Friday, 22 November 2024, 13:25

Komisi Senat AS menemukan bukti penyiksaan para tahanan. Apakah Obama adili Bush, atau AS jadi sasaran timpukan sepatu?

Oleh: Amran Nasution *

Hidayatullah.com–Muntadar al-Zaidi, 28 tahun, hanya seorang koresponden Al Baghdadia, televisi independen yang berbasis di Mesir. Warga Iraq ini ditugaskan sebagai koresponden di Baghdad. Kehidupannya sehari-hari selaku wartawan biasa-biasa saja.

Ia pernah diculik dan ditahan sebuah kelompok bersenjata tapi kemudian dilepaskan tanpa syarat. Itu biasa terjadi di sana, daerah yang memang tak aman sejak tentara Amerika Serikat menduduki negeri kaya minyak ini, 2003. Wartawan lain pun pernah mengalaminya. Ia pernah diperiksa dan ditahan militer Amerika Serikat. Itu juga biasa terjadi di Baghdad atau kota lainnya di Iraq.

Malah lebih apes nasib Bilal Hussein Zaydan, wartawan foto Associated Press di Baghdad. Warga Iraq ini ditangkap dan ditahan tentara Amerika Serikat sejak 12 April 2006, dituduh bekerja sama dengan kelompok teroris atau gerilyawan Iraq. Maka bertahun-tahun dia disekap di markas militer Amerika.

Padahal kabar yang beredar, tentara Amerika marah kepada Zaydan karena foto yang dibuatnya di Falujah dan Ramadi – jatuhnya korban sipil akibat serangan militer Amerika – dianggap memojokkan militer.

Tapi sekarang nama Muntadar al-Zaidi berkibar ke seluruh dunia. Dia menjadi pahlawan di hati rakyat Timur Tengah. Itu berkat keberaniannya menimpuk Presiden Amerika Serikat George Bush dengan sepatu.

Di masyarakat Arab, orang merasa paling terhina kalau ditimpuk sepatu, karena sepatu berada di tempat paling rendah, kotor, dan dinjak-injak. Orang yang ditimpuk dianggap lebih hina dari sepatu. ”Anak sepatu” adalah kalimat yang amat menghina pada orang Arab.

Ketika itu, Minggu, 14 Desember 2008, Presiden Bush mengunjungi Baghdad untuk membuat acara perpisahan karena 20 Januari mendatang ia harus menyerahkan jabatan kepada penggantinya, Barack Hussein Obama.

Dalam kesempatan itu Bush melakukan jumpa pers dengan para wartawan. Acara dilakukan di Green-zone, kawasan paling aman dan paling ketat penjagaannya di Baghdad. Di sinilah para petinggi militer Amerika berkantor dan bertempat tinggal. Begitu pula para pejabat Iraq.

Bush didampingi Perdana Menteri Iraq Nuri al-Maliki berdiri di podium menghadap kumpulan wartawan. Ia baru selesai memberi penjelasan bahwa kedatangannya untuk perpisahan dengan masyarakat Iraq.

Tiba-tiba Zaidi yang hadir selaku wartawan Al Baghdadia – duduk kira-kira 4 meter dari Bush dan? Nuri al-Maliki – berdiri dengan sebelah sepatu di tangan. Ia berteriak dalam bahasa Arab, ”Ini kado dari orang Iraq, ini ciuman perpisahan, kau anjing.” Lalu sepatu ia lemparkan ke wajah Presiden Bush.

Seperti bisa disaksikan di televisi, Bush bergaya seakan seorang petinju profesional, merundukkan tubuh (ducking) menghindari sambaran sepatu. Bush sukses. Sepatu itu hanya menerpa bendera Amerika di? belakangnya, lalu membentur tembok.

Zaidi sudah siap dengan lemparan sepatu sebelah lagi. ”Ini dari para janda, para yatim, dan mereka yang terbunuh di Iraq,” sergahnya sembari melayangkan sepatu itu. Bush kembali? berkelit dan sepatu kembali menerpa tembok. Barulah para pengawal Perdana Menteri dan para agen Secret Service Amerika Serikat, tim pengamanan Presiden Bush, menyergap Zaidi. Mereka membawanya pergi dari sana sembari memukulinya. Para wartawan di ruangan itu bisa mendengar jeritan Zaidi.

Selain Zaidi, aparat keamanan menahan beberapa wartawan teman Zaidi. ”Mereka memukuli kami dan menuduh kami sebagai komplotan yang tak menyetujui kedatangan Presiden Bush,” kata Waad al-Taie, salah seorang wartawan. Akhirnya yang ditahan hanya Zaidi seorang.

Dari keluarganya diketahui bahwa Zaidi disekap di sebuah Rumah Sakit dengan pengawalan amat ketat di kawasan Green-zone. Akibat penyiksaan tentara Amerika Serikat dan aparat keamanan Iraq, Zaidi dikabarkan patah tangan dan tulang rusuk.

”Bila di depan kamera wartawan saja mereka memukuli dia, bisakah Anda bayangkan apa yang mereka lakukan di sel tahanan?” kata Durgham Zaidi, juru kamera yang adik Muntadar al-Zaidi kepada wartawan.

Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Iraq Mayor Jenderal Abdul-Karim Khalaf mengatakan Zaidi bisa dituduh menghina pemimpin negara asing dan Perdana Menteri Iraq, dengan ancaman hukuman dua tahun penjara.

Tapi lupakanlah omongan soal hukum dari pejabat pemerintah Iraq yang bagi sebagian orang Iraq sendiri dianggap adalah pemerintahan boneka Amerika Serikat. Mana ada hukum di negara boneka ketika Presiden Bush sebagai pemilik boneka itu diganggu.

Putri Khaddafi

Kolumnis Dan Froomkin menulis di The Washington Post 15 Desember 2008, bahwa kunjungan Presiden Bush ke Baghdad – dan kemudian ke Afghanistan – adalah bagian dari upaya untuk mengesankan keberhasilannya di Iraq dan Afghanistan. Sekali pun di Iraq setiap hari masih terus saja terjadi ledakan bom, tapi kenyataannya keamanan sudah lebih baik dibanding sebelumnya.

Sehingga kalau nanti ternyata ada masalah di sana, tulis Froomkin, itu adalah kesalahan Obama, pengganti Bush. ”Tapi kemarin, seorang reporter Iraq yang memberontak – dan dua sepatu terbang – merusak rencana itu, dan mengirimkan pandangan yang kuat bahwa perang ini adalah kesalahan yang mendatangkan bencana dan jauh dari selesai,” tulis Froomkin.

Perbaikan keamanan di Iraq? adalah keberhasilan kebijakan penambahan pasukan yang dilakukan Jenderal David Petraeus, Panglima Militer Amerika di Iraq. Selain kebijakan adu domba yang sukses, apakah adu domba Sunni dengan Shiah, atau Suni dengan Sunni, Petraeus merekrut para kepala suku yang Sunni untuk dihadapkan melawan para gerilyawan yang datang dari luar Iraq – yang selalu dituduh Presiden Bush sebagai Al-Qaidah.

Tapi bagaimana pun Iraq yang demokratis, aman, dan pro-Barat, sebagaimana dinyatakan Presiden Bush selama ini ternyata masih jauh dari kenyataan. Lemparan sepatu Zaidi menunjukkan betapa benci orang Iraq terhadap Amerika.

Memang Presiden Bush coba mengecilkan arti ”sepatu terbang”. Berbicara kepada wartawan di dalam pesawat kepresidenan Air Force One, beberapa saat setelah meninggalkan Baghdad menuju Kabul, Afghanistan, Bush mengatakan tindakan Zaidi tak merepresentasikan sikap bagian terbesar orang Iraq. ”Anda bisa mengatakan begitu kalau Anda mau. Tapi itu tidak akurat,” katanya.

Ternyata Presiden Bush salah lagi. Hanya beberapa saat setelah peristiwa itu disiarkan televisi, Zaidi langsung menjadi pahlawan bagi orang Iraq. Berbagai demonstrasi pecah – antara lain di Baghdad, Mosul, dan Nasiriyah — untuk mengelu-elukannya sekaligus menuntut pemerintah Iraq membebaskannya. Anak-anak muda melempari konvoi pasukan Amerika dengan sepatu.

Mereka berpendapat sejak pendudukan Amerika di tahun 2003, negeri itu betul-betul merana, jutaan orang sipil meninggal dunia, kehilangan rumah, atau menjadi pengungsi ke negeri tetangga, Jordania dan Syria. Untuk apa yang dilakukannya terhadap Iraq, maka Presiden Bush layak ditimpuk sepatu.

Malah yang mengagetkan,? Zaidi disambut hampir di seluruh dunia. Dari kawasan Timur Tengah sampai Afrika, bahkan London dan Washington. Di Damaskus, Ibukota Syria, wajah Zaidi seharian terpampang di televisi pemerintah. Di pusat Kota Damaskus, terpasang spanduk besar dengan tulisan: ”Oh, wartawan yang heroik, terima kasih banyak atas apa yang telah kau lakukan.”

Aisha, putri Muammar Khaddafi, pemimpin Libya, menyatakan lembaganya akan memberikan medali penghargaan kepada Zaidi atas keberaniannya. Aisha, pimpinan badan amal Wa’tasimu,? mengimbau pemerintah Iraq agar segera membebaskan Zaidi. ”Apa yang dia lakukan dengan gagah berani, adalah sebuah kemenangan bagi kemanusiaan di seluruh dunia,” kata Aisha. Malah Presiden Venezuela Hugo Chavez yang dikenal sebagai lawan Bush dan pernah menyamakan Bush dengan setan, mengaku kagum pada keberanian Zaidi. Ada pula ayah yang menyiapkan anak gadisnya dinikahi Zaidi yang memang masih bujangan.

Jumat, 19 Desember lalu, sekitar 50 demontran beraksi di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di London, menuntut pembebasan Zaidi. Kelompok yang menamakan diri Stop the War Coalition itu? berpendapat timpukan sepatu Zaidi merupakan manifestasi dari jutaan rakyat Iraq yang diam tapi marah pada bencana yang ditimbulkan pendudukan pasukan Amerika Serikat atas Iraq.

Malah dua hari sebelumnya di depan Gedung Putih, di Pennsylvania Avenue, Washington, sejumlah demontran menimpuki sebuah patung dengan wajah Presiden Bush, tapi beruniform narapidana. ”Inilah ciuman perpisahan dari saya George,” kata Medea Benjamin, koordinator Code Pink, kelompok aktivis anti-perang, sembari menimpuk patung Bush. Sayang meleset.

”Coba, apa kau bisa elakkan ini,” teriak Jim Goodnow, seorang veteran. ”Untuk ketamakanmu, untuk kebijakanmu,” teriak aktivis anti-perang David Swanson.

Singkat cerita hampir di seluruh dunia, Presiden Bush babak-belur diejek dan dimaki. Tapi di Indonesia tampaknya sepi. Hanya ada demontrasi menyerang Bush di beberapa daerah, antara lain, di Malang, dilakukan kelompok Islam.

Tokoh-tokoh lembaga swadaya masyaratkat (LSM) yang selama ini lantang meneriakkan HAM, diam seribu bahasa. Rupanya bagi mereka kematian jutaan rakyat sipil Iraq yang tak berdosa bukanlah pelanggaran HAM. Atau mungkin juga di dalam hati mereka tahu itu pelanggaran HAM tapi lidah mereka kelu untuk berbicara karena terlalu banyak menerima bantuan dollar Amerika Serikat, negera pelanggar HAM nomor satu di dunia.

Atau khawatir proposal mereka untuk minta bantuan ke berbagai donor di Amerika Serikat akan terganggu kalau mereka memperjuangkan HAM rakyat Irak. Artinya, kriteria suatu peristiwa melanggar HAM atau tidak di mata mereka diukur dengan dollar dari US-Aid, atau badan donor lainnya.

Obama Harus Adili Bush

Barack Hussein Obama resmi sebagai Presiden Amerika Serikat menggantikan George Bush 20 Januari mendatang. Pertanyaan paling penting: beranikah Obama mengadili Bush, wakilnya Dick Cheney, dan para stafnya yang terlibat berbagai penyiksaan di penjara Abu Ghuraib, Bagram, Guantanamo, dan penjara rahasia CIA di berbagai negara Eropa Timur dan Timur Tengah.

Belum lama, sebuah laporan komisi Senat Amerika menyebabkan kasus yang disebut di atas memiliki bukti kuat untuk menyeret sejumlah pejabat Amerika ke pengadilan. Mereka adalah bekas Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, penasehat hukumnya, William J.Haynes, bekas penasehat Gedung Putih Alberto Gonzales, dan Kepala Staf Wakil Presiden, David Addington.

Laporan tadi menyebutkan bahwa nama-nama tersebut terlibat langsung dalam memimpin apa yang terjadi di penjara Abu Ghraib (Iraq), Bagram (Afghanistan), Guantanamo (Kuba), dan penjara rahasia badan intelijen Amerika, CIA, di berbagai negara. Yaitu? berbagai penyiksaan, penghinaan, perkosaan terhadap para tahanan, yang bahkan mengakibatkan sejumlah tahanan meninggal dunia.

Seperti ditulis editorial The Washington Post, 18 Desember lalu, metode penyiksaan ini pertama dilakukan intelijen China di masa Perang Korea, awal 1950-an. Metode itu kemudian diajarkan kepada tentara Amerika dengan maksud kalau suatu waktu mereka menerima penyiksaan model itu dari musuh, mereka bisa bertahan.

Ternyata metode penyiksaan itu diperintahkan oleh para nama yang disebut di atas untuk ditrapkan di Guantanamo, Abu Ghraib, Bagram, dan tahanan rahasia CIA. Alasannya demi mempertahankan konstitusi Amerika. Sebagai dasar hukum dari perintah itu adalah memo Presiden Bush yang isinya menyebutkan bahwa ketentuan Geneve Convention (Konvensi Jenewa) tak? berlaku bagi para tahanan yang terlibat war on terror (perang melawan teror).

Konvensi Jenewa diadakan Agustus 1949, setelah Perang Dunia II, antara lain, mengatur perlakuan terhadap tawanan perang.? ”Inilah pertama kali sebuah negara demokratis melakukan interpretasi ulang secara unilateral terhadap Konvensi Jenewa,” tulis editorial tadi.

Artinya, kalau komisi Senat itu merekomendasikan para pejabat tadi untuk diadli karena berbagai penyiksaan, Presiden Bush juga harus diadili. Karena memonya instruksi penyiksaan itu keluar dari Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, Desember 2002. Penyiksaan tahanan dilakukan di Guantanmo, kemudian merembet ke Afghanistan, dan tempat lainnya.

Beberapa waktu yang lalu, misalnya, bentuk penyiksaan itu diungkapkan seorang anggota Al-Qaidah, Mohammad al-Qahtani dalam sebuah sidang tribunal militer di Guantanamo. Menurut al-Qhatani dia pernah mengalami penyiksaan dengan cara diganggu tidurnya. Akibatnya selama berminggu-minggu ia tak bisa tidur. Ia ditelanjangi di selnya dan diikat dengan rantai anjing, kemudian ditakut-takuti dengan anjing militer. Sidang Tibunal Militer kemudian membatalkan semua tuduhan terhadap al-Qahtani.

Berbagai metode penyiksaan di Guantanmo sebenarnya sudah dibongkar habis oleh wartawati The New Yorker, Jane Mayer di dalam bukunya The Dark Side (Dobleday, New York, 2008). Gangguan tidur itu, misalnya, dilakukan dengan menempatkan loudspeaker di dalam sel tahanan. Mereka memutar lagu sekeras-kerasnya selama 24 jam, mana mungkin tahanan itu bisa tidur. Terkadang di loudspeaker itu dipancarkan suara jeritan wanita yang melengking terus-menerus. Karena siksaan itu tak sedikit tahanan di Guantanamo berusaha bunuh diri.

Hanya dengan mengadili George Bush, Dick Cheney, Donald Rumsfeld, dan lain-lain, martabat Amerika Serikat di mata rakyat dunia bisa kembali dipulihkan. Kalau tidak, di mana-mana tentara Amerika – jangan-jangan nanti juga orang Amerika yang tak berdosa – akan kena timpuk sepatu.

Penulis adalah Direktur Institute For Policy Studies (IPS) dan kolumin www.hidayatullah.com