Hehehe… akhirnya kudu memplesetkan juga judul lagu Mbak Dewi Yull dan Om Broery jadi judul bahasan buletin kesayangan kita pekan ini. Judul lagu beliau-beliau adalah: Jangan Ada Dusta di Antara Kita. Tapi kita nggak terlalu parah nyonteknya, abis P Project (apa Project Pop ya? CMIIW—Correct Me If I’m Wrong—deh) juga pernah bikin parodi sinetron yang punya judul (hampir) sama dengan lagu tersebut, judulnya: “Jangan Ada Vespa di Antara Kitaâ€? sambil digambarkan ada vespa lagi ngejogrok di tengah sepasang suami-istri yang lagi tidur di atas ranjang. Yee… ini kok jadi ngelantur kemana-mana ya?
Oke deh, edisi pekan ini kita mo bahas tentang �rasa benci’. Rasa benci yang mungkin saja bersemayam di antara kita. Lebih khusus lagi dengan sesama muslim. Utamanya kalo udah hidup bersama. Misalnya, kayak di sekolah tuh. Antara anak Rohis dengan anak OSIS terlibat perang dingin karena beda pendapat dan mungkin juga kepentingan. Lebih lucu lagi kalo sesama muslim di organisasi keislaman sekolah pada �berantem’. Kadang gara-garanya cuma �beda pendapat’ yang sifatnya masih bisa ditolerir, gitu. Karena nggak bisa mengendalikan emosi, akhirnya saling membenci (idih, malu atuh ya?)
Hmm.. jadi inget lagunya Naif neh, yang judulnya Air dan Api. Mau tahu liriknya? Ini dia: “Apa mauku, apa maumu. Selalu saja menjadi satu masalah yang tak kunjung henti. Bukan maksudku, bukan maksudmu. Untuk selalu meributkan hal yang itu-itu saja. Mengapa kita saling membenci, awalnya kita selalu memberi. Apakah mungkin hati yang murni, sudah cukup berarti. Ataukah kita belum mencoba memberi waktu pada logika. Jangan seperti selama ini. Hidup bagaikan air dan api.�
Sobat muda muslim, hidup bersama pasti deh ada gesekan. Sekecil apa pun gesekan itu. Gaya geseknya tak bernilai “nol�. Ini wajar kok. Karena hidup bersama kan mengumpulkan banyak orang dengan banyak karakter dan (mungkin) juga kepentingan. Jadi, nggak usah darah tinggi dulu menyikapi kondisi �gesekan’ dengan temen-temen di sekolah. Oke?
Seorang pembaca buletin ini pernah cerita kalo dirinya pernah ditegur oleh temen-temen rohis di sekolahnya karena menyebarkan buletin ini di sekolah. Kenapa ditegur? Alasannya juga nggak bisa dipertanggungjawabkan. Dari kabar yang sampe ke kita-kita, katanya buletin ini ditulis oleh orang-orang yang punya ide dari kelompok dakwah tertentu. Yang, mungkin saja berbeda pendapat atau berbeda kepentingan dengan program rohis di sekolah teman kita itu. Hasilnya? Memang bener-bener dilarang disebarin. Weh!
Ini bukan cerita baru. Karena dulu juga pernah ada, eh, pas ditanya kenapa harus dilarang, apakah ada yang salah dengan buletin itu? Mereka seringkali ATM alias aksi tutup mulut karena (mungkin) mereka juga bingung apa alasan yang tepat. Bahkan ketika sebagian ada yang menyampaikan bahwa buletin ini sesat, dikejar lagi sama anak-anak yang pernah baca, “Sesatnya di mana?� Nggak bisa jawab juga. Waduh!
Mohon maaf, bukan maksud kita membuka �front’, bukan niat kita untuk saling menghadapkan �mesin perang’. Nggak lha yauw, ini sekadar ingin jelasin supaya nggak ada lagi rasa benci di antara kita yang tak perlu. Karena kita muslim. Bersaudara. Buat apa capek-capek mengumbar rasa benci. Selain cuma ngabisin energi, juga khawatir kecemplung jadi dosa. Ih, naudzubillahi min dzalik. Jangan sampe kita berbuat kayak gitu. Semoga.
Belajar dewasa yuk!
Boys en galz, riak-riak yang ada dalam hubungan kita selama ini berpotensi bikin �letusan dahsyat’. Jangan sepelekan kondisi yang kontraproduktif ini. Karena seharusnya kita bisa bersinergi dengan memberdayakan kemampuan yang kita miliki masing-masing.
Plis deh, nggak usah kayak anak kecil ketika melihat sebuah perbedaan yang biasanya akan mensikapinya dengan penuh kecurigaan dan bahkan merasa harus menjaga jarak. Seharusnya bertanya kenapa kita berbeda, apakah perbedaan itu dibolehkan (atau seharusnya tidak ada perbedaan). Kita diskusi untuk menyatukan pandangan. Iya kan? Semestinya itu yang kita lakukan. Bukan saling membenci apalagi saling menjaga jarak. Kalo gitu, kita cuma bisa bersama, tapi tak pernah bisa bersatu. Sayang banget kan?
Sobat muda muslim, sudah saatnya kita belajar untuk menjadi dewasa. Kalo fisik sih emang udah bisa dibilang dewasa. Tapi pikiran dan perilaku kadang masih kekanak-kanakan. Semoga saja kita sudah mulai belajar untuk menjadi dewasa. Karena biasanya kalo udah dewasa akan bertambah bijak. Akan melihat suatu persoalan secara obyektif. Bahkan sangat boleh jadi kita akan openmind alias punya pikiran terbuka. Nggak merasa kita sendiri yang benar, dan nggak mencap orang lain yang beda dengan kita tuh pasti salah.
Belajar menjadi dewasa juga sekaligus menunjukkan karakter kita yang ingin mencari kebenaran, bukan pembenaran. Beda lho, kebenaran dengan pembenaran itu. Kalo kebenaran, berarti kita akan berusaha untuk menempuh jalan agar bisa mendapatkan kebenaran. Dari pihak manapun. Jika itu benar, kita akan ambil. Tentu, untuk menentukan benar atau salah, sebagai muslim standarnya cuma satu, yakni Islam. Bukan yang lain.
Nah, kalo pembenaran, itu cenderung berkonotasi negatif (meski tidak selalu). Contohnya, ketika kita melakukan sesuatu, kemudian ada orang yang protes dengan perbuatan kita, dan ia sudah menasihati kita dengan argumentasi yang logis dan syar’i, dan dalam hati kita juga diam-diam mengakui kesalahan kita, tapi karena kita gengsi, akhirnya ngotot mempertahankan pendapat dan bahkan mencari dukungan untuk mendukung perbuatan kita. Nah, ini bisa digolongkan kepada upaya mencari pembenaran. Tul nggak?
Jadi, ketika kita berbeda pendapat dengan saudara kita, nggak usah memunculkan kebencian, tapi hiasi perbedaan itu dengan cinta. Jika memang perlu dialog untuk membunuh rasa penasaran kita, lakukanlah dialog. Sangat boleh jadi itu lebih baik. Nggak usah dipendam dalam hati. Selain nggak menemukan kepuasan juga berpotensi menimbun penyakit. Minimal kan makan ati. Ehm.. pasti nggak mau mangkel kan?
Itu sebabnya, kita budayakan sikap bersahabat dengan saudara kita. Kalo pun ada perbedaan dalam beberapa hal, bukan berarti harus berhenti mencintainya, dan mulai menyemai garam kebencian (hmm.. pedih dan perih tuh jadinya). Sebaliknya, kita akan bertanya kepada saudara kita kenapa melakukan perbuatan (yang kita anggap beda dengan kita). Dengan dialog, bukan saja kita akan mendapatkan argumentasi darinya, juga akan terjalin emosi yang baik. Karena semua rasa yang kita miliki akan tersalurkan dan akan bermuara ketika kita saling terbuka untuk mencari kebenaran. Jadi, yuk, belajar menjadi dewasa. Singkirkan perbedaan yang tak perlu dan mulai menjalin kebersamaan untuk membangun ikatan ukhuwah kita. Oke?
Berbeda tapi tetap bersatu
Yap, berbeda boleh. Sesama muslim kita boleh aja kok berbeda pendapat, asal pendapatnya memang berdasarkan dalil yang benar dan baik yang dilandaskan ajaran Islam. Tapi, jangan sampe membedakan diri dengan menjaga jarak dan menganggap mereka yang berbeda dengan kita harus dibabat habis dan dikucilkan, padahal mereka juga punya dalil untuk berbeda pendapat. Jadi, nggak usah menyemai rasa benci ya. Tapi upayakan persatuan yang dilandasi dengan cinta.
Menghargai pendapat teman kita boleh-boleh aja selama memang alasannya bersumber pada ajaran Islam. Hmm.. jadi inget kisah ulama jaman dulu. Suatu saat Imam Syafi’i mengatakan, “Pendapatku benar, tapi ada kemungkinan pendapat orang lain tidak salah.� Beliau juga menegaskan, “Apa yang aku tuangkan dalam kitabku tidak semuanya harus kalian ikuti. Yang benar ambil, yang salah tinggalkan.�
Sementara itu, Imam Hanafi berkata, “Jika saya sampaikan itu benar, berarti itu datangnya dari Allah. Bila salah itu datangnya dari setan.� Sedangkan Imam Ahmad mengatakan, “Ambillah yang benar-benar saja dari pendapatku. Yang kalian ragukan, tinggalkan.�
Meskipun berpegang teguh pada hasil ijtihadnya sendiri, para Imam saling bertoleransi. Kata Imam Syafi’i, “Seluruh manusia di dalam bidang fikih adalah keluarga Abu Hanifah.� Imam Syafi’i menyunahkan doa qunut dalam shalat subuh. Namun tatkala shalat subuh di dekat kubur Abu Hanifah, ia meninggalkan bacaan qunut (al-Syarani: 213 dalam Islamia No 5/II April-Juni 2005)
Itu sebanya, jika di sekolahmu kebetulan ada yang berbeda model busana muslimah, ya jangan serta merta menyalahkannya. Nggak boleh tuh. Lebih baik, ditanyakan kepada yang bersangkutan untuk mencari tahu alasannya. Jadi, kalo ada temanmu yang make busana muslimah dengan model; kerudung dipadu dengan pakaian longgar atas-bawah (bukan terusan), ya tanya aja kenapa memakai itu dan dalilnya ada nggak. Kalo ada dan hal itu berasal dari pendapat Islam, ya nggak usah memaksakan pendapat kita tentang jilbab yang kita dapetin dari sumber yang berbeda.
Supaya klop dan bisa menghargai pendapat orang lain, kita harus punya persepsi utuh tentang pendapatnya. Sebab, “Perception is the basis of wisdom� (Persepsi adalah landasan kearifan), kata pakar psikologi Dr Edward de Bono. Sebelum menilai atau memutuskan, de Bono menganjurkan kita mengeksplorasi situasi dari berbagai sudut pandang. Baru setelah persepsi kita lengkap, kita menanggapi atau bereaksi terhadap masalah tersebut (Koran Tempo, 27 Agustus 2005)
Oya, kudu dibedakan antara memaksakan pendapat dengan mempertahankan pendapat. Kalo memaksakan, berarti ada objek yang ditekan, yakni orang lain supaya sama dengan kita. Tapi kalo mempertahankan pendapat boleh kok. Artinya, ketika kita udah ambil suatu pendapat dan merasa yakin itu benar, ya harus dipertahankan selama belum ada dalil yang lebih kuat dari yang kita yakini kebenarannya. So, nggak usah berantem, nggak baik menabur benci. Kita bisa bekerjasama dan bersatu dalam memajukan Islam.
Daripada ribut ama temen soal model busana muslimah, padahal keduanya udah punya dalil sendiri yang juga berasal dari Islam, lebih baik kan kita bekerjasama untuk mengajak teman muslimah lain yang belum berbusana muslimah dengan benar dan baik. Tul nggak?
Itu sama artinya dengan kasus teman kita yang ditegur karena menyebarkan buletin ini. Harusnya kan dibiarin aja, bahkan bila perlu didukung karena isinya kan insya Allah mengajarkan kebaikan. Malah sebaliknya, kita bekerjasama menangkal media yang akan merusak Islam. Dan itu perlu dicatat jumlahnya lebih bejibun dari media Islam. Oke? Jadi, tak perlu ada benci di antara kita kan?
Sobat muda muslim, semoga kita tetap bersatu. Bukan hanya selalu bersama. Karena apa? Karena kalo bersatu artinya kita nggak akan membuat jarak, meski di antara kita ada yang berbeda pendapat. Tapi perbedaan itu kita jadikan rahmat dan harusnya bisa bersinergi untuk membangun kekuatan dahsyat.
Nggak baik deh kita berantem dengan sesama kita sendiri, sementara kita lupa terhadap musuh-musuh agama ini yang selalu siap menerkam kita kapan saja. Kalo kita ribut mulu, mereka yang membenci Islam bakalan seneng. Karena nggak perlu capek-capek bertempur, toh kita bakalan ancur-ancuran karena menyulutkan api �perang saudara’.
Ada baiknya kita mencoba merenungkan firman Allah Swt.:
?¥???†?‘???…???§ ?§?„?’?…???¤?’?…???†???ˆ?†?? ?¥???®?’?ˆ???©?Œ ?????£???µ?’?„??????ˆ?§ ?¨?????’?†?? ?£???®???ˆ?????’?ƒ???…?’ ?ˆ???§???‘???‚???ˆ?§ ?§?„?„?‘???‡?? ?„???¹???„?‘???ƒ???…?’ ?????±?’????…???ˆ?†??
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.� (QS al-Hujuraat [49]: 10)
Oke? Mulai sekarang, jangan ada (lagi) benci di antara kita. Sebaliknya, semaikan rasa cinta. Karena sesama muslim adalah bersaudara. [solihin]
(Buletin STUDIA – Edisi 260/Tahun ke-6/5 September 2005)