Friday, 22 November 2024, 17:40

Makhluk berseragam dengan usia belasan sudah akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Dari hari Senin sampe Sabtu, setiap pagi biasanya mereka mangkal di pinggiran jalan atau di halte-halte bis. Tapi jangan su’udzon dulu ya. Mereka bukan lagi nunggu pelanggan lho (emangnya mbok jamu?). Tapi nunggu jemputan �satu untuk semua’ alias angkutan umum. Itu juga kalo sopir ikhlas dengan tingkah polah mereka yang naeknya rame-rame, turunnya rame-rame, bayar ongkosnya juga rame-rame alias patungan. Harusnya bayar untuk sepuluh orang, cuma dibayar lima. Alasannya, yang lima cuma ikut-ikutan. Asal deh!

Kini, kehadiran mereka nggak cuma meramaikan angkot, tapi sudah merambah dunia layar kaca. Membanjiri sinetron remaja yang ngerasa belum afdhol kalo nggak nyisipin status pelajar bagi para pemerannya. Biar akrab ama keseharian pemirsanya yang dominan remaja. Lihat saja, untuk komunitas seragam putih-abu abu kita mengenal Cinta, Karmen, Maura, Alia, dan Milly yang bersekolah di SMA �Ada Apa Dengan Cinta?’. Nggak jauh dari situ ada SMA �Kawin Gantung’ yang dihuni Ridho, Memey dan konco-konconya. Ada juga SMA �ABG’ atau SMA �Cinta SMU’ yang juga ikut ambil bagian.

Komunitas seragam putih-biru juga nggak mau ketinggalan. Meski sering dibilang masih bau kencur, mereka berani bilang kalo SMP juga punya daya pikat. Ada Bom kuadrat (baca: Bom-Bom) dan Lala yang tengah mengenyam pendidikan di SMP �Bidadari’. Atau Nadya, Alex, Sofi, dan Jason dari SMP �Inikah Rasanya’.

Malah, adek-adek kita yang berseragam putih-merah pengen ikutan nimbrung juga. Seperti hebohnya aksi “Jenderal Kancil� dengan “Putri Malu�. Atau kisah lugu “Bulan dan Bintang�. Bener-bener komplit. Tapi seperti apa sih keseharian temen-temen pelajar kita itu?

Rusaknya citra pelajar, guru, dan sekolah
Secara umum, perilaku temen-temen kita di atas emang nggak beda ama kita selaku pelajar. Berangkat sekolah pake seragam, ikut kegiatan belajar di kelas, ngemil di kantin pas istirahat, dan kudu taat aturan sekolah. Bedanya, kita hidup di dunia nyata sementara mereka menjalani status pelajarnya di dunia layar kaca yang seolah nyata. Kita dituntut manut ama kurikulum pendidikan keluaran Diknas sementara mereka kudu ngikut skenario bimbingan sutradara. Sayangnya, justru perbedaan ini yang menimbulkan kesan pelecehan terhadap sekolah, guru, atau perilaku kaum terpelajar yang dipertontonkan para pemainnya.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal dijadikan ajang pamer aurat, kekayaan, dan harga diri. Cara berpakaian siswi SMA, terutama pemeran utamanya, sangat mengumbar syahwat. Kemeja lengan pendek yang dikeluarin, transparan dan ketat hingga kancing bagian dadanya terlihat mau copot eh copot..copot. Rok yang dikenakannya pun mirip pemain tenis lapang. Mini dan jauh di atas lutut. Adakah sekolah yang melegalisasi seragam �fasthabiqul aurat’ (berlomba-lomba memamerkan aurat) kayak gini?

Eskploitasi gaya hidup mewah bin glamour yang menjual mimpi juga terasa kental di dunia dalam syuting ini. Aksesoris yang menunjang penampilan seperti ponsel terbaru, arloji, busana, sepatu, hingga kendaraan berseliweran di sekolah. Semuanya high class punya. Para pemain berlomba memamerkan kekayaannya. Nggak ada lagi rebutan angkot. Yang ada rebutan tempat parkir. Nggak ada kegiatan KBM. Yang keliatan nggak jauh dari acara makan fast food, shopping, atau ngeceng di mal.

Keberadaan guru sebagai pendidik hanya untuk meramaikan saja. Seperti yang diperankan pelawak Komar di SMU �Kawin Gantung’. Tidak ada lagi rasa hormat yang seharusnya ditunjukkan murid pada gurunya. Profesi guru kehilangan kewibawaan di hadapan murid. Yang lebih parah dijadikan bahan tertawaan. Citra pahlawan tanpa tanda jasa disulap jadi pecundang tanpa wibawa.

Perilaku pelajar yang diperankan juga cenderung permissif dan bebas dari aturan sekolah. Siswanya berani memamerkan tatto, rambutnya dicat dengan warna mencolok kayak traffic light, memakai anting, slayer, topi koboi, gelang, atau berperilaku layaknya preman. Kancing baju bagian atas di buka dan kemeja lengan pendeknya digulung. Kata-kata kasar dengan nada celaan, cacian, makian mereka lontarkan sebagai bentuk kebencian, iri hati, dan kedengkian kepada lawan mainnya. Pergaulan bebas di antara mereka menjadi menu utama. Segala hal yang berbau cinta menyita perhatian, waktu, tenaga, dan juga materi para pemerannya sepanjang cerita. Seolah, urusan cinta adalah hidup-mati mereka. Sehingga dianggap wajar jika harus menelantarkan kepentingan sekolah. Waduh, itu namanya sebuah ancaman serius nih.

Sobat muda muslim, tega bener ya orang-orang yang nyomot status pelajar dan keberadaan sekolah dalam filmnya sekadar untuk menghilangkan dahaga mereka yang haus materi. Padahal mereka juga bisa kayak gitu karena jasa-jasa guru dan pihak sekolah. Ya…beginilah hidup di alam kapitalis. Norma, etika, ataupun hukum agama tidak lebih berharga dari setumpuk harta. Ciloko tenan!

Sinetron remaja, miskin kreativitas
Sobat, kekhawatiran masyarakat akan pengaruh negatif dari sinetron remaja udah sering dilontarkan. Baik melalui media massa cetak maupun media elektronik. Salah satunya, surat pembaca yang dimuat Republika pada hari Rabu, 18/08/2004 dari seorang siswi SLTP IT Al-Hikmah bernama Hana. Menurut Hana, sinetron-sinetron itu memberi pengaruh besar terhadap merosotnya moral dan akidah pelajar Indonesia. (Eramuslim, 26/08/04). Sayangnya, pihak produser pura-pura nggak denger dan nggak tahu. Cuek bebek. Buktinya, sudah enam bulan berlalu dari surat Hana, produk sinetron remaja malah makin amburadul dan kian gawat. Nggak ngaruh bow!

Repotnya lagi, sekarang televisi sudah menjadi anggota keluarga. Itu berarti, nggak ada keluarga yang lolos dari informasi yang disampaikan lewat kotak ajaib ini. Padahal seorang pakar dan peneliti pertelevisian, Dwyer, menyimpulkan, sebagai media audio visual, TV mampu merebut 94 % saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga.TV mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50 % dari apa yang mereka lihat dan dengar di layar TV walaupun hanya sekali ditayangkan. Atau secara umum orang akan ingat 85 % dari apa yang mereka lihat di TV setelah tiga jam kemudian dan 65 % setelah tiga hari kemudian (Dwyer, 1988). Gaswat banget kan kalo acara televisi didominasi unsur hiburan yang minim unsur pendidikan?

Kalo kita amati, setidaknya ada tiga aspek dalam sinetron-sinetron yang punya potensi mengkikis keislaman kita. Antara lain aspek kekerasan, aspek moralitas, aspek seksualitas.

“Aspek moralitas misalnya, yang menyangkut nilai-nilai baik, buruk, benar, salah. Aspek ini memang tidak kelihatan seperti aspek kekerasan, tapi menjadi aspek yang penting. Perilaku tertentu yang di masyarakat dianggap salah, di sinetron ditampilkan begitu saja tanpa ada penekanan bahwa perilaku itu salah. Banyak sekali sinetron yang seperti itu,� ungkap Guntarto, Kepala Kajian Anak dan Media, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI). (idem)

Aspek seksualitas terlihat dari cara berbusana pemain yang menonjolkan daya tarik seksualnya hingga ekspresi cinta di antara mereka yang cenderung vulgar. Dari sekadar bergandengan tangan, berciuman, hingga berpelukan mesra layaknya suami-istri.

Sementara aspek kekerasan menjadi bumbu penyedap yang menajamkan konflik. Pemainnya diarahkan untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan jotosan kepalan tangan, urat leher yang menegang, dan jebakan-jebakan yang bisa merenggut nyawa.

Dr. Arif Sadiman M.Sc dalam tulisannya yang berjudul “Pengaruh televisi pada perubahan perilaku� (jurnal teknodik No. 7/IV/Teknodik/Oktober 1999) mengutip Laporan UNESCO, 1994 yang menyatakan bahwa pada tahun 1994 koran-koran di Singapura menyajikan hasil polling pendapat yang dilakukan pihak kepolisian kepada 50 pemuda yang terlibat tindak kekerasan. Hasil polling tersebut menyimpulkan bahwa kebanyakan dari mereka yang melakukan tindak kekerasan suka menikmati film-film kekerasan di TV.

Orientasi materi-lah yang membuat produksi sinetron di negeri kita miskin kreativitas. Selalu berkutat pada harta, tahta, wanita, dan cinta. Yang pada akhirnya masa depan remaja pun dikorbankan. Teganya… teganya… teganya…. (jadi inget Meggy Z!)

Menggagas sinetron remaja berkualitas
Sobat, kamu pernah tahu sinetron remaja bertajuk �ACI’ atau �Jendela Rumah Kita’ yang dulu sempet populer? Masih ingat dengan kisah persahabatan Ading dan Dado? Atau pernah nonton �Keluarga Cemara’?

Sepertinya sinetron-sinetron di atas bisa mewakili tayangan yang pas buat remaja. Jalan ceritanya minim dari aspek bermasalah yang kita bahas sebelumnya. Menyajikan kesederhanaan, persahabatan, kehidupan di sekolah, belajar mandiri dan berusaha tidak membebani orang tua. Faktor edukasi lebih dominan dibanding eksploitasi modernitas yang menjebak remaja menjadi plagiator budaya sekuler Barat. Mungkinkah terjadi regenerasi film-film di atas saat ini?

Kenapa nggak? Kita yakin para pekerja seni itu mampu mewujudkannya. Langkah awal yang diperlukan adalah keikhlasan mereka untuk menyebarkan kebaikan. Dengan keikhlasan itu, mereka pasti mampu mempertahankan idealisme di tengah godaan materi yang mengkebiri kreativitasnya. Mengangkat kehidupan remaja yang kental dengan proses pendidikan formal di sekolah seperti mengemas fenomena Kurikulum Berbasis Kompetensi yang lagi popuer atau cerita ringan tentang remaja yang menjalani setiap proses yang harus dilaluinya sebelum menemukan perubahan. Semuanya tanpa harus kehilangan unsur hiburan.

Dengan begini, kita semua berharap pelajar mampu meraih predikat seperti yang dijanjikan Allah swt. Baik di dunia nyata atau dalam layar kaca.

?????±?’?????¹?? ?§?„?„?‘???‡?? ?§?„?‘???°?????†?? ?????§?…???†???ˆ?§ ?…???†?’?ƒ???…?’ ?ˆ???§?„?‘???°?????†?? ?£???ˆ?????ˆ?§ ?§?„?’?¹???„?’?…?? ?¯???±???¬???§???? ?ˆ???§?„?„?‘???‡?? ?¨???…???§ ?????¹?’?…???„???ˆ?†?? ?®???¨?????±?Œ
…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS al-Muj?¢dilah [58]: 11)

Sobat, pada akhirnya, kita semua tentu harus menyadari bahwa predikat yang Allah janjikan di atas akan sulit kita raih jika mengandalkan tayangan berkualitas saja. Selain jarang, tayangan itu juga kudu bersaing dengan tayangan sejenis yang tidak bermutu bagi pemirsa, tapi berduit bagi pengelola tv swasta, dan kebal dari pengawasan Komisi Penyiaran Indonesia. Belum lagi kian hari gaya hidup pelajar yang bebas aturan seperti dalam sinetron kian banyak dipraktikkan oleh temen-temen kita. Sehingga semakin besar peluang kita terpengaruh oleh budaya barat jika tidak ditopang dengan keistiqomahan kita. Dan untuk itu, sangat wajar rasanya jika hadir di tempat-tempat pengajian atau sekadar diskusi untuk mengenal Islam lebih dalam menjadi langkah awal untuk meraih predikat kaum terpelajar yang ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt. So, tunggu apa lagi? [hafidz]

(Buletin STUDIA – Edisi 234/Tahun ke-6/7 Maret 2005)