Friday, 22 November 2024, 07:21

Sebagian Muslim menaruh harapan perubahan drastis pada Presiden kulit hitam pertama negeri Paman Sam, Barack Hussein Obama.Tapi apakah janjinya sesuai dengan saat kampanye?

Oleh: Musthafa Luthfi *

Dalam buku karangan Sheikh Abi Al-Hassan An-Nadawi, pakar Muslim asal India antara lain disinggung tentang studi komparasi kondisi umat Islam di era para Sahabat terutama pada masa Khulafaurroshidin di era dua imperium super-power saat itu (Persia dan Romawi) dan kondisi umat Islam akhir abad ke-20 Masehi saat keberadaan dua negara super power (AS dan Uni Soviet).

Buku yang dalam edisi bahasa Arabnya berjudul “Maza khasiral aalam min inhithat al-Muslimin” (apa kerugian dunia akibat kemunduran kaum Muslimin), antara lain menyebutkan bahwa kekuatan dan potensi umat Islam di akhir abad ke-20 (lebih-lebih saat ini pen.) jauh lebih besar dari era para Sahabat terdahulu untuk tampil sebagai pemimpin dunia.

Dengan potensi yang sangat terbatas baik dari sisi pertahanan logistik dan peralatan militer maupun dari sisi ekonomi, umat Islam pada masa sahabat dahulu akhirnya mampu mengakhiri dua imperium super-power, Persia dan Romawi sehingga kaum Muslimin muncul sebagai pemimpin dunia.

Itu artinya, potensi dunia Islam saat ini untuk tampil lagi sebagai pemimpin bangsa-bangsa di permukaan bumi ini sudah terbuka luas baik ditinjau dari potensi ekonomi, kekuatan militer, asset manusia dan asset kekayaan bumi yang berlimpah ruah disamping faktor demografi dan geografi. Yang masih kurang dari umat Islam terutama dari kalangan pemimpinnya adalah iman dan percaya diri.

Karenanya tidak aneh bila hingga dewasa ini masih menggantungkan penyelesaian isu-isu utama umat Islam pada para pemimpin negara-negara Barat terutama AS. Peringatan Allah bahwa nasib umat ini tidak akan diubah sebelum umat Islam sendiri mengubah dirinya (Al-Quran surat Al-Ra’d ayat 11) sepertinya tak digubris lagi.

Demikian pula saat Barack Obama yang oleh banyak media massa Islam namanya ditulis lengkap Barack Hussein Obama, sebagai pengakuan bahwa yang bersangkutan berasal dari keturunan garis ayah asal Kenya yang beragama Islam, dengan harapan dapat berperan besar dalam memenangkan isu-isu kaum Muslimin seluruh dunia.

Kemenangan Obama dalam pemilihan Presiden AS ke-44 pada 4 Nopember lalu, seolah-olah kemenangan bagi dunia Islam sehingga sambutan pun mungkin lebih meriah dari sambutan pendukung Obama sendiri di dalam negeri Amerika. Banyak pihak yang bermimpi seolah-olah Obama akan menjelma sebagai “khalifa” di masa kejayaan Islam dahulu.

Paling tidak sebagian umat Islam menaruh harapan adanya perubahan drastis pada Presiden kulit hitam pertama negeri Paman Sam itu setelah berlangsung permusuhan paling tajam antara AS-Islam, pada masa pemerintahan pendahulunya George W Bush yang sebenarnya telah diawali oleh sang ayah, George Bush.

Untuk lebih mendalami bahwa Obama tidak mungkin menjadi “ratu adil” bagi bangsa-bangsa Muslim, alangkah baiknya kita coba bercermin dari peran yang akan dimainkannya terhadap “al-malaffaat al-sakhinah” (isu-isu panas) umat Islam dewasa ini yang sebenarnya telah berlangsung cukup lama bahkan sebagian dari isu tersebut merupakan isu kronis yang umurnya lebih dari setengah abad.

Isu Palestina

Isu Palestina merupakan isu sentral seluruh umat Islam sedunia meskipun sebagian pemimpin Islam akhirnya, tunduk kepada kehendak Israel dan negara-negara imperialisme, dan mengakui bahwa isu ini semata-mata isu dua negara (Israel dan Palestina) atau hanya sebatas konflik Arab-Israel.

Kalangan publik Arab dan dunia Islam umumnya sebenarnya bisa melihat gejala tidak adanya perubahan sikap mendasar negeri pendukung utama Israel tersebut saat kampanye dan pidato kemenangan Obama. Bila pun ada perubahan, hanya sebatas perubahan formalitas bukan perubahan sesungguhnya.

Saat kampanye Obama sekedar menyinggung Palestina dengan hanya menonjolkan ucapan-ucapan indah tentang suatu perdamaian dan hidup berdampingan antara dua Negara (Israel dan Palestina) secara umum dan terkesan tidak jelas yang dapat menimbulkan multi interpretasi.

Isyarat lainnya , ketika menyampaikan pidato kemenangan dimana Presiden terpilih tidak sekali pun menyebut tentang Palestina dan penderitaan rakyat negeri itu terutama di Jalur Gaza yang mati secara perlahan-lahan akibat embargo internasional sehingga untuk sekedar kebutuhan makan sehari-hari dan pengobatan pun sangat tidak mencukupi.

Pada pidato kemenangannya, Obama hanya sebatas menyinggung Iraq dan Afganistan. Intinya, AS akan mengurangi konsentrasinya di Iraq untuk selanjutnya lebih menfokuskan diri pada perang yang lebih dahsyat di Afganistan menghadapi pasukan Taliban yang dalam setahun belakangan ini makin memojokkan pasukan sekutu.

Yang jelas, satu perinsip kokoh yang menjadi jaminan bagi setiap presiden negeri yang disebut ?”adikuasa” (umat Islam seharusnya tidak menyebut demikian) tersebut, untuk terus mempertahankan jabatannya sejak usai perang dunia II mulai dari Presiden Harry S Truman hingga George W Bush adalah kesetiaan mutlak kepada negeri Yahudi itu.

Singkatnya menyangkut isu Palestina dan isu bangsa Arab lainnya, adalah tetap berpijak pada dua faktor utama yakni pertama, jaminan keunggulan dan keamanan Israel menghadapi apa yang mereka sebut “ancaman” dunia Arab termasuk juga ancaman dari Iran .

Faktor kedua adalah jaminan mengalirnya minyak Arab ke AS dan dunia Barat lainnya dengan harga sesuai. Sejauh ini telah terbukti bahwa aliran minyak ke Barat tetap deras meskipun isu Palestina makin dikesampingkan AS terutama sejak peristiwa 11 September 2001 sehingga Washington di masa Obama belum mendesak untuk mengubah kebijakan secara mendasar yang menguntungkan bangsa Palestina.

Selain disebutkan diatas, kelemahan lainnya yang tidak disadari dunia Islam, terutama negara-negara Arab menyangkut isu Palestina tersebut adalah tidak adanya visi komprehensif menghadapi pergantian kekuasaan di AS. Posisi seperti ini sama saja dengan menggatungkan kemenangan pada taruhan judi yang merugikan.

“Karenanya, kita hanya melimpahkan harapan-harapan tanpa dasar, sehingga selalu siap memberikan konsesi tanpa imbalan berarti ……Harapan pada Obama juga membuktikan kita tidak mengetahui atau pura-pura tidak mengetahui mekanisme penentu keputusan dan tujuan-tujuan utama politik luar negeri AS,” papar sejumlah analis Arab.

Belum lagi bila melihat tokoh-tokoh penasehat Obama semisal Wapres, John Bayden, Ketua Staf Administrasi Gedung Putih, Rahm Emanuel (lahir di Israel), Calon Menlu, Hilalry Clinton, Dennis Ross yang sebelumnya juga disebut-sebut sebagai Menlu merupakan tokoh yang sangat setia terhadap gerakan Yahudi di AS.

Besar kemungkinan, Obama akan melanjutkan proses “perdamaian” Annapolis setahun yang lalu bahkan akan membentuk tim serupa beranggotakan orang-orang lama semisal Dennis Ross dan Martin Endyk. Presiden terpilih juga hampir dipastikan lebih menonjolkan keamanan Israel sehingga apabila berharap perubahan, hanya sebatas perubahan cara implementasi kebijakan yang sama.

Isu-isu lainnya

Isu-isu hangat dunia Islam lainnya (seperti masalah Iraq , nuklir Iran , Afganistan dan perang melawan terorisme) nampaknya akan mengalami nasib yang tidak jauh beda dari isu Palestina, meskipun masalah Iraq terjadi perubahan kebijakan hanya sebatas penarikan sebagian pasukan AS dengan tetap membiarkan negeri Babilonia ”amburadul” akibat pertikaian sektarianisme.

Isyarat bahwa isu-isu hangat dunia Islam bakal kurang mendapat perhatian, misalnya dapat dilihat dari para pemimpin dunia yang diajak bicara mengenai urusan internasional oleh Obama setelah terpilih diantaranya enam negara kapitalis yaitu Inggris, Perancis, Jerman, Australia, Kanada dan Jepang.

Apabila terhenti hanya di enam negara tersebut bisa dipahami karena memang enam negeri besar ini merupakan sekutu utama AS. Tapi Obama juga menelpon pemimpin tiga negera lainnya yaitu Korea Selatan dan Meksiko ditambah tentunya Israel .

Tak satu pun pemimpin Arab atau dunia Islam lainnya yang diajak bicara menyangkut urusan penting tersebut. Bahkan pada konferensi pers pertama lebih menonjolkan masalah nuklir Iran dengan menggunakan bahasa yang biasa disampaikan para pemimpin Israel yang intinya penekanan pada upaya bersama internasional untuk menggagalkan Iran menjadi negara nuklir.

Alasannya juga klise seperti yang umum disampaikan para petinggi negeri Yahudi itu yakni negeri Mullah itu dituduh mendukung gerakan terorisme yang sejatinya adalah gerakan perlawanan terhadap penjajah yaitu Hizbullah di Libanon dan Hammas di Palestina.

Sedangkan masalah Afganistan akan lebih berdarah lagi di era Presiden kulit hitam pertama itu. Setelah pengendoran konsentrasi di Iraq maka fokus utama adalah perang habis-habisan di Afganistan yang selain meluluhlantahkan negeri itu juga akan menimbulkan korban mengerikan di kalangan rakyat sipil tak berdosa.

Bersamaan dengan makin intensifnya serangan atas Afganistan dengan dalih menghancurkan sisa-sisa pasukan Taliban dan mencari Usamah Bin Ladin, perang melawan apa yang disebut terorisme akan makin gencar di masa Obama. Itu berarti dunia Islam harus siap-siap untuk dilanggar kedaulatannya atas nama “war against terrorism”.

Dengan demikian, harapan yang disandarkan kepada pemimpin baru negeri Paman Sam itu lebih mendekati mimpi dari kenyataan apalagi mekanisme penentu keputusan di negeri tersebut bukan di tangan satu orang.

Seperti telah diutarakan sebelumnya, yang bisa menentukan dan memenangkan isu dunia Islam ini hanyalah para pemimpin Islam sendiri yang hingga saat ini kelihatannya belum memiliki kesatuan visi sehingga menyandarkan pada pihak lain.

Potensi umat Islam dewasa ini untuk menentukan sendiri kesudahan isu-isu dimaksud lebih dari cukup yang belum dimiliki adalah “political will” atau bila disampaikan dalam bahasa agama adalah kekuatan iman.

Musuh-musuh Islam bukan takut dengan rudal-rudal canggih tapi takut terhadap senjata iman sebagaimana pernah digambarkan sebuah karikatur bahwa Israel sangat takut kepada kubah-kubah masjid (kekuatan iman kaum Muslimin) bukan moncong-moncong rudal.

Diakui maupun tidak, umat Islam terutama para pemimpinnya saat ini dalam fase iman yang sangat lemah sehingga menjadi bulan-bulanan pihak luar. Sangat ironis, ketika suatu penyakit bahaya menimpa fisik seperti misalnya lemah syahwat, maka kaum Muslimin akan berlomba-lomba mencari penyembuhnya meskipun dengan harga mahal.

Ketika penyakit yang sejatinya paling berbahaya menimpa yaitu lemah iman, sangat jarang yang berusaha mengobatinya. Semua pihak seolah-olah merasa bahwa tidak ada sesuatu yang kurang di tubuh umat ini bila iman melemah.

Sana’a, 21 Nopember 2008

* Penulis mantan wartawan Antara Timur Tengah. Penulis bermukim di Yaman dan kini mengisi secara rutin analisis dunia Islam di www.hidayatullah.com