Thursday, 21 November 2024, 23:55

Oleh Kang Hari Mukti

Berada di puncak popularitas seringkali membuat orang lupa diri. Bahkan menganggap orang lain itu remeh. Nggak layak duduk selevel dengan dirinya yang sudah berada di awang-awang. Inilah awal tumbuhnya penyakit hati bernama sombong. Orang bijak mengatakan, bahwa perang yang tidak ada habisnya adalah perang melawan diri sendiri. Musuh yang paling sulit ditaklukkan adalah diri sendiri.

Saya punya pengalaman pribadi soal ini. Saat saya menjadi artis. Bayangkan, saya dulu merasa malu kalau naik mobil yang biasa-biasa aja. Untuk menutupi rasa malu dan tentunya untuk jaga gengsi di hadapan teman-teman sesama artis, termasuk di depan fans, saya terpaksa harus menyewa mobil mewah untuk show. Dalam hati saya ingin menunjukkan kepada mereka bahwa saya bukan artis murahan. Bahkan ingin menyampaikan pesan bahwa saya artis ngetop dan banyak duit.

Itu berlangsung cukup lama. Dan saya tahu betul bahwa ternyata teman-teman sesama artis juga melakukan hal yang sama seperti saya. Sombong. Keinginan untuk pamer harta selalu saja muncul. Sekaligus menaikkan harga diri. Sebab, dengan tunggangan dan tampilan yang seperti itu, masyarakat akan menilai dan mengukur seberapa besar harga diri kita sebagai artis. Ujungnya, masyarakat akan menganggap kita sebagai orang yang layak dibayar dengan harga mahal. Duit lagi urusannya memang.

Saat itu saya merasa harus pol-polan. Bila perlu, biar tekor asal kesohor. Perbuatan saya yang seperti itu, sangat boleh jadi makin ngomporin artis lain untuk tampil lebih jor-joran juga. Sebab, saya merasakan sendiri, bahwa saya juga terbawa pergaulan artis lain. Foya-foya selepas show jadi tradisi. Teman-teman semua dipanggil dan mengadakan pesta. Uang jutaan rupiah hasil manggung seringkali ludes dalam sekejap. Dihamburkan bersama teman-teman dalam pesta kemenangan. Harapannya, mereka menilai saya artis hebat.

Setelah saya menyadari semua kekeliruan itu, saya tobat dan tidak mau melakukannya lagi. Sebab, jika saya berpikir lebih jernih lagi, ternyata yang saya lakukan justru sia-sia dan banyak maksiat. Saya terus merenungi perjalanan hidup saya. Ternyata, meski saya sudah berada di puncak karir, saya merasa tidak ada kebahagiaan di dunia artis. Banyak hal yang menyalahi hati nurani saya.

Memang benar, tanpa sadar banyak orang hidup dalam tekanan. Bukan karena beban terlalu berat; atau kekuatan tak memadai. Namun, karena tidak mau berterus terang. Hidup dalam kepura-puraan tak memberikan kenyamanan. Itu sebabnya, bersikaplah apa adanya. Bila kamu kesulitan, jangan tolak bantuan. Sikap terus terang membuka jalan bagi penerimaan orang lain. Jangan berpura-pura dalam hidup ini, apalagi jika harus sombong untuk menjaga gengsi kita.

Sobat muda, kesombongan memang membuat manusia menjadi anti kebenaran. Merasa dirinya yang paling sempurna dan paling jago. Dan memang, biasanya itu muncul saat kita berada di puncak keberhasilan kita. Misalnya, ketika kita ngetop dan lebih istimewa dalam segala hal; karir, kecerdasan, kekayaan, dan penampilan fisik. Sangat boleh jadi kita merasa sombong manakala orang lain tidak ada yang bisa menyamai apa yang kita miliki.

Firman Allah Swt.: “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (TQS an-Nisaa’ [4]: 36)[]

[pernah dimuat di Majalah PERMATA, edisi September 2002]

1 thought on “Penyakit itu Bernama Sombong

  1. bila kita ingin tahu manisnya gula, maka kita harus tahu pahitnya empedu..beruntunglah orang2 yg mengerti tentang rasa pahit kemudian mendapatkan manisnya gula, lalu senang dan konsistance dengan kemanisannya. dan celakalah orang yg tahu keduanya, namun terus menetap bersama kepahitan empedu..

Comments are closed.