Monday, 25 November 2024, 13:34

Jumat (15/7) petang lalu, penduduk Desa Cikiwul, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat, dikagetkan dengan peristiwa bunuh diri seorang siswi SMP 10 Bantar Gebang. Vivi Kusrini nekat mengakhiri hidup dengan menggantung diri memakai seutas tali di kamar mandi rumahnya. Menurut penuturan sang Ayah, mungkin alasan vivi gantung diri karena malu sering diejek teman sekolahnya sebagai anak tukang bubur. Apalagi menjelang tahun ajaran baru ini Vivi belum punya seragam sekolah. (liputan6.com, 16/07/2005)

Kejadian serupa juga menimpa Oman, seorang pelajar kelas enam Sekolah Dasar Karang Asih 04, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Jumat (4/6/2004), yang nekat meminum racun tikus karena tidak mempunyai uang untuk membayar biaya ujian akhir nasional (UAN) sebesar seratus ribu rupiah. Kasus Oman ini mengingatkan kembali kasus bunuh diri yang dilakukan Haryanto, murid SD Megeri Sanding IV Garut, Jawa Barat, pada tahun 2003. Hariyanto juga mencoba bunuh diri karena tidak mampu membayar uang ekstrakurikuler sebesar Rp 2.500 (liputan6.com, 05/06/2004)

Parahnya, gejala bunuh diri yang dilakukan pelajar juga merembet pada anak usia prasekolah. Diduga gara-gara dimarahi ibunya karena tidak mau disuruh mandi, seorang bocah di Blora, Sabtu (14/5) nekad bunuh diri. Renaldi Sembiring (5,9 tahun), pelajar Taman Kanak-Kanak (TK) Pertiwi, Kelurahan Tempelen Kecamatan/Kota Blora Jawa Tengah, ditemukan tergantung di tali plastik jemuran yang berada di kayu penyangga atap dalam ruangan kosong di rumah yang berlokasi di komplek Rumah Dinas Hakim PN Blora, Kelurahan Tempelen Blora. (Republika, 15/05/2005)

Sobat, maraknya kasus bunuh diri yang menimpa pelajar, bikin hati kita prihatin bin terenyuh. Prihatin, lantaran mereka selaku pelajar adalah generasi harapan masa depan negeri ini. Dan tentu terenyuh mengingat usia mereka yang masih belia. Sedih rasanya menyaksikan satu per satu dari mereka kudu mengakhiri hidupnya dengan tragis. Bukannya menggantungkan cita-cita setinggi langit, malah gantung diri pake seutas tali. Piye iki?

Kenapa mesti bunuh diri?
Kalo kita perhatikan (ciee kayak pengamat politik aja), kayaknya ada misspersepsi di kalangan anak (terutama pelajar) tentang cara mengatasi masalah yang dihadapinya. Mereka menganggap bunuh diri sebagai jalan keluar yang praktis dan mudah untuk mengakhiri masalah. Atau bisa juga sebagai ungkapan dari rasa kecewanya. Nggak pake mikir or nyadar kalo bunuh diri itu termasuk perbuatan dosa besar dan bakal dapet siksa di akhirat.

Allah Swt. sudah menjelaskan tentang larangan untuk melakukan bunuh diri. Seperti dalam salah satu ayat dalam al-Quran:

?ˆ???„?§?? ?????‚?’?????„???ˆ?§ ?£???†?’?????³???ƒ???…?’ ?¥???†?‘?? ?§?„?„?‘???‡?? ?ƒ???§?†?? ?¨???ƒ???…?’ ?±???­?????…?‹?§
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.� (QS an-Nisaa` [4]: 29)

Rasulullah saw. juga bersabda dalam sebuah hadis: “Barangsiapa yang mencekik lehernya, ia akan mencekik lehernya sendiri di neraka. Dan barang siapa yang menusuk dirinya, ia akan menusuk dirinya sendiri di neraka.� [HR Bukhari dan Muslim]

Dari beberapa kejadian di atas, ada tiga motif yang umumnya memancing para pelajar itu berbuat nekat melakukan bunuh diri.

Pertama, kesulitan ekonomi. Ketika biaya pendidikan di negeri kita kian mahal, para pelajar itu kudu berhadapan dengan ekonomi keluarga yang pas-pasan. Padahal orang tua mereka udah banting tulang plus peras keringat biar anaknya bisa mengenyam pendidikan formal. Tapi ternyata, bisa sekolah aja belon cukup. Sebab mereka kudu mengeluarkan kocek lagi untuk biaya ujian, seragam, buku, ekstra kulikuler dan lainnya. Walhasil, rasa malu van minder dengan mudah menghinggapi pelajar yang tak bisa memenuhi tuntutan biaya pendidikan. Kalo nggak kuat iman, nasibnya bisa ngikutin jejak Vivi atau Oman. Gaswat banget kan?

Kedua, hubungan keluarga yang kurang harmonis. Masih ada orang tua atau sang kakak mengekspresikan rasa sayangnya kepada adik dengan kemarahan ketika berselisih. Seolah-olah yang paling muda selalu salah. Sang adik masih dianggap anak kecil yang nggak punya hak untuk bicara atau membela diri. Parahnya, ungkapan kekecewaan seorang adik kepada kakaknya atau kepada orang tua sering nggak dapet tempat dalam keluarga. Anak jadi ngerasa sendiri. Tak ada yang memperhatikan. Akhirnya, mereka pun mengambil keputusan �pensiun dini’ dari kehidupan dunia. Seperti yang terjadi pada Priyo atau Renaldi Sembiring.

Ketiga, dampak negatif pemberitaan media. Menurut Wakil Ketua PW Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jabar, Ir. H. Zulkarnaen, media massa baik cetak maupun elektronik juga ikut “menyumbangkan� dampak negatif, karena anak-anak belum memiliki filter. “Seperti kasus bunuh diri Haryanto (“PR�, 13/8-2003) yang diberitakan besar-besaran oleh media massa dengan banjirnya bantuan dari pejabat sampai artis. Anak-anak yang tidak paham meyakini enaknya bunuh diri sebab mendapat hadiah uang cukup banyak.�

Padahal seharusnya peran media massa bisa lebih mengedepankan unsur edukasi kepada masyarakat. Bukan menginspirasi supaya berbuat yang sama. Sepertinya nggak ada standar nilai yang dipake media untuk menentukan perbuatan tersebut salah atau benar. Sehingga opini di tengah masyarakat dibiarkan mengambang atau diarahkan untuk setuju dan diam terhadap kemaksiatan yang terjadi di depan mata. Parahnya, di era kapitalis kayak gini, standar nilai yang dipake pihak media adalah rating tinggi dan membanjirnya iklan. Unsur pendidikan? Dipending aja dulu kali ya…!

Hidup itu indah sobat…
Sobat, dalam menjalani kehidupan ini, berbagai tuntutan kebutuhan hidup datang silih berganti nggak kenal situasi dan kondisi. Sementara kemampuan yang kita miliki terbatas alias nggak stabil. Ketika tuntutan kebutuhan hidup tak sejalan dengan kemampuan, timbullah permasalahan. Ini yang bikin kita ngerasa hidup itu begitu menekan, sulit, dan penuh dengan penderitaan (hihihi..kaya lirik lagu dangdut). Sampe-sampe kita kalungkan predikat musibah untuk setiap masalah yang menghampiri kita. Tepatkah predikat itu?

Nggak sobat. Rugi kalo kita anggap sebuah masalah itu adalah musibah. Segenap jiwa raga, waktu, pikiran, dan tenaga kita bakal terkuras habis untuk menghindari masalah. Akibatnya, panca indera kita seolah mati rasa untuk menikmati segala anugerah yang Allah berikan dan merasakan hal-hal yang menarik dalam hidup kita. Padahal mereka yang tergolek lemah di rumah sakit pengen cepet sembuh biar bisa menikmati hangatnya sinar mentari pagi. Malah ada yang kudu bayar ratusan ribu untuk menghirup udara segar dari tabung oksigen. Sementara kita bisa mendapatkannya dengan cuma-cuma setiap pagi. Masihkah kita ngerasa hidup itu sulit?

Kesulitan hidup adalah bagian dari kenikmatan yang Allah berikan pada kita. Makanya nikmatilah kesulitan itu dengan selalu berpikir positif. Dengan berpikir positif, mata kita akan lebih terbuka, hati kita akan lebih peka, dan pikiran kita lebih leluasa memandang sebuah permasalahan dari berbagai sisi. Dan ternyata, Allah nggak akan pernah ngasih beban hidup di luar kemampuan kita. Harapan ini yang harus kita pegang. Agar kita punya alasan yang kuat untuk tetap hidup demi meraih ridho Allah dalam kehidupan dunia.

Coba sesekali kita ikut prosesi perlakuan terhadap jenazah. Mulai dari memandikan, mengkafani, mensholatkan, sampe menguburkan. Kita bisa lihat, orang yang sudah wafat nggak bisa apa-apa (apa pernah dengar jenazah bisa mandi sendiri?). Pintu taubat dan ladang pahala sudah tertutup baginya. Ini menunjukkan betapa berharganya hidup kita. Karena kita masih punya kesempatan untuk bertobat, berburu ridho Allah, dan mensyukuri kenikmatan yang diberikanNya. Nikmat iman, Islam, sehat, sakit, bahagia, atau sedih. Ini yang bikin hidup kita indah.

Keindahan hidup nggak diukur dari panjang-pendeknya umur atau kaya-miskinnya kita. Tapi dilihat dari usaha kita mengisi hidup. Pilihannya cuma dua, dengan ketaatan atau kemaksiatan. Sebab keindahan hidup, tidak seharusnya hanya kita rasakan di dunia saja. Tapi juga di akhirat. Dan ketaatan terhadap aturan Allah Swt. dalam menjalani hidup menjadi kunci untuk mendapatkan keindahan hidup dunia dan akhirat. Makanya, bangkit dan hadapilah setiap tantangan hidup dengan berpegang pada aturan Islam. Percaya deh, kita pasti bisa melaluinya. Terlalu berharga hidup ini jika harus diakhiri dengan cara bunuh diri. Selain dosa, juga sia-sia. Double kan ruginya?

Jangan sampai terulang lagi
Bener sobat, harus ada peran serta dari negara, sekolah, keluarga, dan remaja itu sendiri agar kasus bunuh diri yang dilakukan para pelajar seperti di atas tidak terulang lagi.

Negara dalam hal ini sangat berkepentingan untuk memberikan jaminan kesejahteraan, terutama pada rakyat miskin. Jaminan itu bisa berupa terpenuhinya kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan); biaya pendidikan dan ongkos kesehatan yang murah atau gratis. Sehingga alasan ekonomi tidak lagi memicu orang untuk melakukan aksi bunuh diri. Selain itu, negara juga kudu rajin memberikan “siraman rohani� lewat program yang benar di media massa, sehingga mental masyarakat kuat dan tak mudah putus asa dalam menjalani kehidupan ini. Kondisi ini bakal mudah terpenuhi jika negara pake aturan Islam untuk ngatur rakyatnya. Kalo sekarang? Lihat aja hasil buruk akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Betul?

Pihak sekolah tidak seharusnya mengarahkan siswa hanya untuk mengejar nilai mata pelajaran. Sementara perkembangan jiwa dan psikologinya dibiarkan tandus. Akibatnya, seperti dituturkan Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, siswa tak punya life skills untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata. Sehingga jiwanya rapuh dan mudah terguncang. Adanya pengajian yang diagendakan sekolah, bisa menjadi alternatif untuk menyokong emotional intelegencia yang diperlukan siswa untuk memupuk perkembangan jiwanya ke arah positif.

Keluarga, idealnya bisa menjadi �katup pengaman’ bagi para pelajar dalam menghadapi masalah sosialnya. Jika ada masalah di sekolah atau dengan temannya, ia bisa memperoleh solusi di keluarganya. Pembicaraan dari hati ke hati antara orang tua dan anak atau antar anggota keluarga, bisa membantu mencairkan kekecewaan yang dialami anak serta membesarkan hatinya. Sehingga bunuh diri tidak menjadi pilihan mereka dalam menyelesaikan masalahnya.

Dan yang terakhir, mungkin temen remaja kurang mendapatkan dasar ilmu agama yang bisa �memaksa’ mereka untuk selalu berpikir akan pahala dan dosa sebelum berbuat sesuatu. Padahal ilmu agama (Islam) menjadi benteng terakhir yang dimiliki kita dalam menghadapi setiap masalah agar tidak salah jalan. Dan emang udah seharusnya setiap muslim giat mengkaji Islam lebih dalam dan lebih detil dengan serius dan penuh semangat.

Tujuannya? Untuk mendapatkan petunjuk hidup yang jelas dan benar. Sehingga, dalam keadaan suka dan duka, ia akan selalu ingat kepada Allah dan jalan keluar yang ditawarkan Islam. Nggak akan milih jalan lain yang belum jelas (apalagi nggak benar). Sebab, dengan menempuh jalan yang benar, kita merasa tentram dan aman. Nggak was-was lagi menjalani hidup yang penuh â€?kejutan’ ini.? 

Oke deh, daripada bunuh diri, mending bunuh tuh rasa malas yang ngendon dalam diri kita pas mau ikut pengajian. Berani? Siapa takut! [Hafidz]

(Buletin STUDIA – Edisi 255/Tahun ke-6/1 Agustus 2005)