Mengenal Islam karena dimintai pendapat tentang terjemahan Al-Qur’an yang dibuat oleh Krachkovsky
Setiap orang menempuh jalannya masing-masing dalam menuju kebenaran. Bagi seorang Moisha Krivitsky, jalan yang ditempuhnya melewati fakultas hukum, sebuah sinagog dan penjara. Ia seorang calon pengacara yang menjadi rabi, lalu memeluk Islam dan pernah dijebloskan ke penjara.
Sekarang Musa — demikian nama yang yang dipilihnya setelah ia menjadi seorang Muslim, tinggal di sebuah masjid kecil di Al-Burikent, sebuah daerah pegungungan di Makhachkala, dan bekerja sebagai seorang penjaga di Masjid Jami Pusat.
Dalam sebuah kesempatan, kami berbincang-bincang mengenai dirinya, bagaimana ia menjadi seorang Muslim dan tinggal di sebuah masjid.
Musa mengawali ceritanya dengan menyampaikan bahwa ia seperti begitu saja tiba di masjid itu dan kemudian tinggal di sana. Namun sebelumnya ia menempuh perjalan yang cukup sulit.
“Jika Anda mendalami Islam, Anda akan mengerti bahwa Islam adalah agama yang sangat mudah. Namun, perjalanan yang harus ditempuh untuk menuju Islam bisa jadi sangat sulit. Seringkali orang tidak paham mengapa seseorang bisa berpindah agama, memeluk Islam. Islam itu seperti apa yang kita bayangkan dan yang tidak kita bayangkan,” katanya.
Ketika dikatakan kepadanya bahwa seorang rabi pindah agama memeluk Islam adalah sesuatu yang cukup menghebohkan, ia berkata, “Sebenarnya itu sudah tidak lagi menghebohkan — sudah lebih dari satu tahun saya menjadi Muslim. Awalnya memang aneh juga buat saya. Tapi keputusan yang saya buat itu bukanlah keputusan yang tiba-tiba. Sebelum menjadi Muslim, saya membaca buku-buku tentangnya, dan saya pun tertarik.”
“Saya lulus sekolah agama setingkat sekolah menengah atas. Setelah kelulusan saya pergi ke Makhachkala dan menjadi seorang rabi di sana.”
“Saya berasal dari sebuah daerah yang sangat jauh. Tapi sekarang saya sudah seperti menjadi orang Daghestan sejati. Di sini saya punya banyak teman, Muslim dan juga orang-orang yang sangat jauh dari Islam.”
Musa kemudian menceritakan pengalamannya ketika masih di sinagog.
“Ketika itu situasinya cukup paradoks. Ada sebuah masjid di dekat sinagog tempat saya bekerja. Sebuah masjid kota. Kadang-kadang teman-teman saya yang merupakan jama’ah masjid itu datang ke tempat saya, hanya untuk berbincang-bincang. Kadangkala saya pun mendatangi masjid itu, untuk melihat bagaimana peribadatan di sana dilakukan. Saya sangat tertarik. Jadilah kami hidup layaknya bertetangga yang baik. Dan pada suatu saat di bulan Ramadhan, seorang wanita datang mengunjungi saya — yang kemudian saya ketahui berasal dari keluarga yang turun-temurun memeluk Islam. Ia meminta pendapat saya mengenai terjemahan Al-Qur’an yang dibuat oleh Krachkovsky. Sebagai balasannya, ia meminta saya untuk memberikan Taurat. Maka kemudian Al-Qur’an itu saya baca, kira-kira sepuluh kali.”
“Awalnya sangat sulit, tapi kemudian setahap demi setahap saya saya mulai mengerti, dan bisa menangkap ajaran dasar Islam.”
Sejenak Musa menghentikan ceritanya. Ia melihat ke arah seorang putra teman saya, Ahmad kecil yang berusia enam tahun tertidur di pelataran masjid. Ia menyarankan agar bocah itu dipindahkan ke dalam masjid.
Kemudian Musa melanjutkan ceritanya.
“Wanita itu mengembalikan Tauratnya. Menurut dia sangat sulit baginya untuk membaca serta memahami isinya. Sebagaimana membaca literatur agama, diperlukan konsentrasi dan perhatian yang sangat tinggi.”
“Saya menemukan jawaban di Qur’an tentang banyak pertanyaan Tapi tentu tidak semuanya, karena yang saya baca bukan asli bahasa Arab, melainkan terjemahannya.” Jawab Musa ketika ditanya apakah ketika itu ia mulai membandingkan antara Al-Qur’an dengan Taurat.
“Meskipun demikian saya mulai memahami banyak hal,” lanjutnya.
Kami bertanya apakah itu artinya ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh Taurat?
“Saya tidak tahu, dalam setiap hal ada yang Allah kehendaki di sana,” katanya.
“Sepertinya, orang-orang Yahudi yang masuk Islam pada jaman Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam, tidak menemukan jawaban di Taurat atas beberapa pertanyaan mereka. Namun, mereka menemukannya dalam Islam. Mungkin juga mereka tertarik akan kepribadian Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam, akhlaknya, dan caranya berkomunikasi dengan orang. Itu semua adalah hal yang penting.”
Lalu pertanyaan seperti apa yang tidak bisa dijawab oleh Taurat?
“Sebelum saya ada kontak dengan Islam, ada pertanyaan-pertanyaan yang bahkan tidak saya upayakan untuk mencari jawabannya. Sepertinya sebuah buku berperan penting di sini, yaitu yang ditulis oleh Ahmad Deedat, cendikiawan yang berasal dari Afrika Selatan. Buku yang membandingkan Al-Qur’an dengan Bibel.”
“Ada satu kalimat kunci, yang sangat dikenal oleh mereka yang akrab dengan masalah-masalah keagamaan, yaitu ikutilah Nabi Muhammad, seorang rasul yang akan datang kemudian. Dan ketika saya mempelajari Islam, saya yakin bahwa Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam, adalah nabi yang benar, yang harus diikuti. Keduanya, Bibel dan Taurat menyuruh kita untuk melakukannya.”
Apakah yang Taurat katakan mengenai nabi yang terakhir itu?
“Kita tidak akan menemukan namanya di dalam Taurat. Tapi, kita bisa mengetahui ciri-cirinya dengan kunci khusus. Sebagai contoh, kita bisa mengetahuinya dengan melihat sejarah orang ini dalam masalah peribadatan. Satu hal yang menggambarkan tentang Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam adalah beliau akan menyembah hanya kepada satu Tuhan saja, Pencipta Tunggal dari dunia ini. Dan Nabi Muhammad cocok dengan ciri-ciri yang diberikan.”
“Ketika saya membaca mengenai hal itu, saya menjadi sangat tertarik. Saya tidak tahu apa-apa tentang Islam sebelumnya. Kemudian saya berusaha mengkajinya lebih dalam, dan mencari tahu apakah ada mukjizat dan tanda-tanda berkaitan dengan nabi itu.”
“Dalam Bibel dikatakan bahwa Tuhan memberikan mujizat kepada para nabi untuk menegaskan tugas khusus yang diberikan kepadanya di mata orang banyak
“Saya bertanya kepada para ulama tenang hal ini, mereka mengatakan, ‘Ini sekumpulan hadits shahih yang menggambarkan mukjizat-mukjizat yang berkaitan dengan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasalam. Kemudian saya membacanya dan menemukan bahwa beliau sering berkata, ada para nabi dan rasul yang pernah diutus sebelum dirinya.”
“Kita dapat menemukan nama-namanya dalam Bibel dan juga Taurat. Ketika saya mulai tertarik lebih dalam, hal itu kedegarannya seperti aneh bagi saya.”
“Akhirnya, apa yang saya lakukan membawa saya kepada keadaan sekarang ini. Kadang saya berpikir, mengapa saya lakukan ini semua? Mungkin saya harus bertaubat karena punya pikiran seperti itu.”
Kami bertanya kepadanya, setelah menjadi Muslim, apakah ia merasa punya tanggung jawab yang lebih terhadapnya, atau ada perasaan lain.
Musa menjawab, “Ya, ada rasa tanggung jawab. Tapi juga ada yang lain. Saya katakan dengan tegas, ketika seseorang menjadi Muslim, berarti ia menapakkan kedua kakinya ke tanah dengan kuat. Islam sangat membantu orang-orang. Saya tidak jujur jika mengatakan bahwa di Daghestan ini semua adalah Muslim yang sebenarnya.”
“Kadang kami berdiskusi mengenai hal itu di masjid. Saya katakan tidak banyak orang Islam yang benar-benar Muslim di Daghestan. Hanya para ustadz dan murid-muridnya. Selebihnya, kita ini hanya orang-orang yang ‘calon Muslim’. Saya tidak bisa mengatakan bahwa kita ini umumnya telah mengikuti apa yang diajarkan dalam sunnah nabi. Kita hanya berusaha mengikutinya. Dan kita masih banyak tidak melakukan apa yang seharusnya kita lakukan. Sebaliknya, kita malah berusaha berkelit mencari alasan-alasan yang masuk akal.”
Kenyataan bahwa banyak orang Islam yang tidak memegang teguh dan menjalankan agamanya dengan benar, sempat membuat Musa bingung.
“Kita harusnya berusaha keras menjalankan kewajiban kita. Sulit bagi saya menyaksikan hal ini, kadang saya dibuyarkan oleh apa yang terjadi di sekitar. Saya berusaha mengatasinya, dan kelemahan saya terlihat jelas di sini. Bukan berarti saya putus asa. Tapi saya juga tidak berhak mengatakan bahwa saya sudah menjalankan Islam dengan sebenarnya.”
Ada hal yang ia tidak pernah pikirkan sebelum masuk Islam.
“Ketika saya memutuskan bahwa saya harus menjadi seorang Muslim, saya pikir Islam itu tidak ‘bercabang-cabang’, hanya satu jalan atau seperti sebuah samudera yang tidak terbelah. Tapi kemudian saya menemukan ada beberapa cabang pemikiran dalam Islam. Dan sejak itu mulai muncul beberapa pertanyaan. Cabang-cabang pemikiran itu seperti pusaran air [yang menarik orang masuk ke dalamnya] yang berputar, terus berputar dengan keras. Orang berkata kepada Anda, ‘Lihat, kami mengikuti hadits, hanya kami yang mengerti Qur’an dengan benar’. Lalu Anda mengikuti orang itu, karena Anda pikir orang itu berkata hal yang benar. Dan karena Anda ingin membuat Allah ridha.”
“Tapi beberapa bulan kemudian Anda akan tahu, bahwa semua klaim seperti itu adalah keliru. Allah yang menjadikan kita bisa berbuat baik. Tentu Anda akan berpikir, jika mereka mengaku menempuh jalan yang benar, maka mengapa mereka juga melakukan hal yang salah?”
Kemudian Musa bercerita tentang pengalamannya dijebloskan ke penjara.
“Allah berkehendak atas segala sesuatunya. Dan itu termasuk kehendak Allah.”
“Dari apa yang saya alami selama ini, hidup di balik jeruji besi, mengajarkan sesuatu kepada saya.”
“Beberapa waktu lalu saya melihat sebuah acara di televisi yang menampilkan seorang wakil dari Republik Chechnya di Moskow. Saya lupa namanya, hanya ingat jika namanya itu bagus dan kedengaran seperti nama orang Perancis, seperti Binaud atau semacamnya. Ia mengatakan bahwa penguasa akan melakukan tindakan seperti sebelumnya, yaitu menyatroni rumah-rumah, menyusupkan obat terlarang dan senjata kepada orang-orang [sebagai jebakan]. Kemudian orang akan turun ke jalan melakukan protes. Hal seperti itu sering terjadi di sini.”
“Mereka juga menyusupkannya kepada saya. Kemudian pada malam harinya mereka mendatangi dan membawa saya pergi. Sebelumnya, saya menangkap ada semacam permainan hukum di sini. Saya tidak percaya mereka tega melakukan hal seperti itu. Itu bukanlah cara yang benar. Saya tidak boleh berkata kasar mengomentariya, karena Islam melarang hal itu. Yang pasti Allah Maha Mengetahui, dan orang-orang itu harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuatnya di akhirat nanti.”
“Tigabulan di penjara, justru menebalkan iman saya.”
“Saya melihat bagaimana orang-orang bertahan dalam situasi yang sangat parah, baik itu Muslim maupun non Muslim. Seharusnya mereka yang memegang kekuasaan berpikir dengan baik. Bahwa mereka tidak perlu berusaha membasmi Islam dengan cara yang tidak baik.”
Kami bertanya, mungkin saja ia membuat takut penguasa.
Musa menjawab, “Tidak mungkin, bahkan anak kecil saja tidak takut kepada saya.”
Pembicaraan kami terputus ketika adzan yang sangat indah dikumandangkan.
“Apakah ada seorang muadzin di masjid ini?” kami bertanya karena penasaran.
“Ya, namanya Muamat Tarif. Yang barusan kita dengar adalah suaranya,” kata Musa.
“Apakah hanya Anda dan dia yang bekerja di masjid ini?” tanya kami lebih lanjut.
“Sebenarnya hanya dia yang bekerja di sini. Saya masih agak canggung setelah keluar dari penjara. Ia mengijinkan saya tinggal di sini. Agak sulit untuk menceritakannya. Ada sedikit masalah dengan orang-orang yang tinggal satu flat dengan saya. Sepertinya tidak ada saling memahami antara kami. Dan saya mulai melihat mereka agak berbeda,” cerita Musa.
Ingin rasanya mendengar cerita Musa lebih banyak lagi. Tapi tidak baik mencari-cari tahu tentang kehidupan seseorang lebih jauh.
Orang-orang mulai berdatangan ke masjid. Kami pun bangkit dan bergegas untuk bersama-sama menunaikan shalat. [di/msc dengan narasumber/www.hidayatullah.com]