Friday, 22 November 2024, 09:19

Bekerjasama dengan Amerika, sejumlah Perguruan Tinggi Islam –khususnya IAIN/UIN– ?dikabarkan menyiapkan guru-guru agama yang “liberal”. Baca CAP Adian Husaini ke-250

Oleh: Adian Husaini

Pada 25 November 2008, situs berita Detik.com menurunkan sebuah berita berjudul “Guru Agama Islam di Jawa Masih Konservatif”.? Berdasarkan hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM-UIN)? Syarif Hidayatullah Jakarta, ditemukan bahwa “Guru-guru agama Islam sekolah umum di Jawa masih bersikap konservatif. Bahkan, para guru tersebut sangat rendah dalam mengajarkan semangat kebangsaan.”

Direktur PPIM-UIN Jakarta Dr. Jajat Burhanudin mengatakan, bahwa survei dilakukan terhadap 500 guru di 500 SMA/SMK di Jawa selama kurun Oktober 2008. Responden dipilih dengan menggunakam metode random acak sederhana. Selain itu juga dilakukan wawancara terstruktur terhadap 200 siswa.? “Dari 500 responden, 67,4% mengaku merasa sebagai orang Islam dan hanya 30,4% yang merasa sebagai orang Indonesia,” tambah dosen Fakultas Adab UIN Jakarta tersebut.

Lokasi survei dilakukan di kota-kota besar dan menengah di Jawa seperti Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya, Malang, Solo dan Cirebon. Berdasarkan hasil survei tersebut, Jajat merasa khawatir terhadap keberlangsungan berkebangsaan ke depan. Pemahaman kebangsaan yang sempit bisa mempengaruhi wawasan kebesangaaan. “Banyak faktor kenapa guru agama berperilaku seperti itu, bisa karena pemahaman individu guru,kurikulum atau rendahnya dialog antar agama. Padahal itu di SMA/SMK umum, bukan disekolah agama,” pungkasnya. Begitulah berita dari Detik.com.

Koran The Jakarta Post melalui situsnya, www.thejakartapost.com, juga menurunkan berita hasil survei PPIM-UIN Jakarta, dengan menulis bahwa “Sebagian besar guru-guru agama Islam di sekolah negeri dan swasta di Jawa menentang Pluralisme, cenderung ke arah radikalisme dan konservatisme. (Most Islamic studies teachers in public and private schools in Java oppose pluralism, tending toward radicalism and conservatism, according to a survey released in Jakarta on Tuesday).

Menurut survei ini, sebanyak 62,4 persen guru agama – termasuk dari kalangan NU dan Muhammadiyah, misalnya, menolak untuk mengangkat pemimpin non-Muslim. Survei juga menunjukkan, 68.6 persen guru agama menentang diangkatnya orang non-Muslim sebagai kepala sekolah mereka; dan sebanyak 33,8 persen menolak kehadiran guru non-Muslim di sekolah mereka. Persentase guru agama yang menolak kehadiran rumah ibadah non-Muslim di lingkungan mereka juga cukup besar, yakni 73,1 persen. Sementara itu, ada 85,6 persen guru agama yang melarang murid mereka untuk ikut merayakan apa yang dipersepsikan sebagai “Tradisi Barat”. Begitu juga ada 87 persen yang menganjurkan muridnya untuk tidak? mempelajari agama-agama lain; dan 48 persennya lebih menyukai pemisahan murid laki-laki dan wanita dalam kelas yang berbeda.

Menurut Jajat Burhanuddin, pandangan anti-pluralis para guru agama tersebut terefleksikan dalam pelajaran mereka dan memberikan kontribusi tumbuhnya konservatisme dan radikalisme di kalangan Muslim Indonesia.

Survei PPIM-UIN Jakarta itu juga menunjukkan ada 75,4 persen dari responden yang meminta agar murid-murid mereka mengajak guru-guru non-Muslim untuk masuk Islam, sementara 61,1 persen menolak sekte baru dalam Islam. Sebanyak 67,4 persen responden yang lebih merasa sebagai muslim ketimbang sebagai orang Indonesia. Lebih dari itu, mayoritas responden juga mendukung penerapan syariah Islam untuk mengurangi angka kriminalitas: 58,9 persen mendukung hukum rajam dan 47,5 persen mendukung hukum potong tangan untuk pencuri serta 21,3 persen setuju hukuman mati bagi orang murtad dari agama Islam.

Sebanyak 44,9 responden mengaku sebagai anggota NU dan 23,8 persennya mengaku pendukung Muhammadiyah. Menurut Jajat, itu menunjukkan kedua organisasi tersebut gagal menanamkan nilai-nilai moderat ke kalangan akar rumput. Menurutnya, moderatisme dan pluralisme hanya dipeluk oleh kalangan elite mereka. Ia juga mengaku takut bahwa fenomena semacam ini telah memberikan kontribusi dalam meningkatkan radikalisme dan bahkan terorisme di negeri kita.

Bahkan, katanya, para guru agama itu telah memainkan peran kunci dalam mempromosikan konservatisme dan radikalisme di kalangan Muslim saat ini. Konservatisme dan radikalisme bukan hanya dikembangkan di jalan-jalan sebagaimana dikampanyekan oleh FPI, tetapi telah berakar dalam sistem pendidikan agama. Bahkan, lebih jauh ia katakan, bahwa sikap intoleran yang dikembangkan dalam pendidikan agama Islam selama ini akan mengancam hak-hak sipil dan politik dari kaum non-Muslim.

Begitulah hasil survei PPIM-UIN Jakarta. Secara jelas, penelitian PPIM-UIN Jakarta membawa misi besar untuk merombak pola pikir para guru agama di masa depan. Mereka diharapkan agar menjadi pluralis, tidak konservatif, tidak radikal. Mereka nantinya harus mau menerima pemimpin non-Muslim, menerima guru non-Muslim, menolak penerapan syariah, mendukung hak murtad, mendukung perayaan-perayaan model Barat, dan sebagainya. Itulah yang disebut oleh Direktur PPIM-UIN Jakarta itu sebagai jenis Islam moderat, Islam pluralis, atau entah jenis Islam apa lagi. Yang penting jenis Islam yang baru nanti harus mendapat ridho dari nagar-negara Barat yang menjadi donatur penting dari lembaga-lembaga sejenis PPIM-UIN Jakarta tersebut.

Misi inilah yang sebenarnya sedang diemban oleh lembaga-lembaga penelitian dan pendidikan Islam yang sadar atau tidak menyediakan dirinya menjadi agen dari pemikiran dan kepentingan Barat. Dalam website PPIM-UIN Jakarta (www.ppim.or.id) dapat dilihat daftar mitra kerja dari lembaga ini, diantaranya: AUSAID, US embassy, The Asia Foundation, The Ford Foundation, dan sebagainya.

Karena itu, yang kini sedang dikerjakan oleh sejumlah Perguruan Tinggi Islam di Indonesia adalah menyiapkan guru-guru agama yang pluralis. Inilah sesuai dengan isi memo Menhan AS Donald Rusmsfeld, pada 16 Oktober 2003: “AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru,? lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka. (Harian Republika, 3/12/2005).

AS dkk memang sangat serius dalam menggarap pendidikan Islam di Indonesia. Disebutkan dalam “Laporan Kebebasan Beragama Internasional 2007” yang dikeluarkan oleh Deplu AS, bahwa: “Misi diplomatik AS terus mendanai Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya?????? (CRCS) di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.”? CRCS adalah program pasca sarjana lintas budaya dan lintas agama yang ditempatkan di UGM yang misinya mencetak sarjana-sarjana agama yang pluralis. Namun, sebagai bagian dari program politik luar negeri AS, CRCS bukan sekedar program pasca sarjana biasa. Lembaga ini sangat aktif dalam menyebarkan pemikiran-pemikirannya ke tengah masyarakat, melalui berbagai program siaran di radio dan televisi. Hasil dialog itu pun kemudian dibukukan dan disebarkan ke tengah masyarakat.

Menyimak materi-materi yang disebarkan, terlihat dengan jelas, bahwa misi yang diemban oleh CRCS adalah misi penghancuran keyakinan dan fanatisme umat beragama terhadap agamanya sendiri. CRCS juga mengembangkan misi agar pelajaran agama nantinya dihapuskan dari sekolah-sekolah, digantikan dengan “pelajaran keagamaan”. Dalam buku berjudul Resonansi: Dialog Agama dan Budaya, (Yogya: CRCS, 2008), dikutip ucapan nara sumber diskusi (Prof. Djohar MS) yang menyatakan:

“Kalau pendidikan agama itu berarti mempelajari satu pemahaman keagamaan tertentu sedangkan pendidikan keagamaan itu mempelajari agama-agama. Kalau di madrasah misalkan itu adalah pendidikan agama yang mempelajari hanya agama Islam, tetapi kalau di sekolah-sekolah umum adalah pendidikan keagamaan, yang mencari common-ground dari semua agama… Nah, kalau common ground ini dipelajari di sekolah, maka persatuan dan kesatuan bangsa ini akan bisa tercapai. Sedangkan pelajaran agama sesuai dengan agama masing-masing siswa dipelajari di sekolah akan bisa memunculkan bibit-bibit perpecahan yang akan berbahaya di kemudian hari.”

Dalam buku terbitan CRCS Yogya ini juga dipromosikan bagaimana satu sekolah di Yogyakarta telah menerapkan pendidikan Pluralisme, dan tidak lagi mengajarkan pendidikan agama berdasarkan agama masing-masing. Seorang guru di sekolah itu menyatakan: “…kami memang tidak bisa menggolong-golong anak melihat? dari sisi agamanya apa. Tetapi yang lebih penting menurut kami adalah meskipun dia tidak beragama tetapi kami yakin bahwa dia beriman.”

Jadi, jelaslah bahwa CRCS mengemban misi penggantian pelajaran agama dengan pelajaran keagamaan yang lintas-agama. Pendidikan Religiositas sudah pernah diajukan oleh Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Semarang, dan disefinisikan sebagai: “komunikasi iman antar-siswa yang seagama maupun berlainan agama mengenai pengalaman hidup mereka yang digali/diungkapkan maknanya, sehingga mereka terbantu untuk menjadi manusia utuh (religius, bermoral, terbuka) dan diharapkan mampu menjadi pelaku perubahan sosial, demi terwujudnya kesejahteraan bersama lahir dan batin.”

Di kalangan Katolik sendiri, banyak yang mempertanyakan model pendidikan agama semacam ini, khususnya mempertanyakan dimana posisi gereja sebagai lembaga yang mewartakan Kristus. Yang mengapresiasi gagasan ini diantaranya adalah Keuskupan Palembang yang bekerjasama dengan Departemen Pendidikan Provinsi menyelenggarakan pelatihan untuk mempersiapkan para guru pendidikan Religiositas. Gagasan ini juga pernah dipresentasikan di Jakarta oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas pada 1 April 2006, dalam sebuah seminar bertema “Pelayanan Keagamaan yang Inklusif bagi Para Siswa.” (Lebih jauh tentang Pendidikan Religiositas, lihat buku Problematika Pendidikan Agama di Sekolah: Hasil Penelitian tentang Pendidikan Agama di Kota Jogjakarta 2004-2006, terbitan Interfidei, 2007).

Meskipun masih merupakan hal yang kontroversial, model pendidikan agama yang baru inilah yang sedang dipromosikan oleh CRCS. Misi CRCS yang diakui sebagai bagian dari misi diplomatik AS juga bisa dibaca melalui jurnal? terbitannya, RELIEF (Journal of Religous Issues). Pada Vol. 1, No. 2, Mei 2003, editorial jurnal ini sudah mengritik pendidikan agama di Indonesia. Ditulis dalam jurnal ini:

“Dalam realitasnya, pendidikan agama kita cenderung dogmatis, eksklusif, rigid, dan mengabaikan kebenaran-kebenaran di luar agamanya. Padahal, seperti ditulis oleh Paul F. Knitter dalam No Other Name,? bahwa kita tidak bisa mengatakan agama yang satu lebih baik dari agama yang lain. Semua agama, kata Fritjof Schuon dalam The Trancendent Unity of Religion, pada dasarnya (secara esoteris) adalah sama dan hanya berbeda dalam bentuk (secara eksoteris). Kebenaran dengan demikian tidak lagi eksklusif ada pada hanya agama tertentu, tapi pada semua agama. Kebenaran dalam agama, dengan demikian, adalah plural.”

Pemikiran yang disebarkan CRCS UGM ini tentu sangat naif. Aspek eksoteris (aspek luar, aspek syariat) dalam agama-agama adalah hal yang prinsip. Bagi kaum Muslim, ada tata cara shalat yang wajib diikuti, sebab cara ibadah itu diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, utusan-Allah yang terakhir. Kaum Muslim yakin, hanya itulah cara shalat yang benar kepada Allah. Kaum Muslim tidak dapat menerima teori, bahwa Allah akan menerima ibadah semua manusia, dengan cara apa pun ibadah itu dilakukan. Ada pun teori Kesatuan Transendensi Agama-agama pada level esoteris hanyalah khayalan Fritjof Schuon dan kawan-kawannya, yang anehnya juga dijadikan dogma dan diterima kebenarannya oleh banyak orang tanpa berpikir.

Dalam sampul belakang Jurnal RELIEF edisi ini juga ditonjolkan kutipan wawancara Prof. DR. Machasin, guru besar UIN Yogya, yang menyatakan: “… kenapa kita ribut menyalahkan orang ateis bahwa ateis adalah musuh orang ber-Tuhan. Padahal Tuhan sendiri ateis. Ia tidak ber-Tuhan.”

Pasca Perang Dingin, AS dan negara-negara Barat lainnya, memang sangat serius dalam mengembangkan pemikiran Islam seperti yang mereka kehendaki. Pada tahun 2007, menyusul berdirinya CRCS, di UGM juga didirikan program doktor lintas agama yang didukung oleh tiga kampus: UGM, UIN Yogya, dan Universitas Kristen Duta Wacana.? Melalui lembaga-lembaga pendidikan tinggi lintas agama inilah diharapkan akan lahir pakar-pakar agama yang pluralis.

Ke depan, kemungkinan mereka akan mengisi pos-pos sebagai dosen atau guru agama di sekolah-sekolah. Dengan cara seperti inilah, maka secara otomatis pendidikan agama di sekolah-sekolah akan berubah. Tidak lagi bersifat konservatif seperti yang dicap oleh PPIM-UIN Jakarta, tetapi sudah bersifat pluralis. Cara ini tentunya sangat efektif, dibandingkan dengan cara mengubah kurikulum dan materi pendidikan agamanya, seperti mensosialiasikan buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, sebagaimana pernah kita bahas dalam CAP-239.

Dulu, di tahun 1980-an, rencana program pengajaran Panca Agama di sekolah-skeolah pernah gagal, karena ditolak keras oleh tokoh-tokoh Islam dan tidak mendapat dukungan dari kalangan akademisi dari Perguruan Tinggi Islam. Kini, situasi sudah berubah. Kini, justru lembaga seperti PPIM-UIN yang ingin merombak Pendidikan Agama, sesuai dengan pesanan Barat. Pemikiran-pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan selera kaum liberal dicap sebagai konservatif, radikal, dan berpengaruh atas terjadinya terorisme di Indonesia.

Betapa naif dan konyolnya cara berpikir model PPIM-UIN Jakarta tersebut. Guru agama yang meyakini kebenaran aqidah dan syariah Islam dicap sebagai konservatif, radikal, dan sebagainya. Jika para guru agama menyarankan murid-muridnya agar tidak mengikuti perayaan-perayaan ala Barat, tentunya itu harus dihormati. Di sinilah kita melihat bagaimana otoriternya kaum liberal dalam memaksakan pandangan dan konsep-konsep Barat terhadap kaum Muslim.

Dalam masalah aqidah, sejak dulu, kaum Muslim sudah bersikap tegas. Berkaitan dengan kekufuran,? para pimpinan NU, misalnya,? telah bersikap tegas. Dalam Muktamar NU ke-14 di Magelang, 1 Juli 1939, ditetapkan bahwa kitab Taurat, Injil, dan Zabur yang ada di tangan kaum Kristen, Katolik, dan Yahudi sekarang ini bukanlah kitab samawiyah yang wajib diimani kaum Muslim. Dalam Muktamar NU ke-13 di Menes Banten, 12 Juli 1938, diputuskan, bahwa seorang yang mengatakan kepada anaknya yang beragama Kristen, “Kamu harus tetap dalam agamamu”, yang diucapkan dengan sengaja dan ridha atas kekristenan si anak, maka orang tua tersebut telah menjadi kufur dan terlepas dari agama Islam. (Lihat, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam; Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), terbutan Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN-NU) Jawa Timur).

Dalam buku Tanya Jawab Agama? Jilid II, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah (1991), hal. 238-240, sudah diterangkan, bahwa hukum menghadiri PNB adalah Haram. Muhammadiyah dalam hal ini juga mengacu kepada fatwa MUI. Adapun? soal “Mengucapkan Selamat Hari Natal” dapat digolongkan sebagai perbuatan yang syubhat dan bisa terjerumus kepada haram, sehingga Muhammadiyah menganjurkan agar perbuatan ini tidak dilakukan. Terhadap orang yang mengakui adanya nabi lagi setelah nabi Muhammad saw, Majlis Tarjih PP Muhammadiyah tanpa ragu-ragu untuk menyatakan, bahwa orang tersebut kafir.

Pandangan dan sikap kaum Muslim yang tegas dalam urusan aqidah tersebut harusnya dihormati oleh para dosen dan peneliti di PPIM-UIN Jakarta. Keyakinan terhadap kebenaran agamanya juga ditunjukkan oleh Gereja Katolik. Melalui Dokumen Dominus Iesus yang dikeluarkan Vatikan pada 6 Agustus 2000, Gereja Katolik menegaskan: “Jelas sangat bertentangan dengan iman Katolik,? bila berpendapat bahwa Gereja seperti salah satu alternatif jalan keselamatan bersama-sama dengan yang ditawarkan oleh agama-agama lain, yang dipandang sebagai pelengkap bagi Gereja, atau secara substansial sederajat dengan Gereja… “. (Lihat perdebatan seputar Dominus Iesus pada buku Stefanus Suryanto berjudul Paus Benediktus XVI (Jakarta: Obor, 2008)).

Sebagai salah satu lembaga yang menyandang nama Islam, sebaiknya PPIM-UIN menghentikan aktivitas-aktivitasnya yang menyudutkan umat Islam dan mengajak umat Islam ragu dengan kebenaran aqidah dan syariah Islam. Kita mengimbau agar mereka mau belajar dan bersikap kritis – sedikit saja – terhadap pemikiran dan politik imperialistik negara-negara Barat.

Kita berharap, lembaga-lembaga seperti PPIM-UIN mau menyadari kekeliruannya dan memiliki rasa malu untuk merusak agama dengan dalih membuat kemaslahatan untuk umat manusia.? Masih banyak jenis penelitian lain yang bermanfaat bagi umat Islam, meskipun mungkin kurang diminati? para “cukong”.? Betapa pun, kita sebenarnya salut dengan kesungguhan PPIM-UIN Jakarta dalam melakukan suatu penelitian. Satu pelajaran berharga bisa kita petik: untuk merusak Islam pun perlu strategi dan kesungguhan.

Akhirul kalam, kita renungkan satu peringatan dari Allah SWT: “Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar, dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS ar-Rum: 60). [Depok, 7 Dzulhijjah 1429 H/5 Desember 2008/www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com