Friday, 22 November 2024, 05:26

FRESH!/September/2008

Suksesi orang nomor satu di Amerika Serikat (AS) segera terjadi. Salah satu kandidat kuat yang digadang-gadang akan membawa angin perubahan adalah Barack Obama. Khususnya bagi kaum muslim, Obama disinyalir lebih menjanjikan perdamaian dibanding pemimpin-pemimpin AS sebelumnya. Alasannya, Obama punya latar belakang kehidupan Islam, yakni saat menghabiskan masa kecilnya di Indonesia. Benarkah Obama adalah harapan?

Sebagai negara nomor satu di dunia, AS akan istiqomah pada fikrah (pemikiran) dan thariqah (cara mewujudkan fikrah)-nya sebagai pengemban terdepan ideologi sekularisme-kapitalisme. Dan, pasca runtuhnya Uni Sovyet sebagai pengemban utama ideologi komunisme, maka musuh utama ideologi sekular adalah ideologi Islam. Jelas, ideologi sekular tidak akan pernah berbaik hati pada ideologi Islam. Sebab sudah menjadi sebuah sifat hakiki bahwa ideologi akan saling memangsa.

Dengan demikian, siapapun pemimpin AS, bisa dipastikan tidak akan keluar dari upaya untuk mengatur dunia dengan ide-ide kebebasannya, sebagai konsekuensi dari pemisahan agama dari kehidupan. Seperti gagasan pasar bebas, demokrasi, HAM, hedonisme, permisivisme, seks bebas, dll.

Khittah AS tidak akan pernah berubah sebagai negeri penjajah. Yang membedakan antara pemimpin AS hanyalah style alias gaya kepemimpinannya saja. Di masa Bush senior, kebijakan AS cenderung represif, yang kemudian diteruskan oleh Bush junior. Kedua pemimpin itu cenderung menciptakan konflik-konflik dan memaksakan kehendaknya atas dunia melalui jalan kekerasan. Seperti men-support penuh serangan Israel terhadap Palestina dan Lebanon. Juga, menyerukan perang melawan terorisme (baca: Islam) dan memaksakan negara-negara di dunia mengadopsi kebijakan ini. Dan terakhir menjajah Irak.

Di masa Clinton, kebijakannya memang cenderung lunak. Clinton lebih memilih cara-cara kerjasama dengan negara-negara lain untuk mencapai tujuannya.

Namun, bagaimanapun gaya kepemimpinan mereka, semuanya bermuara pada satu tujuan yang sama: mengeksiskan ideologi sekuler-kapitalis dan mengeliminasi ideologi Islam.

Jadi, mengharap Obama akan lebih pro-Islam, ibarat menggantang asap. Indikasi ke arah itu pun cukup kuat. Dalam berbagai kesempatan, Obama selalu berkelit jika dikait-kaitkan dengan Islam. Beredarnya foto masa kecil Obama yang mengenakan sarung, membuatnya kebakaran jenggot. Lalu tim sukses Obama berusaha ‘menyingkirkan’ dua muslimah agar tak terkena jepretan kamera pada kampanyenya di Detroit, AS, Kamis (19/6/08), di mana Al Gore memberikan dukungan kepada Obama. Bahkan tim itu meminta muslimah itu untuk menanggalkan jilbabnya, jika ia ingin berada di tempat duduk spesial.

Obama juga terang-terangan bersekutu dengan Israel. Dalam berbagai kesempatan dia selalu menegaskan dukungannya pada Zionis. Jelaslah, tidak ada gunanya berharap banyak -bahkan sedikit– pada Obama.

Bahkan sebaliknya, umat Islam harus lebih khawatir bila Obama menang. Sebab, dia akan semakin represif untuk menunjukkan pada dunia, khususnya para konstituennya yang anti-Islam, bahwa dia benar-benar pembela sekulerisme sejati. Waspadalah! [asri]