Friday, 22 November 2024, 07:55

Merantau belajar dapat di mana saja. Yang penting pengetahuan harus berbanding lurus dengan peningkatan keimanan


Oleh: Y.Y. Alim

Terlebih dahulu penulis menyampaikan terima kasih sedalam-dalamnya kepada anggota forum Halaqah Lentera Pagi di bawah asuhan Ustadz Syamsi Ali yang telah memberikan banyak masukan dan saran dalam mematangkan tulisan ini.

Tulisan ini sangat sesuai bagi individu muslim yang berhasrat merantau. Ada dua macam proses merantau, yaitu lahiriah dan batiniah. Perantauan lahiriah adalah perpindahan badan dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan hidup tertentu. Orang merantau dari desa ke kota untuk mencari tingkat penghidupan yang layak. Orang merantau ke Jepang untuk mengejar ilmu dan pekerjaan sehingga mampu untuk meningkatkan mutu hidup.

Sedangkan perantauan batiniah adalah proses pembinaan internal yang meningkatkan kualitas kepribadian seseorang. Contohnya adalah proses transformasi dari seorang muslim karena faktor orang tua menjadi seorang muslim karena Allah ta’ala semata.

Saya lulus dari Fakultas Teknik Sipil Perencanaan-ITB dengan spesialisi Perencanaan Kota dan Wilayah. Dari almamater tersebut saya mendapat gelar Insinyur. Saya mengambil master dan doktor di Cornell University bidang regional science, sebuah ilmu kombinasi dari ilmu lingkungan, ilmu ekonomi, dan perencanaan.

Sudah lama saya berniat untuk berdakwah untuk bidang lingkungan hidup. Saat ini saya sedang mengembangkan proposal penelitian untuk masalah lingkungan hidup dan Islam. Harapan saya dengan dana yang ada, dapat membantu perbaikan kondisi lingkungan hidup di tanah air.

Sudah merupakan kelaziman kalau banyak yang menjalankan ibadah agama Islam justru hanya sebagai tradisi, suatu pelaksanaan ritual yang kering dan menjemukan. Tantangan ini terjadi terutama bagi yang terlahir sebagai muslim dan menikmati lantunan adzan ketika datang ke dunia fana ini, atau bagi yang menyatakan diri sebagai muslim untuk kepentingan pendataan kartu tanda penduduk, atau menjadi muslim karena dorongan eksternal lainnya. Sehingga walaupun angka statistik menyatakan bahwa penganut agama Islam di Indonesia lebih dari 80%, tetapi pola hidupnya justru sangat jauh dari ajaran Islam.

Acara perayaan seperti mauludan, lebaran, sekaten, dan seterusnya, lebih diutamakan tetapi pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari justru menjadi tidak relevan. Peningkatan kasus korupsi serta kasus kriminalitas lainnya justru meningkat ketika aktivitas kegiatan ibadah di masjid meningkat, atau ketika makin banyak orang berduyun-duyun aktif di mesjid.

Diperlukan kesadaran yang lebih kuat bagi tiap muslim untuk mencari makna yang lebih mendalam dari pengamalan ajaran Islam. Salah satu jalannya adalah kemauan untuk merantau.

Perantauan lahiriah dapat saja diiringi dengan perantauan batiniah. Contohnya adalah seseorang menjadi aktif mendalami ilmu agama ketika yang bersangkutan mendapat kesempatan belajar program master di Jepang. Seusai sekolah, tidak saja individu ini mengembangkan ilmu dunia, tetapi juga menjadi pembicara utama dalam ceramah-ceramah agama karena pengetahuan yang sangat mendalam tentang Islam.

Di negara multi etnis seperti Buthan, anak-anak SMP sudah diprogramkan untuk merantau tinggal di tempat lain sehingga mereka bisa belajar mengerti adat istiadat suku lain. Begitulah salah satu manfaat merantau, dorongan untuk belajar menjadi lebih tinggi. Inilah sikap utama yang harus dikembangkan oleh perantau, kemauan belajar.

Pada dasarnya bukan tempat di mana kita tinggal, yang penting bagaimana kita berpikir, bersikap, dan bertindak. Manusialah yang menjadi sentral dari segala urusan di muka bumi ini. Karena begitulah maksud Allah SWT mengapa manusia diciptakan di muka bumi ini dan ditegaskan lebih jauh fungsi manusia di alam semesta ini.

Firman Allah dalam surat Al Anbiya 21 : 107, “Tidak kami utus engkau (Muhammad) tetapi untuk menjadi berkah-rahmah-kasih sayang-ampunan untuk alam semesta (Rahmatan lil alamin untuk umat manusia, untuk jin, dan untuk segala bentuk kehidupan lainnya).”

Hendaknya pola pikir orang-orang beriman adalah memupuk keinginan untuk terus belajar yang berpengaruh pada bertambahnya tingkat kebijaksanaan, baik dalam bersikap dan berkata, sehingga sebagai pengikut Rasulullah SAW mampu mendukung misi beliau sebagai “rahmatan lil alamin”: Berkah bagi alam semesta.

Teringat akan sabda Baginda Rasulullah SAW bahwa kita wajib menuntut ilmu walaupun ke negeri China. Walaupun hadist ini dhaif, tetapi semangatnya perlu kita pelihara, yaitu semangat menuntut ilmu untuk kemajuan kita sendiri dan sudah tentu untuk kemajuan umat Islam di alam semesta ini. Sabda Baginda Rasulullah SAW sangat jelas dalam menuntut ilmu: “Barang siapa meninggalkan rumah dalam rangka menuntut ilmu, dia berada di jalan Allah (At Tirmidhi), dan menuntut ilmu adalah wajib hukumnya bagi tiap muslim.” (Ibn Majah dan Al-Bayhaqi).

Hal utama yang perlu dikaji lebih mendalam adalah ilmu yang mana? Karena pada masa Rasulullah hidup, China sudah menjadi pusat perkembangan berbagai ilmu, misalnya administrasi negara karena China? sudah memiliki sistem ujian pegawai negeri, ilmu pengobatan, ilmu perniagaan, ilmu peperangan, dan sumber segala paham kepercayaan/agama, seperti Budhisme, Konfusianisme, dan lainnya. Inilah tugas kita untuk menginterpretasikan semangat dari hadist ini, yaitu untuk belajar, belajar, dan terus belajar.

Dengan semangat ini, sirnalah segala kekhawatiran dan keraguan bahwa penguasa setempat yang tidak seiman akan menzalimi dan merusak akidah seorang muslim. Bahkan akan berkembang ide dan ikhtiar untuk bertahan secara fisik (survive) dan sekaligus menjaga dan meningkatkan keimanan kepada Allah.

Tantangan di Rantau

Amerika adalah tempat berkembang, bertumbuh, dan berselisih rasa toleransi. Khususnya Ithaca sebagai lokasi kampus dari Cornell University, sebuah universitas kelas dunia, dipandang sebagai kota yang cukup liberal dengan tingkat keragaman yang cukup tinggi.

Kebebasan individu selalu dijunjung tinggi sehingga ada saja ruang untuk tiap orang dengan urusan dan tingkah polah masing-masing. Mendiang Professor Kahin, misalnya, adalah orang pertama Amerika yang merekapitulasi sejarah revolusi perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan. Karyanya menjadi rujukan bagi pelajar yang menekuni sejarah maupun ilmu politik.

Sementara itu, Professor Anderson dengan keberaniannya mengungkapkan versi lain dari peristiwa G-30-S PKI sehingga menjadi orang yang terkena “persona non-grata” di Indonesia.

Ada lagi alumni Cornell asal Indonesia yang gencar mempromosikan hubungan sesama jenis – gay and lesbianisme -, atau juga alumni yang terkena hukuman pidana karena kasus korupsi, dan sebagainya. Pendek kata di Amerika kita bisa menjadi individu yang bermacam-macam, termasuk berusaha keras melaksanakan fungsinya sebagai muslim, cerminan atas janji diri sendiri kepada Sang Khalik untuk selalu menyembah-Nya tanpa rasa resah dan susah.

Secara demografis warga muslim di Ithaca juga sangat beragam. Jumlah terbanyak dari Mesir, sedangkan dari Indonesia bisa dihitung dengan jari. Begitu beragam umat muslim yang tinggal di Ithaca, bukan mustahil seseorang akan berjumpa dengan seorang muslim asal negara paska keruntuhan Uni Soviet, seperti Azerbaijan sebagai wilayah pertemuan ras Kaukasus dan Mongolia.

Para mahasiswa yang masih berusia belia banyak sekali yang aktif untuk lebih mendalami Islam dengan kriteria cukup sederhana, siapa yang berpengetahuan dialah yang akan menjadi tempat untuk belajar. Namun banyak yang lupa bahwa ilmu, iman, dan ikhsan adalah satu kesatuan utuh atau “one package deal” yang akan menjadikan segala amalan kita menunjukkan ciri khas amalan seorang muslim.

Jelas bahwa penguasaan ilmu tidak cukup. Banyak yang sudah tinggi ilmunya, merasa sudah beriman karena terus salat di Mesjid, sering memberi ceramah, atau mampu menjawab tiap pertanyaan umat, dan seterusnya, tetapi amalan perbuatannya belum tecermin dari sikap sehari-hari.

Seorang tokoh Islam dari Indonesia pernah datang ke Ithaca NY dan ketika diajak salat, karena sudah waktunya, menyahut ajakan tersebut dengan berkata, “gak perlu salat kok, sudah dijamin masuk surga.”

Padahal sudah menjadi pengetahuan umum bahwa hanya Rasulullah SAW yang mendapat jaminan Allah masuk surga, namun banyak para sahabat kala itu menyaksikan sendiri bahwa Rasulullah justru tidak pernah berhenti beribadat dan mohon ampun kepada Allah SWT. Rasulullah sendiri bersabda, berbohong walaupun dalam bentuk kelakar adalah perbuatan yang harus dijauhi, karena mukmin harus jujur setiap saat.

Jelas bahwa kriteria memiliki ilmu pengetahuan saja tidak cukup. Banyak yang menguasai bahasa Arab dan mengerti arti Al-Quran, namun kemampuan tersebut tidak menuntun kepada keimanan kepada Allah SWT karena memandang pengetahuan tentang Al-Quran adalah seperti ilmu pengetahuan lainnya.

Dengan kondisi seperti inilah, perlu kewaspadaan tinggi dalam menentukan seseorang untuk menjadi tempat menimba ilmu.

Tafsir Al-Quran

Sekitar tahun 2006, setiap selesai salat Jumat di tempat salat di Kampus Cornell University diumumkan adanya pelajaran tafsir Al-Quran di bawah bimbingan seorang Profesor bidang “Near Eastern Study“, Cornell University. Profesor ini adalah orang Amerika, kulit putih, dan bukan muslim.

Kehadiran profesor ini untuk mengajarkan tafsir Al-Quran ini untuk kalangan muslim di Cornell adalah atas rekomendasi dari seorang profesor muslim keturunan India yang juga mengajar di bidang Near Eastern Study.

Dengan semangat “open doors, open mind, and open heart” sebagai moto Cornell University, sudah tentu para mahasiswa muslim bersemangat mempromosikan profesor nonmuslim ini untuk mengajar tafsir Al-Quran. Di samping pengumuman melalui lisan langsung setelah salat Jumat, juga disebarkan pengumuman lewat e-mail.

Sudah tentu pengumuman ini menyebar terutama di kalangan muslim di Ithaca. Dan tampaknya banyak yang tertarik untuk bergabung, namun tidak ada yang menanyakan apa tendensi orang ini untuk mengajarkan tafsir Al-Quran. Penyebaran ilmu yang dapat dipertanggung-jawabkan seharusnya melalui para ahlinya, dan di negeri Amerika yang tertib ini semuanya memakai aturan, seperti adanya lisensi untuk praktek dokter ataupun pengacara.

Tetapi begitulah yang terjadi, karena kekaguman begitu besar yang diberikan kepada orang-orang Barat, banyak umat Islam yang justru belajar ilmu agama kepada kaum nonmuslim. Hal yang mengherankan adalah tak satu pun dari jamaah yang tergerak untuk menanyakan lebih lanjut soal program belajar ilmu tafsir Al-Quran ini.

Setelah dua bulan program tersebut berlangsung tanpa adanya pertanyaan seputar keabsahan pengajar dalam tafsir Al-Quran, penulis melakukan initiatif untuk menanyakan kepada penyelenggara kegiatan belajar tersebut. Pertanyaannya sederhana, “apa tujuan belajar tafsir dan apakah pengajar tafsir Al-Quran tersebut muslim.”

Seperti yang telah diduga, jawabannya bahwa pelajaran tafsir ini untuk lebih memahami isi Al-Quran sehingga kita lebih dekat kepada Allah SWT dan memang pengajarnya bukan muslim, tetapi mempunyai pengetahuan dan keahlian yang mendalam tentang Bahasa Arab.

Kemudian disampaikan logika sederhana, yaitu bagaimana seorang nonmuslim akan membantu seorang muslim untuk memahami Al-Quran, terutama dalam rangka meningkatkan ketauhidan, kalau sang pengajar tidak percaya adanya Allah, tidak percaya bahwa Al-Quran adalah kumpulan firman Allah agar kita hambanya beriman dan takwa kepada-Nya. Dan penulis juga menanyakan apakah majelis syuro (e-board) sudah ditanyakan pandangannya tentang hal ini.

Karena tidak mendapatkan tanggapan balik, kemudian penulis menanyakan hal ini kepada anggota majelis syuro yang penulis telah kenal baik. Penulis menyampaikan bahwa Al- Quran bukan sebagai buku bacaan biasa (seperti firman Allah dalam Al Baqarah ayat 2). ?Kemudian timbullah pemikiran dan diskusi, banyak yang baru sadar duduk masalahnya, karena banyak yang menduga bahwa pengajar tafsir Al-Quran tersebut dilakukan oleh orang muslim (profesor near eastern study yang muslim tersebut). Padahal tidak. Akhirnya diputuskan untuk menghapus program tersebut.

Memang begitu besar tantangan belajar dan merantau ini. Sebagai muslim maka pedomannya sudah jelas. Menurut tafsir dari Ibn Katsir, kebenaran hakiki hanya milik Allah dan untuk mencapai kebenaran hakiki tersebut seorang muslim harus memenuhi syarat muttaqin, seperti Firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 2, “Al Qur’an (kitab) ini tidak ada keraguan padanya adalah petunjuk bagi mereka yang bertakwa (Muttaqin).”

Muttaqun (jamak) ini tidak sepandan dengan “God fearing people” atau orang-orang yang takut kepada Allah saja. Karena takut itu hanya satu unsur saja. Konsep yang holistik dari takwa adalah seorang muslim yang benar-benar menjunjung ajaran tauhid dengan landasan ketaatan, rasa cinta, tunduk, dan takut kepada Allah sehingga selalu melakukan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Kemudian bertekad untuk selalu berbuat baik dan mengumpulkan pahala karena Allah semata. Dengan demikian atribut ketakwaan ini harus melekat pada pribadi seorang muslim sebagai berikut:

1. Takut kepada Allah di mana rasa takwa ini menjadi basis dari rasa kebijaksanaan (wisdom).

2. Menahan atau menjaga lidah, tangan, dan hati dari segala perbuatan jahat.

3. Bertindak dengan menjunjung kebenaran (righteousness), tunduk dan berbakti kepada Allah, dan memelihara perilaku yang baik.

Perjalanan manusia (alam pikiran manusia) untuk mencapai kebenaran hakiki akan menemui banyak rintangan. Oleh karena itu ketakwaan di samping dapat dianggap sebagai ikhtiar manusia itu sendiri, tetapi juga hidayah dari Allah. Banyak sekali yang terantuk, bahkan terjerambab tanpa mampu bangkit kembali dalam mengarungi perjalanan menuju kebenaran hakiki.

The Wall Street Journal tanggal 15 November 2008 melaporkan bahwa seorang Jerman bernama Sven Kalisch menjadi pemeluk Islam sejak usia 15 tahun. Melaksanakan ibadah dengan rajin dan menolak bersalaman tangan dengan wanita (bukan muhrim). Ketika menjadi pemeluk Islam, ditambahkan namanya menjadi Muhammad Sven Kalisch.

Dalam usia 38 tahun Kalisch adalah orang Jerman asli pertama yang menjadi Profesor studi Islam di Munster University Germany. Setahun lalu ketika berusia 42 tahun, dia menyatakan bahwa Muhammad S.A.W adalah tokoh fiktif dan dia juga menyatakan bahwa Allah tidak menulis firmannya sehingga tidak mengakui eksistensi Al-Quran.

Jelaslah bahwa faktor rasionalitas saja tidak bisa diandalkan dalam mencari kebenaran. Sudah menjadi kewajiban untuk lebih mengetahui lebih jauh lagi tentang kebenaran hakiki ini sebagai bekal belajar dan merantau.

Tolok ukurnya sangat sederhana, apabila makin tinggi ilmu yang didapat dan makin bertambah iman, serta membentuk karakter yang baik (ikhsan) maka perjalanan manusia tersebut berada di jalur yang benar.

Dalam hal ini K.H. Hasyim Muzadi telah memaparkan dengan gamblang tentang hal kebenaran ini di Mesjid Al Hikmah, New York, beberapa waktu lalu. Tokoh NU ini secara gamblang menjelaskan “concept mapping” ?mengenai ilmu, ibadah, dan pembentukan karakter.

Ilmu adalah unit informasi sebagai makanan otak. Kita jadi tahu apa yang sebelumnya kita tidak tahu, atau bisa apa dari sebelumnya kita tidak bisa. Peningkatan ilmu seharusnya berbanding lurus dengan peningkatan ibadah dan pada akhirnya membentuk karakter manusia yang baik.

Merujuk pada firman Allah dalam surat Al Haqqah 48-52.? “Dan sesungguhnya Al Qur’an itu pedoman mutlak bagi orang-orang yang bertakwa. Dan sesungguhnya kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan (nya). Dan sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir (di akhirat). Dan sesungguhnya Al Qur’an itu kebenaran mutlak yang diyakini. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang Maha Besar.”

Demikianlah dalam alam pikiran manusia, hal ini terbagi menjadi tiga tahap derajat kebenaran: Ain-ul Yaqin, ‘Ilm-ul-Yaqin, dan Haqq-ul-Yaqin.

Mengetahui persyaratan untuk mencapai kebenaran dan memahami tingkat kebenaran dalam alam pikiran manusia tidaklah cukup sebagai bekal untuk belajar dan merantau. Perlu diketahui rintangan apakah yang akan membentur dan menghancurkan upaya manusia tersebut. Selalu ada saja upaya dari pihak yang tidak beriman kepada Allah untuk mengajak bergabung dengan mereka, seperti dalam firman Allah di Al Baqarah, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS: Al-Baqarah: 120).

Nyata benar gerakan kaum orientalis untuk mematahkan keimanan dan membingungkan kaum muslimin sehingga mereka menjadi golongan yang tidak mempercayai dan patuh kepada Allah SWT. Sementara itu kaum muslimin sendiri tidak berdisiplin, pemimpin pemerintahnya justru berlaku zalim, dan tokoh agamanya banyak menanamkan rasa kebencian sehingga tidak tampak misi Islam sebagai pembawa

rahmat bagi alam semesta.

Banyak sekali beredar teori konspirasi yang menunjukkan kerasnya usaha untuk mengajak ?tidak beriman kepada Allah dengan cara menyesatkan dan menjatuhkan umat muslim. Salah satu catatan sejarah Indonesia adalah usaha Snouck Hugronje yang pura-pura menjadi muslim.

Dari catatan sejarah Indonesia dapat kita pelajari bahwa Snouck Hugronje sendiri pergi ke Mekah dan dianggap muslim, sehingga menghancurkan perjuangan kemerdekaan orang Aceh. Orang Aceh pada masa itu sederhana saja pola pikirnya. Seseorang yang telah mengunjungi kota suci Mekah, sudah tentu untuk menunaikan ibadah haji. Seseorang yang telah menunaikan ibadah haji sudah tentu muslim dan

sudah tentu dalam pengetahuan agamanya.

Banyak orang Aceh menduga bahwa Snouck Hughronje adalah seorang yang termasuk segolongan dengan mereka dan tinggi ilmu agamanya. Padahal tingginya tingkat ilmu tidak menjamin tingkat keimanan seseorang, apalagi ketahuidannya.

Isi kepala dan hati Snouck Hughronye antara lain adalah bagaimana mengalahkan orang Aceh yang sangat taat kepada Allah dan telah melemahkan kekuatan militer Belanda, serta menguras sumber daya ekonominya.

Kasus pengajaran ilmu tafsir Al-Quran di Ithaca New York adalah contoh lain kegigihan orang yang tidak percaya kepada Allah untuk membelokkan keimanan kaum muslimin. Sebagai contoh pengajar tersebut memberikan definisi “kafir” yang berbeda. Dikatakan bahwa orang kafir adalah orang yang belum mandi, belum mensucikan dirinya. Padahal firman Allah telah jelas mengenai definisi orang kafir (Al Baqarah : 6), Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman.”

Kafir atau kuffar (jamak), yaitu orang yang tidak percaya kepada Allah, utusan, malaikat, kitab, dan hari kiamat. Dari catatan lain juga didapatkan bahwa Kafara, kufr, kafir adalah orang yang terus-menerus menolak Allah, sehingga walaupun petunjuk Allah diberikan secara terus-menerus dan kesabaran, tetapi tidak terbuka hati orang tersebut untuk menerima firman Allah.

Kalau dari segi Bahasa Arab sendiri kafara adalah orang yang menolak atau orang yang ingkar. Di sinilah kegigihan orang kafir bahwa kata-kata? dibalikkan penggunaannya oleh mereka. Contohnya di beberapa negara di benua Afrika, seperti Zimbwabwe (dulu Rodhesia), Sierra Leone, dan lainnya, kata keffa (berasal dari kafir) adalah panggilan orang kulit putih terhadap orang kulit hitam. Panggilan yang menghinakan ini kerap digunakan karena sifat pembangkangan orang kulit hitam terhadap kulit putih.

Sudah jelas bahwa untuk mencapai kebenaran hakiki dari Allah SWT, sebaiknya belajar Al-Quran, terutama tafsirnya, dari orang-orang yang kadar keimanannya tidak diragukan. Karena betapa pun dalamnya ilmu seseorang, kalau tidak percaya kepada Allah, pengajaran itu justru akan menyesatkan. Oleh karena itu perlu secara cermat memilih kepada siapa kita belajar Al-Quran.

Begitu gigihnya orang-orang kafir itu menolak firman Allah sehingga bagaimanapun usaha dari seorang muslim, akan selalu dikembalikan kepada upaya untuk menyesatkan muslim. Oleh karena itu larangan Allah sangat jelas untuk tidak mengikuti mereka. Firman Allah dalam Al-Baqarah : 145, “Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang lalim.”

Perkembangan teknologi informasi serta kemudahan mobilitas antara negara memberikan peluang bagi tiap orang di dunia ini untuk bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain. Dengan kualifikasi tahap kebenaran ain-ul-yaqin dan ilm-ul-yaqin, banyak kaum muslimin yang berdecak kagum atas kemajuan ilmu dan pembangunan fisik dari negara-negara maju.

Bayangkan saja selama sejarah penghargaan Nobel, muslimin/muslimah penerima hadiah tersebut bisa dihitung dengan jari, karena jumlahnya Cuma tujuh! Kenyataan ini membuat kekaguman berlebihan dari kaum muslimin terutama para tokoh pimpinannya kepada para ahli nonmuslim. Masyarakat muslimin silau akan gemerlap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sekarang dikuasai para ahli nonmuslim. Sehingga banyak sekali para ahli nonmuslim ini justru menjadi rujukan bagi kaum muslimin untuk segala aspek kehidupan.

Penutup

Merantau dapat saja terjadi dalam bentuk lahiriah saja atau bentuk batiniah (alam pikiran), dan atau kedua-keduanya, yaitu merantau secara fisik dan batin (perubahan pola pikir positif). Banyak sekali hikmah yang didapat dari merantau, paling tidak dalam bentuk alam pikiran. Merantau dari alam pikiran adalah sebagaimana para muslim keturunan, karena perkawinan, dan seterusnya, menuju kepada alam pikiran menjadi muslim karena Allah semata.

Al-Quran adalah pedoman hidup kita untuk mencapai haqq-ul-yaqin. Untuk itu kita perlu belajar Al-Quran dari orang-orang yang betul-betulberiman. Namun karena pertukaran ilmu serta perkembangan cabang-cabang ilmu tiap universitas, dapat saja Al-Quran menjadi subjek dari studi. Apabila Al-Quran sudah menjadi bagian dari kurikulum pelajaran dan diajarkan bukan oleh mukmin, kita harus mendudukan proses belajar itu sebagai studi literatur. Bukan untuk meningkatkan tauhid, walaupun hal itu sulit sekali.

Tempat tujuan belajar dan merantau dapat di mana saja, yang penting harus disadari bahwa peningkatan ilmu pengetahuan harus berbanding lurus dengan peningkatan keimanan dan perwujudan menjadi insan yang ikhsan. Allah maha benar dan maha mengetahui.

Ithaca, 11 Mei 2009. (www.hidayatullah.com).

1 thought on “Agama dan Bekal Merantau

Comments are closed.