Karena orang tua bercerai, aku pun lari ke jalanan. Miras dan narkoba menjadi pengisi hari-hariku. Lalu aku mempopulerkan diriku menjadi seorang petarung jalanan.Bahkan aku bercita-cita ingin mati dalam setiap pertarunganku.
Suramnya kehidupanku itu terjadi ketika aku duduk di sekolah dasar. Kedua orangtuaku memutuskan bercerai. Ayah pergi ke Jakarta, sementara ibuku tinggal di Bogor sampai kemudian menikah dan hijrah ke kota Metropolitan. Sementara aku tinggal bersama nenek di Kota Hujan, Bogor. Sebagai anak kecil aku tidak mengerti apa-apa, termasuk karena alasan apa orang tuaku bercerai. Tapi yang pasti, aku mulai merasakan kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tuaku.
Sebagai pelarian, aku sering meninggalkan rumah nenekku dan jarang pulang. Aku lebih memilih untuk tidur di rumah teman-temanku. Pernah juga aku tinggal di rumah seorang musisi rock terkenal. Dari berbagai pergaulan ‘liar’ seperti itulah beragam kehidupan jahiliyah mulai aku kenal.
Lazimnya kehidupan jalanan, minuman keras dan obat-obat terlarang jadi langgananku. Toh, orang-orang di sekelilingku, tetanggaku, para ustadz, pengurus mesjid, tidak pernah ribut dengan kebengalanku. Apalagi mencoba untuk menasihatiku. Maka aku merasa semakin enjoy dengan kehidupan jalanan ini.
Jangan tanya masalah ibadah. Itu sudah lama aku tinggalkan. Shalat hanya kalau mau, bahkan malam takbiran pun aku tenggelam dalam berbotol-botol minuman keras bersama kawan-kawan ‘seperjuanganku’. Khusus untuk bulan puasa, aku tidak menenggak miras di siang hari tapi di malam hari, karena aku masih berpikir untuk menghormati bulan suci Ramadhan walau aku sendiri jarang puasa!
Ketika SMP aku memilih untuk drop out. Bukan karena kehabisan biaya, atau masalah nilai, tapi karena bagiku bersekolah sudah tidak menarik lagi. Ketika masih bersekolah pun aku lebih sering bolos. Aku lebih tertarik dengan kehidupan jalanan yang menurutku asyik dan penuh tantangan.
Jadi Petarung Jalanan
Namaku dikenal di seantero kampung bukan cuma karena doyan miras dan nongkrong-nongkrong, tapi karena suka berkelahi. Aku merasa heroik, menjadi pahlawan kalau sudah bertarung. Tidak peduli menang atau kalah. Untuk urusan berkelahi aku punya seorang kawan yang kerap menjadi partner dalam berkelahi. Bersamanya aku menantang dan mencari gara-gara dengan siapa saja untuk kami ajak berkelahi. Salah satu arena untuk mencari lawan berkelahi adalah tempat biliar. Bukan untuk main bola sodok, tapi sengaja mencari-cari masalah dan bibit perkelahian.
Kebiasaan berkelahi itu sudah muncul sejak aku SD. Siapa saja aku ajak berkelahi, termasuk anak-anak ‘kolong’ dan polisi pun pernah aku ajak berkelahi. Tidak ada rasa gentar sedikitpun. Beberapa orang yang kalah dalam perkelahian denganku harus masuk rumah sakit dan mendapat perawatan serius.
Suatu ketika, saat dalam keadaan mabuk, sekelompok orang menghajarku hingga aku terkapar. Sadar-sadar aku sudah berada di atas ranjang rumah sakit didampingi orang tuaku. Bukan luka memar yang membuatku sakit tapi kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang-orang yang kucintai. Dari sejumlah cerita kawan-kawanku aku tahu kalau para pengeroyokku adalah anak-anak ‘kolong’ yang pernah berkelahi denganku. Rupanya mereka mendendam sehingga mencari-cari kesempatan untuk menghajarku. Beruntung aku tidak sampai mati saat itu.
Berbagai pengalaman pahit dari perkelahian jalanan tidak membuatku jera. Bahkan itu semua mendorongku untuk menekuni ‘hobi’ ini secara serius. Akupun masuk sasana tinju. Di sana aku giat berlatih bahkan sempat ikut dalam sejumlah pertarungan eksebisi dengan petinju dari sasana lain. Untuk mengongkosi kegiatan baruku itu aku membayarnya dengan uang dari hasil kerja jadi tukang parkir.
Kala itu satu cita-cita yang aku miliki, aku ingin mati ketika berkelahi. Mungkin itu kedengarannya menggelikan buat orang lain tapi untukku itu terdengar sangat heroik. Saat itu aku sudah merasa bosan hidup, tidak tahu harus bagaimana, untuk apa dan akan kemana hidupku ini. Tapi aku tidak ingin mati konyol dengan cara bunuh diri, yang aku inginkan adalah mati dalam pertarungan.
Hidayah Itu Datang
Dalam hidupku yang serba gelap itu ada seorang tetanggaku yang baru duduk di kelas III SMU yang tidak pernah bosan menasihatiku. Setiap ada waktu ia datang ke rumahku atau ke tempat mainku untuk memberikan nasihat-nasihat. Ia sering bercerita untuk apa hidup ini, akan kemana, dan harus bagaimana kita hidup.
Lama-lama aku menjadi tertarik bukan saja karena nasihatnya tapi juga karena kegigihannya. Di saat orang lain menjauhi diriku dan mencapku sebagai ‘biang kerok’, termasuk para ustadz di kampungku, masih ada orang yang mau memperhatikan diriku. Akhirnya aku juga menyempatkan waktu untuk datang ke rumahnya, ngobrol, curhat, dan bertanya masalah-masalah agama.
Yang paling mengesankan adalah ketika aku mendapat satu masalah yang menurutku termasuk ujian terberat dalam hidupku. Aku dihadapkan pada masalah antara terus mengaji atau kembali pada kehidupan jalananku, berkelahi bahkan membunuh orang. Alhamdulillah, tetanggaku itu membawaku berkunjung ke rumah gurunya. Di sana aku dinasihati untuk bersabar dan diberitahu bahwa Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan untuk masalah yang aku hadapi. Akhirnya hatiku luluh. Aku yang terbiasa dengan kehidupan keras, beradu otot dan kepalan tinju akhirnya menyerah pasrah pada tuntunan Ilahi. Aku pun mulai rutin mengikuti kajian-kajian Islam dan membina diri untuk menjadi seorang muslim yang baik.
Yang menguntungkan diriku adalah sikap dari teman-teman mainku dulu. Ketika tahu aku mulai berubah, rajin shalat dan ngaji, mereka satu persatu menjauhkan diri. Bahkan mereka seperti ikut menasihatiku untuk tidak kembali ke jalanan. Ada seorang wanita yang aku kenal dulu sering berbuat maksiat juga ikut memberikan dorongan untuk hidupku yang baru ini. “Kamu udah rajin ngaji sekarang, jangan balik lagi kayak dulu,” katanya memberi nasihat. Akhirnya aku pun semakin mantap untuk melangkah di jalan Islam.
Menemukan Jodoh
Seiring bertambahnya usia muncul juga keinginan dalam diriku untuk menikah. Aku sering berdoa pada Allah agar diberikan jodoh yang salehah dan dijauhkan dari perbuatan zina. Alhamdulillah, Dia mempertemukanku dengan seorang muslimah yang solehah, sama-sama aktif di pengajian di kampungku. Dia lulusan perguruan tinggi sedangkan aku SMP pun tidak tamat. Namun alhamdulillah ternyata ia dan orangtuanya menerimaku dengan baik.
Jalan menuju pernikahan yang aku idam-idamkan tidaklah mulus. Beberapa orang dari keluarganya dan pihak luar tidak suka dengan diriku. Apalagi kemudian salah seorang sepupunya adalah orang yang pernah aku aniaya di masa jahiliyah dulu. Mereka bercerita pada calon istriku dan orang tuanya perihal kehidupanku dahulu. Ternyata calon istriku tetap pada pendiriannya, ia tidak bergeming untuk terus melangkah menuju pelaminan bersamaku, apapun masa laluku. “Yang saya lihat hanya keadaan calon suami saya sekarang ini, bukan keadaannya di masa lalu,” katanya mantap pada keluarganya.
Akhirnya pada tanggal 10 Januari 2001 kami menikah dengan penuh khidmat. Aku bersyukur pada Allah bahwa Ia terus membimbingku dan senantiasa memberiku kemudahan dalam kehidupanku yang baru ini. Semoga Ia memberikan kami keturunan yang shaleh dan shalehah. [seperti diceritakan Mu’adz pada Januar].
[pernah dimuat di Majalah PERMATA, edisi April 2003]
Ass.wr.wb. Af1, membaca kisah antum, sungguh luar biasa, mudah-mudahan antum juga bisa mengajak teman-teman antum yang lainnya untuk kembali kejalan Islam, hanya Islam yang dapat menyelamatkan kehidupan kita baik didunia maupun di akhirat, Allahu Akbar
alhamdulillah bertambahlah temanku menjalani dan mempelajari agama islam dengan baik…persoalan antum hampir sama dengan diriku yang ingin mati di atas pertarungan karena semangat petarung bushido yang aku tekuni bahkan aku pernah mencari musuh di pasar namun tidak pernah terjadi terjadi pertarungan yang aku inginkan tersebut..alhamdulillah bahwa aku juga tengah sadar bahwa hidup itu untuk ibadah bukan untuk gengi kematian terhormat. semoga anda senantiasa dilindungi Allah.