Kasihan banget buat calon mahasiswa yang akan masuk perguruan tinggi negeri. Why? Mereka kudu siap menanggung beban biaya pendidikan yang wow banget harganya. Minggu-minggu belakangan ini kita diributkan dengan istilah komersialisasi pendidikan. Gimana nggak, melalui program pendidikan jalur khusus, setiap calon mahasiswa kudu merogoh kocek punya ortunya dalam-dalam, untuk bisa nangkring di PTN idaman.
Sobat muda muslim, para pejabat dari ITB, UGM, Undip dan UI mengemukakan secara terbuka adanya jalur khusus penerimaan mahasiswa baru, dengan memasang tarif mulai Rp 15 juta hingga Rp 250 juta, yang diberikan sebelum calon mahasiswa mengikuti tes standardisasi akademis (suaramerdeka.com, 22 Juni 2003)
Huhuy, jumlah duit yang segitu gede tentunya bakalan bikin gigit jari calon mahasiswa dari keluarga kere. Gimana nggak, untuk menyambung hidup aja pas-pasan banget kalo nggak mau dibilang kurang, apalagi untuk biaya pendidikan yang selangit itu. Jadi wajar aja kalo bakalan banyak calon mahasiswa yang kebetulan berotak encer nggak bisa ngelanjutin ke PTN. Kasihan banget deh.
Adanya “jalur khusus� penerimaan mahasiswa baru itu awalnya dikemukakan oleh Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Institut Teknologi Bandung (ITB), Adang Surahman. Ia mengemukakan ITB membuka jalur khusus penerimaan mahasiswa dengan mematok harga minimal Rp 45 juta. Berikutnya UI, dengan tarif jalur khusus antara Rp 15 juta hingga 150 juta. Lalu juga Undip, membuka jalur khusus untuk Fakultas Kedokteran sebesar Rp 150 juta, sementara nilai �kursi’ untuk fakultas-fakultas teknik Rp 100 juta. UGM Yogya mematok harga bervariasi antara Rp 2 juta (untuk calon mahasiswa Fakultas Biologi, Filsafat), hingga di atas Rp 50 juta. (suaramerdeka.com, ibidem)
Gubrak! Halo..halo.. kamu nggak pingsan kan baca berita ini? He..he.. emang nyesek banget deh. Pendidikan saat ini udah jadi barang mewah. Boleh dibilang pendidikan harganya seperti barang kebutuhan tersier aja. Mahal banget euy. Dan tentunya cuma bisa dibeli oleh mereka yang berkantong tebel. Sementara buat kebanyakan rakyat negeri ini yang memiliki penghasilan rata-rata yang masuk kategori kelas menengah ke bawah, cukup merajut mimpi saja. Ya, siapa tahu dalam tidurnya mereka mimpi bisa masuk PTN idaman. Ah, jahat memang!
Emang sih, mereka yang bisa menempuh program “jalur khusus� cuma sekian persen aja dari total calon mahasiswa yang masuk PTN tersebut. Nggak semua. Rata-rata PTN mematok jumlah mahasiswa yang masuk lewat jalur khusus ini tidak lebih dari 20 persen. Ambil contoh UI, hanya 600 dari 3000 calon mahasiswa barunya. Undip, contoh lainnya, bahkan lebih kecil, sekitar 2 persen dari total 3.304 mahasiswa (suaramerdeka.com, ibidem).
Direktur Pendidikan UI (Universitas Indonesia) Muhammad Anis mengatakan, pihaknya tetap akan melaksanakan program baru yang bernama PPMN (Program Prestasi dan Minat Mandiri). Program ini diberlakukan kepada 20 persen di luar total mahasiswa yang diterima. Jadi ada tambahan kursi baru sebanyak 20 persen, mereka inilah yang akan membayar biaya pendidikan sebesar Rp 25-75 juta (Tempo Interaktif, 22 Juni 2003)
Ya, meski hanya �sedikit’, tapi kan bayarannya mahal? Kalo pun ini disebut semacam subsidi silang, tapi yang pasti, PTN udah main-main dengan uang. Tul nggak?
Lalu, apa alasan diadakannya program pendidikan jalur khusus ini? Minimnya subsidi, bro. Glodaks! Iya, masih menurut situs berita suaramerdeka.com, disebutkan bahwa secara tersirat hal itu diakui juga oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi (Dikti) Depdiknas Satryo Soemantri Brojonegoro. Ia mengatakan, biaya kuliah di pendidikan tinggi memang mahal. Pendidikannya juga sulit. Oleh karena itu, masyarakat harus disadarkan dari pandangan yang cenderung menganggap pendidikan adalah murah dan mudah. Waduh, wassalam deh ane!
Komersialisasi pendidikan
Nggak salah neh? Bener tuh harga pendidikan selangit? Di kampus negeri, lagi? Aduh, mana tahan euy. Kita yang tadinya berharap dapat pendidikan murah, walau pun emang tidak gratis banget, kenyataannya malah diporotin. Matre banget dah!
Sobat muda muslim, cita-cita terganjal dana neh kayaknya. Impian menjadi tukang insinyur atau dokter bagi mereka yang nggak punya duit akan tetep menjadi impian, karena memang sulit nian diwujudkan. Terus terang kita sedih banget dengan kenyataan pahit ini. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak seluruh warga negara, ternyata dibatasi buat mereka yang berduit aja. Jadinya, yang berhak pinter cuma anak-anak kalangan the have. Buat yang kere bin kismin, eh miskin, harap tahu diri. Minggir aja dan buang jauh-jauh cita-cita menjadi sarjana. Pletak, gejlig! (backsound: kasihan deh gue)
Emang sih, kita nggak menyalahkan seratus persen kepada para pengelola PTN. Sebab, gimana pun juga mereka terjepit dilema. Maklum, setelah dikeluarkannya otonomi kampus lewat PP 061/1999, subsidi pendidikan dari negara kepada seluruh PTN negeri disunat abis.
Aduh, ini emang jahat banget deh. Gimana nggak, negara yang seharusnya punya kewajiban mencerdaskan anak bangsa, malah melarikan diri dari tanggung jawab. Nah, akibat dari keputusan pemerintah untuk menyetop subsidi ini, karuan aja bikin keder pengelola pendidikan. Akhirnya, masyarakat banyak juga yang kena getahnya. Kudu bayar biaya pendidikan yang mahalnya minta maaf. Huh!
Jelas banget matre-nya bro. Dulu para orang tua memilih PTN untuk pendidikan anaknya karena dinilai murah meriah. Yup, ketimbang lembaga swasta yang emang mahal. Sekarang, jadinya nggak ada bedanya, terutama dari segi biaya, antara PTN dan PTS. Yes, sama-sama mahal!
Gimana nggak, ambil contoh ITB, perguruan tinggi yang pernah meluluskan presiden pertama negeri ini, menawarkan 10 bangku di departemen teknik fisika dengan harga 25.000 dolar AS (Rp 200 juta lebih). Gubrak! Itu jelas duit semua sobat, bukan daun! Ckckckc…
Meski demikian, Pak Adang Surachman, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB menolak kalo programnya itu disebut sebagai komersialisasi. Alasan beliau, “Kami ingin mengajak masyarakat, cobalah untuk mengapresiasi pendidikan. Pendidikan itu bukan gratisan, atau sekadar pada soal mengandalkan pembiayaan negara,” paparnya (suaramerdeka.com, ibidem)
Untuk mendapatkan pendidikan yang layak memang akhirnya kudu berurusan dengan dana yang juga nggak sedikit. Tapi masalahnya, apakah kemudian hanya karena alasan dana, tega menaikkan biaya pendidikan? Kenapa pula nggak protes sama negara yang udah melarikan diri dari tanggung jawab mencerdaskan seluruh rakyat negeri ini? Kenapa pula malah menekan rakyat banyak untuk dipaksa menerima kenyataan pahit ini. Sedih banget deh.
Pendidikan bebas biaya
Hmm… negara paling bertanggung jawab dalam melayani rakyatnya. Negara pula yang punya kewajiban untuk melaksanakan program wajib belajar buat warga negaranya. Itu sebabnya, negaralah yang memberikan segala fasilitas yang memadai untuk belajar, termasuk murahnya biaya pendidikan. Syukur-syukur gratis ya? Wuih, sumanget deh belajarnya. Nggak percaya? Tengok keberhasilan Islam dalam bidang ini di masa kejayaannya.
Ini bukan romantisme sejarah lho, tapi sebuah kenyataan yang patut dicontoh. Nah, karena tujuan pendidikan Islam adalah membekali akal, dengan pemikiran dan ide-ide yang sehat. Dengan kata lain, mencerdaskan akal dan membentuk jiwa yang islami, sehingga akan terwujud sosok pribadi muslim sejati yang berbekal pengetahuan dalam segala aspek kehidupan. (Abdurrahman al-Baghdadi, Sistem Pendidikan di Masa Khilafah, hlm. 30)
Yup, segala aspek kehidupan. Sebab, dalam pandangan Islam, ilmu pengetahuan, bukanlah bagian yang terpisahkan dari syariat Islam dan etika moral. Filsafat, tak berarti apa-apa jika tak bisa menghubungkan ilmu pengetahuan, agama dan etika dalam suatu relasi harmonis. Pantesan aja Islam oke ya?
Nah, karena bertujuan untuk �menciptakan’ manusia unggul seperti yang diidamkan, maka negara memiliki tanggung jawab untuk merealisasikanya dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai. Menurut Ibnu Haukal, di satu kota saja di Sicilia ada 300 kuttab (semacam sekolah dasar kalo di jaman sekarang). Bahkan ada beberapa kuttab yang luas sehingga satu kuttab bisa menampung ratusan bahkan ribuan siswa. Dalam sejarah disebutkan bahwa Abul Qasim al-Balkhi memiliki sebuah kuttab yang ditempati oleh 3000 siswa. Untuk menginspeksinya, beliau kudu menunggang keledai (Mustafa as-Siba’i, Peradaban Islam Dulu, Kini, dan Esok, hlm. 153)
Pendidikan dalam Islam adalah for all. Untuk semua. Pokoknya, semua warga negara berhak mendapatkannya. Nggak peduli kaya atau miskin. Maka, Madrasah Nizhamiyah di Baghdad yang memiliki mahasiswa mencapai 6000 orang, siswanya terdiri dari anak para pembesar tertinggi negara dan sekaligus anak buruh paling miskin. Wuih, enak banget ya?
Hmm.. pantes aja kalo Islam pernah menjadi pusat iptek dunia. Khususnya saat peradaban Islam mencapai puncaknya di Spanyol (halo..halo.. kamu perlu tahu bahwa Spanyol pernah menjadi pusat pemerintahan Islam). Di sini, perkembangan iptek maju pesat. Sampe-sampe sejarawan Barat beraliran konservatif, Montgomery, bilang begini, “cukup beralasan jika kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi �dinamo’nya, Barat bukanlah apa-apa.�
Itulah okenya Islam, untuk mencapakkan kebodohan pada diri kaum muslimin, negara mewajibkan menuntut ilmu. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah hilangnya ilmu dan meluasnya kebodohan� (dalam kitab, al-Fathul Kabir, Jilid I, hlm. 417)
Untuk menunjang semuanya itu, maka Khilafah menerapkan pendidikan bebas biaya dari TK sampe PT bagi seluruh rakyatnya. (Abdurrahman al-Baghdadi, ibidem, hlm. 58)
Dalil yang menunjukkan bahwa pendidikan bebas biaya menjadi tanggung jawab Khilafah Islam, ialah berdasarkan ijma’ sahabat (kesepakatan para sahabat) yang memberi gaji kepada para pengajar dari Baitul Maal dengan jumlah tertentu. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari Wadhiah bin Atha; bahwa ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji 15 dinar (sekitar 63,75 gram emas) tiap bulannya.
Ditambah pula bahwa negara wajib utuk memberikan fasilitas murah atau gratis sama sekali di bidang lain, misalnya kesehatan. Yes, gimana senengnya kalo sekolah bebas biaya, rumah sakit bebas dana, dan tentunya, beberapa fasilitas penunjang lainnya. Tapi sobat, kondisi ini nggak bakalan kamu dapatkan dalam sistem yang menolak Islam sebagai ideologi negara. Ya, dalam sistem kapitalisme seperti sekarang ini ukurannya adalah asas manfaat. Semuanya dinilai dari menguntungkan secara materi apa nggak. Dasar sekuler!
Sobat muda muslim, kita kepengan banget mengenyam pendidikan tinggi dengan tenang. Kalo pun harus bayar, ya diusahakan itu tidak mahal. Jadi mari galang kekuatan bersama untuk menerapkan Islam sebagai ideologi negara. Tetep semangat. Allahu Akbar!
? ?
(Buletin Studia – Edisi 151/Tahun ke-4/30 Juni 2003)