Friday, 22 November 2024, 13:52

Umat Muslim bersaudara. Itu adalah ajaran dan satu-satunya ikatan yang mulia yang pernah ada. Ikatan yang mengalahkan bermacam-macam ikatan yang ada di antara manusia sebelumnya. Ikatan kesukuan, nasionalisme, organisasi, dan berbagai ikatan priomordialis menemui akhir riwayatnya di tangan ukhuwah Islamiyyah.

Sebelum kedatangan Islam barangkali orang tidak pernah dapat membayangkan bagaimana caranya mempersatukan hati dan pikiran seluruh umat manusia. Bagaimana bisa seorang yang berkulit hitam dapat bersaudara dengan yang berkulit putih, kuning atau merah? Begitupula bahasa mereka berbeda, asal suku bangsa mereka juga berbeda? Entah bagaimana cara mempertautkan seluruh hati mereka. Sebuah hal yang terlalu rumit bagi manusia yang memang kemampuan berpikirnya serba terbatas.

Kita pun melihat sejarah dunia itu hampir tenggelam dengan pertikaian yang disebabkan perbedaan-perbedaan yang sudah alamiah ini. Romawi menaklukkan separuh dunia untuk kemudian menciptakan kelas-kelas sosial menurut keturunan dan suku bangsa. Demikian pula Persia. Jazirah Arab, tempat kelahiran Islam, pun pernah tenggelam dalam hiruk pikuk konflik antar kabilah. Pada abad modern Perang Dunia meletus sebanyak dua kali lagi-lagi demi alasan nasionalisme; Jepang dengan Nippon-nya, Hitler dengan Nazi-nya, Mussolini dengan Fasisme-nya, dan sekutu dengan kebanggaan aliansi sekutunya.

Padahal seluruh perbedaan-perbedaan itu ada yang bersifat alamiah. Ketika kita lahir ke alam dunia tidak pernah sedikitpun terbersit dalam benak kita untuk misalkan; berkulit coklat, bermata sipit, berbahasa Melayu, dsb. Seluruhnya adalah alamiah. Karenanya menjadi tidak adil kalau kemudian dipermasalahkan. Bagaimana bisa seorang kulit putih merasa lebih mulia dari orang lain hanya karena warna kulitnya? Bukankah ‘kebetulan’ saja ia terlahir dengan kulit putih. Ah, itulah lemahnya manusia, hampir selalu ego-nya mengalahkan akal sehatnya.

“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (TQS. Al Hujurat:10)

“Tidak ada keutamaan antara orang Arab dibandingkan orang Ajam (non-Arab), dan antara orang Ajam dengan orang Arab. Juga tidak ada keutamaan antara orang berkulit putih dibandingkan dengan orang berkulit hitam, juga tidak ada keutamaan antara orang berkulit hitam dibandingkan dengan orang berkulit putih, kecuali dengan takwa.”(al hadits)

Dengan indah Allah Swt. meminta kita untuk tidak merasa lebih ‘tinggi’ dibandingkan orang lain hanya karena perbedaan-perbedaan alamiah tersebut. Semata takwa yang membedakan seorang manusia dengan manusia yang lain. Dengan falsafah hidup kebersamaan dan kesetaraan itu, Islam telah memecahkan masalah ketidakharmonisan hubungan sesama manusia. Baik antar suku bangsa, antar individu, maupun antar jenis kelamin.

And then, apakah kita siap menerima konsekuensi dari sebuah ukhuwah Islamiyyah? Siapkah kita untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan seluruh saudara-saudara kita? Siap jugakah kita untuk menerima segala macam perbedaan — baik fisik maupun pemikiran – dengan mereka yang berada di luar rumah kita, bahkan tanah air kita? Siap jugakah kita untuk tidak mendzalimi sesama muslim, tidak menyerahkannya pada musuh, dan untuk tidak membicarakan kejelekan mereka? Dan banyak lagi hak dan kewajiban sesama muslim yang harus kita kerjakan sebagai bukti cinta kita pada saudara seiman kita.

“Belum sempurna iman seseorang sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”(al hadits)

Kawan, terlalu sering kata ukhuwah berkumandang di telinga kita dan keluar dari bibir kita,? padahal mungkin kita sendiri belum memahami tanggung jawab dari sebuah ukhuwah. Kalau Amin yang bukan orang kaya masih menyimpan iri hati dan kebencian pada Tono yang dilimpahi harta, maka ukhuwah tinggallah angan-angan. Demikian pula seandainya Tono yang kaya raya tidak pernah peduli apalagi mau membantu Amin yang kekurangan, ukhuwah berarti hanyalah slogan saja. Bukankah hal seperti demikian teramat sering terjadi di tengah-tengah kita; yang miskin iri hati dan benci pada yang kaya, sementara yang kaya tidak peduli pada penderitaan sesama muslim.

Bagi mereka yang setiap hari bergelut dengan dakwah dan syiar Islam, juga tidak ada salahnya merenung; sudahkah ukhuwah itu menjadi bagian dari kehidupan kita ataukah hanya sekedar rangkaian kalimat indah dalam ceramah dan tulisan kita. Atau jangan-jangan ukhuwah itu hanya berputar pada kelompok kita saja, tidak pada yang lain.

Dulu kita sering mendengar tokoh agama saling mencaci, menghujat dan menghina hanya karena persoalan qunut, jumlah rakaat shalat tarawih, dan berbagai macam masalah-masalah sepele lainnya. Perbedaan yang tidak pernah menyeret para ulama-ulama terdahulu masuk ke dalam keributan, apalagi permusuhan. Kini, ukhuwah juga sering terpecah dengan perbedaan kelompok pengajian, bendera partai, atau ustadz. Seorang kawan pernah bercerita dengan sedih bahwa ia dikucilkan oleh kawan-kawannya sesama aktivis pengajian hanya karena ia mengaji pada ustadz yang tidak sepaham dengan ustadz mereka. Seorang kawan lagi dengan kesal bercampur kecewa bercerita bahwa ia sering mendapat fitnah dari sesama aktivis muslim – yang kawan dekatnya – juga karena ia lebih cenderung pada partai Islam yang berbeda dengan kawan-kawannya.

Kawan, sadarkah kita bahwa menerima ukhuwah berarti juga harus menerima segala perbedaan? Bersatu bukan berarti harus seragam. Hanya dua hal yang harus sama akidah dan tujuan perjuangan kita; Islam dan ridlo Allah Swt. Selebihnya adalah perbedaan yang akan menambah indah kehidupan kita bersama. Bersaudara bukan berarti menolak perbedaan. Bukankah perbedaan itu sudah ada sejak generasi pertama agama ini. Lihatlah bagaimana para khulafaur rasyidin dengan lapang dada menerima perbedaan di antara mereka, tanpa ada rasa dendam, fitnah atau caci maki.

Mari kita rajut kembali ukhuwah itu dengan semangat keikhlasan dan tentu saja dorongan iman. Marilah kita membuka mata lebar-lebar dan mendengarkan dengan seksama agar kita terhindar dari segala perpecahan. Saudara-saudara kita bukanlah semata yang ada dalam kelompok kita. Mereka yang berada di luar sana; baik yang belum sadar untuk kembali ke jalan Allah ataupun yang tengah meniti ridlo Allah pada jalur yang berlainan adalah saudara dalam keimanan dan perjuangan.

Alangkah sempitnya hati kita, dan dangkalnya pikiran kita seandainya menganggap ukhuwah adalah sebuah keseragaman, dengan menafikan perbedaan. Ayo kita bersama rajut keindahan ukhuwah Islamiyyah yang sejati itu. [januar]

[pernah dimuat di Majalah PERMATA, edisi Juni 2002]