Suatu ketika kamu tersesat di hutan belantara. Bekal perjalanan habis, kompas tak punya, alat komunikasi pun tak ada, lalu benarkah sudah tidak ada sama sekali yang kamu punya untuk bertahan hidup? Tidak, kamu masih punya satu kekuatan besar untuk bertahan hidup: harapan.
Harapan atau dalam bahasa Arab ar raja’, jangan pernah kita remehkan. Meski ia tidak nampak tapi sebetulnya ia adalah kekuatan yang amat besar. Dengan harapan, kita bisa melakukan apa yang kita mau. Kita juga mau menunggu sepanjang apapun itu jika masih ada harapan di hati. Banyak pekerjaan besar bisa diselesaikan oleh sedikit orang karena adanya harapan.
Dalam babak perempat final putaran pertama Liga Champion 2004, kesebelasan asal Spanyol Deportivo La Coruna kalah telak dari tim favorit juara asal Italia AC Milan. Gawang Super Depor – sebutan tim asal Spanyol itu – kebobolan empat kali. Sementara mereka hanya bisa memasukkan satu gol. Empat lawan satu. Para pemain Deportivo putus asa bisa lolos ke babak semifinal. Untuk bisa bertahan mereka harus bisa memasukkan minimal 3 gol tanpa balas. Peluangnya amat kecil karena yang dihadapi adalah raksasa Milan yang memiliki segudang pemain kelas dunia. Hanya Javier Irureta, sang pelatih, yang masih berharap timnya bisa lolos. “Saya belum mau melempar bendera? putih,” katanya.
Ajaib. Pada putaran kedua tim Spanyol itu bisa menggulung sang calon juara dengan empat gol tanpa balas. Deportivo pun lolos ke babak selanjutnya. Pada putaran kedua itu tidak hanya AC Milan yang terjungkal. Di pertandingan lain dua klub sepakbola favorit lainnya juga mengalami kekalahan dari tim non-unggulan, walau mereka sempat ada di atas angin pada putaran pertama.
Kemenangan Deportivo La Coruna bukan sekedar mereka unggul secara teknis, bermain sebagai tuan rumah pada putaran kedua. Tapi karena sang pelatih bisa memompa semangat bertanding para pemainnya. Javier Irureta menularkan harapan kemenangan pada anak-anak asuhannya. Ia memberikan kuncinya: harapan.
Kembali pada kisah tersesat di hutan. Walaupun kamu punya kemampuan teknis menjelajah hutan, lengkap dengan peralatannya, tetap tidak ada artinya bila kamu telah putus harapan. Kamu sudah tercekam rasa takut, bayangan kematian sudah masuk ke dalam otak, dan cemas kehilangan orang-orang yang kamu cintai sudah menusuk, maka kemampuan teknis menaklukkan alam jadi percuma.
ooOoo
“Ah, harapan itu akan datang kalau kita memang punya kesempatan.” Begitulah biasanya orang-orang berbicara tentang harapan. Menurut kebanyakan orang, harapan itu akan ada kalau kita memang punya kesempatan. Misal, remaja yang di kelasnya cerdas, punya fasilitas belajar yang lengkap, akan mudah jadi juara kelas dibandingkan teman-temannya yang lain. Sama seperti dalam peperangan, biasanya pasukan yang persenjataannya komplit, jumlah personilnya lebih banyak, selalu punya kesempatan untuk menang lebih besar.
Eh, kenyataannya nggak begitu. Banyak remaja yang ‘biasa-biasa’ aja tapi bisa berprestasi. Sementara banyak remaja yang punya peluang begitu besar untuk sukses malah ‘susah’ berprestasi. Menurut para pakar psikologi atau terapis mental, faktor yang bisa membuat kita sedemikian kuat adalah karena punya harapan yang tinggi. Nah, di sini fasilitas yang komplit jadi nggak berarti kalau diri kita nggak pernah menaruh harapan untuk sukses.
Ada dua hal yang bikin pede dan harapan seseorang gede. Buat optimisme tambah besar; kekuatan fisik dan kekuatan moral. Dalam peperangan, para prajurit akan bertempur dengan semangat tinggi kalau merasa persenjataannya komplit, jumlah tentaranya banyak, dan dipimpin oleh komandan yang jago strategi.
Kalaupun fisik lemah, tapi moral berperang besar, lawan masih bisa digebug. Pujian dan sanjungan juga lumayan ampuh bikin nyali orang makin gede. Kata Bobby DePotter, pengarang buku Quantum Learning, anak-anak dan remaja yang sering dipuji oleh orang tuanya rata-rata punya prestasi belajar yang lebih oke dibandingkan mereka yang sering dicela.
Tapi kamu harus tahu bahwa ada satu lagi kekuatan yang berada di atas keduanya: kekuatan ruhiyah. Kok bisa? Ya, karena kekuatan ruhiyah akarnya adalah keimanan. Ia jauh lebih dalam menembus batin seseorang. Ia bisa membuat orang demikian bersemangat dalam berjuang/berusaha. Keimanan nggak akan goyah meski fisik seseorang lemah dan orang nggak mendukung usahanya. Kamu tahu kan, banyak para nabi dan rasul yang ditolak dakwahnya oleh kaumnya tapi mereka terus mengerjakannya. Nabi kita dan para sahabat pun mengalami hal yang sama. Mereka bukan saja menerima celaan, tapi juga penganiayaan. Rasulullah saw. pernah dilempar kotoran unta saat shalat di depan Ka’bah. Mereka yang coba-coba membaca Al Qur’an di muka umum akan digebug. Itulah yang dialami Abdullah bin Mas’ud dan Abu Bakar Ash Shiddiq – semoga Allah meridloi keduanya.
Sewaktu bersembunyi di gua Tsur dalam perjalanan hijrah dari Mekkah ke Madinah, Abu Bakar Ash Shiddiq pernah mengalami rasa takut yang hebat. Saat itu pasukan Quraisy memburu mereka berdua. Rasulullah saw. menenangkan hati sahabatnya itu dengan berkata, “Janganlah engkau takut sesungguhnya Allah bersama kita.”(At Taubah [9]:40), dan Abu Bakar pun menjadi tenang.
Remaja yang menaruh harapan pada Allah; meminta keselamatan, pertolongan, kemenangan, dan surgaNya, akan jauh lebih kuat daripada yang menaruh harapan pada selainNya. Karena, ia yakin kalau setiap langkah yang dikayuh, setiap tetes peluh yang jatuh, akan menuai kesuksesan. Andaipun tidak di dunia, ada kesuksesan lain yang akan diraih: pahala.
Maka para sahabat tidak bergeming di medan Badar saat melihat jumlah musuh 3 kali lipat lebih banyak. Mereka tetap menaruh harapan kemenangan pada Allah SWT. Begitupula saat perang Qadisiyyah melawan prajurit Persia, pasukan Sa’ad bin Abi Waqqash r.a. tidak mundur sejengkal pun meski tahu musuh mereka 6 kali lebih banyak. Mereka tahu kalau kemenangan adalah hidup mulia dan kematian adalah cita-cita.
“Dan tatkala orang-orang mu’min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata: ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita’. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.”(Al Ahzab [33]:22)
Supaya kita menjadi orang yang panjang pengharapan, optimisme menghadapi kehidupan, tanamkanlah pohon keimanan sedalam-dalamnya dalam lubuk hati kita. Pancangkan akarnya, rawat batangnya dan jaga rantingnya. Insya Allah kita akan menuai buahnya yang sedap lagi indah. Jika sudah demikian, tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita untuk berjuang. Sekeras apapun medan pertempuran. Karena harapan kita pada Allah berada di atas segala-galanya. [januar]
[diambil dari Majalah PERMATA, edisi Mei 2004]
waaaaa, tips na bagus bgd………
Tulisan yang sangat inspiratif 🙂
terima kasih atas penulisan artikel/informasi ini, semoga bermamfaat bagi kita semua,,, sukses milik semua orang, jadikan hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini, salam….