Friday, 22 November 2024, 00:54

Hua…ha…ha…ha!� tawa lepas itu sering terdengar di malam minggu, malam senin, sampe malam selasa. Terutama pada jam-jam sibuk orang mencetin tombol remote tv nyari channel hiburan malam. Ya, sekitar jam 7 maleman ke atas gitu deh. Terkadang diselingi tawa nggak lepas, senyum dikulum, hingga cekikikan khas kuntilanak. Iih…syereem! Asalnya dari para penikmat hiburan komedi televisi. Mereka adalah komunitas baru yang behasil diciptakan oleh trans TV, extravaganzaholic. Sapa tuh?

Extravaganzaholic adalah sejenis makhluk hidup yang doyan ketawa akibat ketagihan hiburan khas Extravaganza. Sejak kehadirannya, variety show yang menghadirkan komedi rasa baru ini kian populer di kalangan pemirsa tipi. Semua terhibur dengan tingkah polah dan percakapan para penghuni dunia extravaganza ini yang pada ngocol. Ada �Tato Rame’ Sudiro, Ronald �Si Raja Teh’, Indra Birowo, Tieke, Virnie, Sogi, Mike, dan nggak boleh ketinggalan kuncen planet ini, Aming/Amingwati yang sering kedapetan �bias gender’ saat berakting. Hihihi…

Kini, kesuksesan ekstravaganza coba ditularkan produsennya pada generasi penerusnya yang masih belia. Yup, planet Extravaganza mulai dihuni oleh bintang-bintang muda yang tergabung dalam gank ekstravaganzabg. Mereka adalah Nia Ramadani, Laudya Cintya Bella, Cecep Reza, Tities Saputra, Bobby Muscar, Rafi Ahmad, Frans Indonesianus, Asha Shara dan Dhawiya Zaida.

Wajah-wajah baru di dunia hiburan ini mencoba ngikutin jejak kakek-nenek moyangnya (Aming dkk). Dengan menghadirkan bintang tamu dan band-band idola remaja, extravaganzabg pengen dapet tempat di hati remaja en remaji. Sukseskah mereka? Tonton aja ndiri! (lho, kok malah nyaranin nih? Hehehe..)

Kreativitas juga punya batas
Banyak yang heran dengan kesuksesan hiburan khas Extravaganza. Lantaran pemainnya bukan para pelawak murni atau mantan personel group lawak. Tapi para aktor dan entertainer asli yang nggak ada bakat keturunan ngelawak apalagi dikutuk jadi makhluk pengocok perut. Menurut M. Ikhsan, Pimpinan Kreatif Extravaganza, “Kami mencoba memahami kultur industri televisi. Mela?­kukan lompatan, mewujudkan berbagai inovasi, belajar memahami psikologi penonton dan menang?­kap momen,â€? (Pikiran Rakyat, 24/07/06)

Bener sobat, kamu yang termasuk extravaganzaholic boleh acungi keempat jempol kamu (sambil duduk biar nggak jatoh) dengan kreativitas hiburan yang disajikan T-â€?enggak’ (dalam bahasa jawa, ora=enggak hehehe… maaf ye Mas Tora) Sudiro cs. Sketsa komedi yang menyajikan delapan sitkom dalam setiap episodenya ini emang mujarab untuk ngobatin kejenuhan kita menghadapi permasalahan hidup. Lawakannya merakyat abis. Tema-tema keseharian dikemas dalam bodoran segar yang mengandalkan percakapan yang ngocol. Bukan cuma improvisasi pemain atau lawakan fisik yang kurang santun (meski dikit-dikit ada sih). Udah nggak zamannya, Bro!

Sayangnya, seperti kebanyakan tayangan entertaint, Extravaganza juga nggak bisa lepas dari unsur bebas nilai. Celotehan dan adegan yang sering diperagakan para pemainnya nggak sedikit yang nyerempet-nyerempet porno dan cenderung vulgar. Kondisi ini diperparah dengan kostum seksi yang terbuka, mini, dan full pressed body yang sering dipake para pemain wanitanya. Hasilnya, nggak cuma memancing tawa penonton tapi juga imajinasi mereka. Pik-tor tuh!

Sementara dalam extravaganzabg, meski skenario dan adegan yang vulgarnya diperketat, kehidupan remaja yang kental dengan tawa, canda, dan hura-hura tetep mendominasi dalam setiap episodenya. Kondisi ini kian melengkapi hiburan-hiburan lain yang banyak menggiring remaja untuk menikmati hidup dengan fun. Meski tertawa bikin kita bahagia dan baik untuk kesehatan, tapi kalo hidup cuma diisi dengan ketawa bisa jontor dan tebel tuh bibir! Hehehe…..

Nah sobat, kreativitas pekerja seni dalam menghibur kita emang itu yang kita tunggu. Tapi nggak harus pake ngelanggar etika dan sopan santun dong. Apalagi sampe bebas nilai. Tetep, pemirsa juga berhak dapetin hiburan dan informasi yang mendidik. Sehingga media bisa menjadi sahabat kita. Betul?

Remaja wajib melek media
Dirut Trans TV, Ishadi SK, mengingatkan kita untuk selalu menempatkan televisi (broadcast) dalam dua posisi, yaitu sebagai “industri budaya� dan sebagai “institusi bisnis�. Dalam melangkah di dua posisi itu, akan selalu terjadi pertarungan antara dua kepentingan, yaitu antara idealisme dengan realita bisnis. (Pikiran Rakyat, 21/09/05)

Kita boleh aja berharap informasi dan hiburan yang kita lahap tiap hari di depan televisi bikin kita-kita pada pinter dan bermoral. Tapi kayaknya, harapan itu ibarat pungguk merindukan bulan kalo kita ngeliat acara-acara tivi sekarang. Seperti yang dituturkan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat, Dian Wardiana Sjuchro, di televisi banyak kekerasan, seks, jurnalisme menyimpang, takhayul, dan mistik. Malah menurut psikolog Afra Hafny Noer, materi seksual lebih banyak diekspos daripada (unsur) pendidikannya (Pikiran Rakyat, 21/09/05)

Parahnya, �ideologi rating’ yang dijadikan acuan pengelola tv sering menendang idealisme mereka untuk mencerdaskan pemirsa. Mereka jadi sibuk nyari dan bikin acara yang ber-rating tinggi dan menyerap iklan banyak meski mengorbankan tanggung jawab moralnya kepada masyarakat. Weleh-weleh, kalo kita nggak kritis bisa jadi musuh dalam selimut kehadiran kotak ajaib alias televisi di rumah kita. Iya kan?

Tengok aja, tayangan yang umumnya disajikan bagi remaja isinya cuma ngupas persoalan percintaan yang cenderung mengarah pada seks bebas, keputusasaan karena ditinggal pacar, transaksi cinta demi meraih materi, melawan orangtua yang katanya “demi cinta�, hingga aborsi sebagai jalan keluar akibat kehamilan yang tidak dikehendaki. Kemudian, persoalan pergaulan tidak luput dari narkoba, dugem, bergaya hidup mewah, serta persoalan fashion yang identik dengan tren pakaian-pakaian mini, ketat, aksesori-aksesori nan mahal, ponsel canggih, hingga make up berlebihan. Yang penting trendy.

Yup, semuanya disajikan dengan vulgar nggak pake sensor. Akibatnya informasi model gini bisa jadi inspirasi bagi penonton remaja yang masih menganut gaya hidup copy-paste, nyontek abis seperti yang ada di televisi. Makanya kita kudu ngeh dengan hiburan-hiburan yang disajikan media elektronik ini. Nggak semua yang kita denger itu bener dan nggak semua yang kita lihat itu bermanfaat. Catet tuh!

Remaja, sukanya hura-hura?
Kita berharap, tentu bukan anggukan kepala untuk menjawab pertanyaan di atas. Namun, kita kudu berani akui kalo informasi dunia remaja yang hadir ke permukaan via media massa justru banyak yang mengarah ke sana. Kita jadi bertanya: “Kenapa sih nggak ada tayangan yang menggambarkan sosok remaja yang kreatif di jalur yang benar, serius dalam belajar, gigih mencari ilmu, dsb yang baik-baik?� Kenapa yang dihadirkan tuh yang kesannya hura-hura? Padahal, nggak semua remaja gitu deh. Apakah ini ingin menggiring opini bahwa remaja harus hura-hura, nyantai dan kesannya miskin idealisme?

Penelitian di Jakarta, Medan, Yogyakarta, Surabaya, dan Ujungpandang oleh Gatra yang bekerja sama dengan Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, turut menjawab pertanyaan di atas. Hasil survei memperlihatkan, remaja Indonesia cenderung bersikap apolitis dan apatis terhadap keadaan. Mereka lebih banyak memanfaatkan waktu untuk berhura-hura ketimbang melakukan kegiatan positif. Lebih dari itu, mereka bersikap permisif terhadap perilaku kebebasan seks.

Data lain menunjukkan, bahwa banyak teman remaja yang nggak terlalu tertarik untuk memanfaatkan waktu dengan melakukan kegiatan-kegiatan positif, seperti belajar atau membaca buku. Hampir 31% (246 orang) memilih mejeng di mal atau pertokoan, berhura-hura, menenggak minuman keras, mengkonsumsi obat terlarang, dan mementingkan kepuasan indrawi (hedonisme). (Gatra, 3/01/98). Waduh, pegimane urusannya?

Emang nggak bisa dipukul rata hasil penelitian di atas untuk ngegambarin potret remaja secara umum. Cuma masalahnya acara televisi yang disajikan bagi remaja sekarang ini malah makin menguatkan hasil survei di atas. Dalam sinetron remaja, ceritanya seputar cinta, cemburu, kasmaran, seks bebas, yang dikemas dalam gaya hidup glamour.

Status sih boleh siswa berseragam sekolah, tapi perilakunya mencoreng nama baik kaum terpelajar. Yang ditonjolin cuma dandanan modis dengan segala aksesoris, hobi nge-dugem, atau mejeng di mal. Sementara kegiatan belajar-mengajar, diskusi pelajaran sekolah, kreativitas dalam mempraktekkan ilmu, semangat dalam belajar, rela berkorban dan saling menolong, atau potret remaja idealis? Aha, kayaknya nggak ada dalam kamus tayangan-tayangan remaja populer saat ini. Kasian deh ih!

Menjadi generasi cerdas islami
Sobat, indah banget ya kalo idealisme para pengelola tv itu nggak abis digerogotin �ideologi rating’. Tentu program televisi yang menghibur dan penuh manfaat dengan mudah kita nikmati. Kerinduan kita akan hadirnya cerita remaja berkualitas semodel ACI atau Rumah Masa Depan di jaman baheula akan segera terobati. Perbaikan potret buram para pelajar dengan menghadirkan sosok-sosok siswa berprestasi yang pantang menyerah melawan keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan bisa jadi teladan. Atau sebuah kompetisi intelektual yang dikemas dengan gaya populer untuk menghasilkan pelajar berprestasi tentu menjadi nilai positif dari media untuk kita.

Selain itu, pembinaan untuk membentuk karakter dan pengenalan jati diri remaja juga nggak boleh ketinggalan. Pihak media punya peranan besar dalam hal ini jika mau sedikit peduli dengan memberikan informasi yang seimbang terhadap rusaknya budaya populer yang lahir dari gaya hidup sekuler masyarakat Barat. Agar pemirsa juga cerdas dan sekaligus islami. Baik pola pikir, maupun pola sikap.

Kalo kita cuma ngisi hidup kita dengan hura-hura dijamin bakal sengsara dunia-akhirat. Sebab hidup kita kan nggak jalan di tempat. Nggak selamanya kita jadi remaja. Jika saatnya tiba dan Allah mengizinkan, kita bakal jadi orangtua, berkeluarga, dan punya tanggungjawab yang harus kita pikul. Kebayang dong kalo kondisi itu lalai kita siapkan dari sekarang selagi punya kesempatan dan kekuatan di usia muda, masa depan kita bisa amburadul…dul…dul!

Dan yang paling penting, kontrak hidup kita nggak selamanya diperpanjang. Malaikat Izrail atas perintah Allah bisa ngecengin kita kapan aja dan di mana saja. Karena itu, marilah kita menjadi generasi cerdas dan islami seperti yang disabdakan Rasulullah saw: “Orang yang cerdas adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya serta biasa beramal untuk bekal kehidupan setelah mati. Sebaliknya, orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya, sementara dia berangan-angan kepada Allah.

Predikat generasi cerdas dan islami ini bisa kita raih kalo kita nggak keberatan untuk mengenal ajaran Islam lebih dalam, memahaminya, dan menjadikannya sebagai aturan hidup kita. Daripada banyak hura-hura mendingan banyakin nyari pahala. Jadi, ngaji yuk?! [Hafidz]

(Buletin STUDIA – Edisi 285/Tahun ke-7/20 Maret 2006)