
    Islam itu sulit dihancurkan dari luar, makanya para zionis barat itu dengan cara2 halus masuk ke dalam untuk menghancurkan islam. Kita perlu waspada/menolak orang2 yang berpikiran liberalis & terkena virus spilis.

    Jihad itu di atas segalanya. Allahu Akbar.

Comments are closed.