Friday, 22 November 2024, 04:20

Aku masih ingat, waktu itu saat aku masih di kampung kelahiranku, aku pulang sekolah dengan wajah sedih karena abis dapat nilai 4. Sudah harap-harap cemas takut dimarahi, dan sekaligus berusaha menyembunyikan kertas ulangan itu. Tapi begitu masuk rumah, kulihat Ibu duduk di tikar pandan sedang beres-beres pakaian, dimasukkan dalam tas. Bapak duduk tak jauh dari Ibu, sambil merokok memperhatikan Ibu. Melihat aku datang, Ibu sejenak berhenti membereskan pakaian.

Kemudian ibu menyuruhku ganti pakaian dan makan. Aku turuti perintah ibu. Ganti baju dan makan sayur tempe yang sudah biasa setiap hari kami santap. Telur dan daging ayam mungkin seminggu sekali saja hadir di meja makan kami. Itu pun jika ada lebihan dari uang gaji bapakku yang cuma buruh bangunan.

Aku pikir tadinya aku akan diajak serta pergi, tapi ibu bilang dia akan ke Jakarta untuk nyari uang. Sementara aku dan bapak tinggal di rumah ini. Alasannya, jika semua pergi ke Jakarta, siapa yang menunggu rumah ini.

Bapak hanya diam saja, waktu itu aku hanya bisa menangis dan menangis. Yang aku tahu, aku akan ditinggal ibu pergi, dan aku tidak diajak serta. Seperti kebiasaan, kalo aku tidak diajak pergi, pasti aku nangis. Bapak berusaha mendiamkan aku dengan mengajakku naik sepeda untanya, ke pinggir sawah-sawah. Sampe ke kebun tebu, bapak mengambilkan sebatang tebu, lalu mengupasnya, dipotongi kecil-kecil, baru diberikan padaku. Aku senang dan bisa melupakan tangisku.

Besoknya ibu jadi pergi, aku masih menangis ketika ditinggalkan, kulihat Bapak juga menangis. Kami mengantar Ibu sampe di terminal bis, karena di sana ada teman Ibu yang juga akan pergi ke Jakarta. Hari itu aku melihat Ibu dan Bapak menangis bersama, menangis yang tidak seperti biasanya kulihat.

Hari-hari berikutnya, bapak kelihatan muram dan sedih. Kutunggu-tunggu, Ibu tidak datang juga. Tiap kali kutanyakan pada bapak, katanya besok, minggu depan atau bulan depan Ibu baru akan pulang. Banyak tetangga dan teman-temanku yang bilang, kalo ibuku pergi ke negeri Arab, jadi TKW.

Aku, ketika itu, tidak tahu apa itu TKW. Kata bapak, nanti kalo ibu pulang pasti akan bawa uang banyak. Dan kami tidak akan miskin lagi. Tiga bulan kemudian ada surat dari Ibuku, bukan main senangnya aku dan Bapak. Ibu bilang, sekarang berada di Arab Saudi, juragannya baik, dan sebentar lagi Ibu akan mengirim uang untuk kami. Ternyata Ibuku jadi pembantu, di negeri yang jauh itu. Benar saja, belum setahun ibuku pergi, ibu sudah mengirimkan uang. Aku tidak tahu berapa, tapi yang jelas waktu itu bapak membelikan aku seragam sekolah yang baru, katanya uang kiriman Ibu. Aku senang sekali.

Bapak pun pergi

Hingga akhirnya, seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa hidup tanpa kehadiran Ibu. Aku mulai belajar memasak dan membersihkan rumah. Waktu itu aku masih kelas 4 SD, tapi aku sudah bisa masak nasi dan sayur asem, dengan dibantu bapak. Tapi ibuku tidak pernah kirim kabar lagi. Jangankan uang, surat pun tidak pernah. Sedangkan bapak, masih tetap jadi buruh bangunan, kadang kerja kadang nganggur di rumah. Sampe kemudian setelah hampir dua tahun sejak kepergian Ibu, bapak memutuskan untuk mencari kerja di luar pulau, ke Sumatera. Sedangkan aku dititipkan di rumah bibiku, adiknya bapak.

Terpaksa aku pindah sekolah, meskipun desa bibiku tidak jauh dari rumahku yang dulu. Di rumah bibi, aku diterima dengan baik, dan aku juga terbiasa dengan pekerjaan rumah sehingga tidak kaku lagi untuk membantu pekerjaan di rumah bibi. Keluarga bibiku juga tidak beda jauh dengan keadaan keluarga kami. Sedangkan ibu, tidak lagi kudengar beritanya. Bahkan sering aku dengar omongan orang-orang, bahwa ibuku sudah menikah lagi dengan orang Arab dan tinggal menetap di sana. Ibuuuu…!

Bapak yang bekerja di Sumatera sering mengirimkan uang untuk biaya sekolah, sampai aku bisa melanjutkan ke SMP. Ketika kelas 2 SMP, aku mendapat berita buruk. Bapakku mendapat musibah di Sumatera, beliau terjatuh dari bangunan setinggi lima meter.Sehingga tulang belakangnya patah. Oleh pihak kontraktor, bapak dibawa ke rumah sakit, tapi tidak sembuh juga, bahkan akhirnya Bapak lumpuh total, kemudian dipulangkan ke Jawa, ke rumah bibiku lagi.

Sedih hatiku melihat keadaan bapak. Beliau hanya bisa tiduran, untuk mandi, dan ke kamar kecil, aku yang membantunya, kadang juga bibiku. Badannya semakin kurus. Kurang lebih setahun kemudian, bapak meninggal dunia. Rasanya hidupku benar-benar sudah hancur. Tapi dengan bantuan bibiku, aku bisa lulus SMP. Untuk melanjutkan ke SMU rasanya tidak mungkin, bagaimana pun aku tidak bisa merepotkan bibiku terus.

Jadi pembantu

Suatu hari aku putuskan untuk jadi TKW ke luar negeri. Entah mengapa aku bisa nekat, sedikit niat terselip, aku ingin mencari Ibu. Tapi rupanya, niat saja tidak cukup, aku gagal ikut tes, setelah masuk di penampungan TKW di Jakarta. Untuk kembali pulang ke kampung, rasanya tidak mungkin. Aku tidak ingin jadi beban bibiku lagi.

Akhirnya, aku putuskan untuk mencari pekerjaan di Jakarta. Lewat seorang kenalan di penampungan, akhirnya aku dimasukkan ke agen pembantu rumah tangga. Dan di sini aku diambil seorang dokter wanita, menjadi pembantu di rumahnya. Di sini, di rumah ini ada Ibu dokter, suaminya seorang dosen, anaknya yang pertama perempuan namanya Mbak Happy usianya sebaya dengan aku, dan yang kedua namanya Mas Rico masih SMP kelas 2.

Di rumah ini, aku cukup bahagia. Karena selain pekerjaannya nggak terlalu berat. Mereka baik padaku. Hampir setiap hari aku diajari ngaji. Alhamdulillah, aku sudah bisa baca Quran dan juga rajin sholat. Mbak Happy juga selalu ngingetin aku kalo kerudung yang kukenakan belum rapi.

Ya Allah, terima kasih, biarpun di sini aku hanya pembantu, tapi mereka sangat baik padaku. Mereka memberi kesempatan padaku untuk belajar ngaji dan mengajari aku sholat, yang selama ini tidak pernah aku dapatkan dari orang lain. Mengajariku mengadu padaMu. Lindungi dan kasihilah mereka…karena mereka pengganti Ibu bagiku.

Meski demikian, aku tak bisa melupakan ibu yang sampai sekarang belum tahu ada di mana ia. Aku kadang-kadang melamun. Memimpikan bertemu dengan ibu. Kalo aku inget rumah di kampung, rasanya masih membekas saat-saat akan berpisah dengan ibu. Rupanya, itulah terakhir kali aku bisa melihat wajah ibu. Aku masih berharap suatu saat bertemu dengannya. Sangat berharap…. Ibuu…aku rindu…! [seperti yang diceritakan Titik kepada Nisa]

[diambil dari Majalah PERMATA, edisi Mei 2004]

3 thoughts on “Ibu, Aku Rindu…

  1. kadang kala sesuatu itu akan terasaa sangat berharga saat kita kehilangannya . itulah yang terjadi pada aku ketiak aku masih bisa melihat senyum ibuku senyum itu terasa biasa biasa saja. namun ketika denyumnya telah hilang akuu sangat merindukannya . ibu semoga enkau tersenyum di dunia lain sana aminn

  2. Ibu mengingatku saat ku diam
    Jasamu sampai ku ingat sampai akhir najah ku
    Kebaikanmu selalu ku jaga
    Meskipun kau salah
    Tapi jasa mu tidak bisa dibayar dengan materi
    Oh ibu maafkan aku atas kelancangan ku ….

  3. Andai saya tau bahwa saat itu adalah saat terakhir mencium tangan ibu saat berpamitan pulang ketika beliau di rawat di rumah sakit, saya tidak akan melepaskan tangannya…
    Allohumghfirlii Waliwaalidaia Warhamhumma kamma robbayaani shoghiroo…

Comments are closed.