Friday, 22 November 2024, 07:18

edisi 062/tahun ke-2 (1 Muharram 1430 H/29 Desember 2008)

Setelah mendapat kritik, kitik dan kripik dari tulisan gue yang pertama di gaulislam, gue masih berusaha keras untuk mencari adonan yang pas untuk tulisan-tulisan gue di gaulislam. Nah, artikel ini adalah salah satunya. Gue tulis dalam perjalanan Bogor-Sanggau (Kalimantan Barat), di antara ngejar pesawat yang keburu terbang saat gue nyampe di airport, di dalam mobil dalam perjalanan darat Pontianak-Sanggau yang aduhai dan dikala gue nyuci baju di dalem pesawat.

Waktu nggak kerasa sudah berlalu begitu cepat, ditambah cukup banyaknya perjalanan syafar yang gue lakukan di bulan ini, semuanya seperti berlalu begitu cepat, secepat kilat nyamber jemuran tetangga. Di jalan banyak gue temui hal yang menarik untuk ditulis, dari aspal jalanan yang berlobang-lobang kayak bekas hujan meteor, sampe pesawat yang hanya mau terbang kalo pilotnya udah siap (lha apa hubungannya ya?). Setiap kali memasuki akhir tahun seperti ini, cukup banyak hal yang membekas dalam ingatan gue, hari-hari yang biasanya mendung/hujan, kerjaan yang makin tinggi load-nya, sampai segala hal persiapan tahun baruan, huhuhuhu,… kenapa manusia-manusia ini ngga pernah berubah ya?

Nggak nyangka waktu gue tur ke Malang, beberapa minggu yang lalu, semua hiruk pikuk tahun baru sudah mulai digelar, dari terompet hingga topi, dari pisang goreng hingga kolor, semua bernuansa tahun baru. Kalo selama gue tur di Jabodetabek gue belum merasakan kemeriahan itu semua, laen ceritanya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, mungkin emang karena kebanyakan aksesoris tahun baru diproduksi dari daerah ini.

Gue jadi inget tetangga gue yang sempet satu angkot sama gue sebelum gue mulai tur akhir tahun, gue nanya “Om kok tumben jam segini masih gentayangan?”

Si Om Tetangga Gue (SIOTG) pun menjawab dengan nada F=do “Oohh biasa sibuk akhir tahun,” kemudian doi ngelanjutin setelah istirahat sebentar maem mie goreng, mandi sambil gali sumur, “nyiapin acara di tuuut (sori disensor) buat tahun baruan”.

SIOTG ini usianya sudah cukup uzur, doi udh pensiun dari pegawai pemerintah, SIOTG menimpalin lagi SIOTG: “Lha kamu dari mana? Selesai narik angkot ya? Kok Om suka lihat ente turun dari angkot jam segini tiap hari?”

Gue bilang: “Emang gue kemana-mana pake angkot Om, selain memberdayakan transportasi publik juga mensejahterakan supir angkot,” kilah gue dengan sok pedenya

SIOTG: “Oohh pantes, muka lu mirip …”

Ge: “Mirip apa Om?”

SIOTG: “Mirip tetangga gue….” gubruk (lebih parah dari gubrak). Ternyata selain ngikutin mode anak-anak sekarang ngerayain tahun baru, doi juga ngikutin mode umumnya kakek-kakek, yakni pikun!

Secara umum kondisi di atas sebenernya nggak begitu istimewa karena memang perayaan akhir tahun. Sudah jamak di negeri ini sebagai salah satu hal yang penting gitu lho, hingga sampe kakek-kakek pun rela bersusah payah untuk merayakan tahun baru. Emang kalo tahun baru ngapain ya? Biasanya sih keluar dalam waktu bersamaan (deket-deket tengah malem, gitu) Untuk ngapain? Untuk merayakan jam 12 malem, ya jam 12 malem emang sangat istimewa, setiap tahun selalu diperingati, huhuhuhu,….. nggak kebayang kalo SIOTG (si om tetangga gue) bareng-bareng naek motor, nggak pake knalpot, pake celana ketat, snicker dan kaca mata huhuhu jangan sampe gue melihat pemandangan biadab ini.

Tapi itulah dahsyatnya efek kebudayaan dan pemikiran, budaya yang salah ketemu sama manusia-manusia yang malas berpikir dan mendewakan materi, hasilnya adalah masyarakat hedonis. Anak sekarang lebih suka jadi terkenal daripada jadi pinter di sekolahan, ampun deh. Kalo kita melihat dari sudut pandang sosiologi (ciee…), produk budaya suatu masyarakat tergantung kualitas masyarakatnya. Memang masyarakat terbentuk dari sekumpulan individu-individu, tapi kalopun kita memilih dan mengumpulkan pribadi-pribadi mumpuni untuk dibentuk menjadi sebuah masyarakat baru, belum tentu hasilnya mumpuni juga, itulah kenapa dalam Islam lembaga pemerintahan merupakan hal yang penting dan wajib hukumnya dijaga keberadaan dan kualitasnya, dan inilah konsep Islam mengatur masyarakat sejak 15 abad yang lalu dan sudah terbukti berhasilnya.

Hidup kita dan waktu

Penghargaan terhadap waktu pada jaman ini udah merupakan hal yang alami, buktinya tidak ada orang yang mau bekerja terus-terusan, bahkan acara plesiran selalu menjadi acara yang ditunggu-tunggu. Padahal bagi laki-laki muslim, bekerja itu hukumnya wajib, entah kenapa sekarang, lha kok malah pada seneng mangkir dari sesuatu yang wajib.

Karena dekatnya dan senangnya kita dengan materi, akhirnya penghargaan terhadap waktu pun bergeser, subuh-subuh bukannya ke mesjid, tapi malah pada molor, karena malem yang kudunya dipake untuk istirahat malah digunakan untuk begadang yang nggak ada manfaatnya atau senang-senang semata.Baru deh pas akhir tahun nyadar masal kalo selama ini waktu terus berjalan, tanpa bisa kita kendalikan. Iya nggak sih?

Bro, Islam mengajarkan kita menghargai waktu dengan sangat baik, dalam Islam semua hari istimewa! Nggak perlu harus menunggu selama satu tahun. Setiap hari dalam Islam adalah bernilai ibadah, apa buktinya? Nabi menganjurkan kita untuk berdzikir setiap hari pagi dan sore. Kalo dibandingan dengan sebuah perayaan setahun sekali, rasanya hanya orang bodoh bin stupid yang mau merayakannya. Wong setiap hari dalam Islam sudah dirayakan, 2 kali pula dalam sehari, pagi dan sore.

Perayaan tahun baru udah menjadi tradisi, di berbagai belahan dunia dalam memasuki tahun baru selalu dirayakan, seperti begadang semalam suntuk, pesta kembang api, tiup terompet pada detik-detik memasuki tahun baru, nanggep wayang semalam suntuk bahkan nggak ketinggalan dan sudah mulai ngetren di beberapa tempat diadakan dzikir berjamaah menyongsong tahun baru. Hmmm sebelum kita lanjut tahu nggak apakah semua ini merupakan syariat Islam?

Tahun baru tidak termasuk salah satu hari raya Islam sebagaimana ?Iedul Fitri, ?Iedul Adha ataupun hari Jumat. Bahkan hari tersebut tergolong rangkaian kegiatan hari raya orang-orang kafir yang tidak boleh diperingati oleh seorang muslim dan menjadi sarana yang mengantarkan kepada syirik. Apalagi ikut merayakan hari raya mereka, maka di dalamnya terdapat wala’ (loyalitas) dan dukungan dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar kekufuran. Akibat paling berbahaya yang timbul karena berwala’ terhadap orang kafir adalah tumbuhnya rasa cinta dan ikatan batin kepada orang-orang kafir sehingga dapat menghapuskan keimanan.

Seorang muslim yang bakalan ikut-ikutan merayakan tahun baru perlu mikir-mikir lagi deh. Ada beberapa yang perlu diketahu, di antaranya: Pertama, perayaan tahun baru merupakan salah satu bentuk tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir yang telah dilarang oleh Rasulullah saw..

Kedua, melakukan amal ketaatan seperti dzikir, membaca al-Quran, dan sebagainya yang dikhususkan menyambut malam tahun baru adalah pebuatan bid’ah yang menyesatkan.

Ketiga, ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita seperti yang kita lihat pada hampir seluruh perayaan malam tahun baru bahkan sampai terjerumus pada perbuatan zina, Na’udzubillahi min dzaalik.

Keempat, pemborosan harta kaum muslimin, karena uang yang mereka keluarkan untuk merayakannya (membeli makanan, bagi-bagi kado, membeli terompet dan lain sebagainya) adalah sia-sia di sisi Allah Swt.

Kelima, pemborosan sumber daya bumi (bensin yang dipake untuk kegiatan yang nggak jelas, sementara kita semua tahu, bensin merupakan salah satu produk yang tidak bisa di perbaharui. Ngirit-ngirit kenapa sih? Jaman lagi susah kayak gini.

Keenam, pencemaran lingkungan dari asap kendaraan bermotor, hingga polusi suara karena kebisingan yang ditimbulkan. Serta masih banyak keburukan lainnya baik berupa kemaksiatan bahkan kesyirikan kepada Alloh, Bro.

Harusnya kita inget sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan Mu’adz bin Jabal, “Tidak akan tergelincir (binasa) kedua kaki seorang hamba di hari kiamat, hingga ditanyakan kepadanya empat perkara, usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya bagaimana ia pergunakan, hartanya dari mana ia dapatkan dan pada siapa ia keluarkan, ilmunya dan apa-apa yang ia perbuat dengannya.” (HR Bazzar dan Thabrani)

Sikap kita

Sebagai muslim, kita harus menyadarkan orang-orang di sekitar kita, seperti dalam doa yang sering kita minta: ‘Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan perliharalah kami dari siksa neraka.’ (QS al-Baqarah [2]: 201)

Bagaimana kita melakukannya? Sadarkan dengan tangan kita, atau setidaknya kita coba dulu dengan tangan kita. Tangan di sini bisa berarti segala hal yang kita punyai untuk mencegah secara langsung (fisik), misal kita tahu adek kita bakal tahun baruan bareng konco-konconya pawai pake sepeda motor, buru-buru deh copot dan sembunyiin mesin motor tersebut, kalo doi tetep juga nekat mau pergi, sembunyiin juga semua celananya, sisain satu sarung ajah hehehe. Kalo segala daya upaya kita nggak bisa, baru kita ingetin dengan kata-kata, dari mulai ceritain doi dengan dongen mau bobo (berharap setelah selesai dongeng, jadi bobo dan nggak jadi pawai) atau ingetin doi setiap lima menit sekali, bisa secara langsung atau lewat HP, SMS, atau lewat pos, maupun fax, (boros amat!)

Masih berkaitan dengan tahun baru, entah kenapa akhir-akhir ini gue sering mendapat ucapan selamat tahun baru, mungkin karena gue tambah ganteng setiap menjelang tahun baru (huhuhu…) atau mungkin bau badan gue jadi harum kalo tahun baru? Ah whatever lah, bingung juga awalnya musti gimana, setelah gue baca-baca buku fiqih yang gue punya, akhirnya gue nemuin fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, ‘Jika seseorang mengucapkan selamat, maka jawablah, akan tetapi jangan kita yang memulai.Inilah pandangan yang benar tentang hal ini. Jadi jika seseorang berkata pada anda misalnya:”Selamat tahun baru, Anda bisa menjawab, “Semoga Allah jadikan kebaikan dan keberkahan di tahun ini kepada Anda” Tapi jangan Anda yang mulai, karena saya tidak tahu adanya atsar salaf yang saling mengucapkan selamat hari raya. Bahkan Salaf tidaklah menganggap 1 Muharram sebagai awal tahun baru sampai zaman Umar bin Khattab ra.

Intinya sih, ada subhat lho ketika merayakan tahun baru ijriah pun (1 Muharam) karena dikhawatir meniru umat lain dalam merayakan tahun baru tersebut. Sebab, itu bukan hari raya. Ngapain dirayain? Wong, Rasulullah saw. aja cuma menetapkan hari raya itu dua (Idul fitri dan Idul Adha) yang memboleh dirayakan oleh kaum muslimin. Beliau saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua perayaan yang lebih baik dari perayaan (zaman jahiliyah), yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” [Sahih: dikeluarkan oleh Abu Daud dan dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud, hadis no: 1134]

Oke Bro, seorang muslim harus menyatukan waktu ke dalam jiwanya yang beriman, jadikan motto hidup kamu “Hayatuna kulluha ‘ibadah.” (hidup seluruhnya untuk ibadah). Jauhin perayaan tahun baru, hargailah setiap waktu yang ada dalam hidup kamu, beribadah tepat waktu dan biasakanlah berdzikir pagi dan sore. Eh, jangan lupa untuk juga berdakwah demi tegaknya Khilafah Islamiyah untuk melanjutkan kehidupan Islam ini agar hidup kita menjadi berkah di dunia dan di akhirat. Nah,karena waktu pasti akan terus berlalu meninggalkan kita, maka kita harus senantiasa berprestasi baik dalam memanfaatkan waktu untuk ibadah dan perjuangan kita bersama Islam. Setuju kan? Kudu! [aribowo]

1 thought on “Waktu Terus Berlalu, Kita Ngapain Aja?

  1. Assalamualaikum..

    Oo..T’xta gt..Hmm..Klo d pkir2 sich,btul jg..:-)..Mga hjan trun z..Biar pda g jd yg mw ngerayain”Tahun Baru” 😀 😛

Comments are closed.