Wednesday, 27 November 2024, 11:18

Bukan salah bunda mengandung, lahir ke dunia dengan rambut keriting, idung pesek, atau kulit hitam legam. Namun di abad 16 dulu, ciri-ciri fisik yang umumnya dimiliki para penghuni benua Afrika ini, bisa jadi petaka lho. Soalnya era ini mengawali masa perbudakan terhadap etnis Afrika.

Budak-budak didatangkan dari Afrika menuju Eropa atau Amerika. Para pedagang budak menyebarkan paham bahwa masyarakat kulit hitam (ras Afrika) adalah ras yang terkuat namun inferior (rendah), sehingga cocok untuk mengerjakan pekerjaan kasar dan harus tunduk pada perintah. Diperkirakan 11,8 juta rakyat Afrika diperdagangkan selama masa Perdagangan Budak Atlantik. (Sekitarkita.com)

Kini, era perbudakan tinggal sejarah. Peradaban manusia yang semakin maju dan modern udah ngebuka mata semua pihak untuk menghargai dan menghormati bangsa lain. Nggak jamannya paham rasisme alias ngerendahin bangsa lain cuma lantaran beda ciri-ciri fisik, agama, atau ras nongol di sekitar kita. Sayangnya, di zaman serba digital ini masih aja ada yang melestarikan rasisme (Emangnya makhluk langka pake kudu dilestarikan segala).

Sebuah survei yang dilakukan ICM Research dan hasilnya dipublikasikan BBC pada Mei 2004 memperlihatkan 51% dari responden menyatakan kalau Inggris adalah negara yang rasis. Jumlah yang sama dari 1576 responden dengan berbagai background itu juga menyatakan kalau warna kulit membuat mereka diperlakukan secara diskriminatif di tempat kerja. Jumlah lebih besar lagi, yaitu 61%, bahkan menyatakan mereka mendapat pelecehan rasial saat berada di bangku sekolah (Jawa Pos.com, 25/11/04) . Payah deh ih!

Rasisme tetep lestari
Parahnya, pelecehan rasial di masyarakat Barat tumbuh subur di kalangan para penggila sepak bola. Banyak kasus rasialisme menimpa pemain asing (terutama dari Afrika) yang merumput di liga-liga Eropa: Italia, Spanyol, Inggris dll.

Kasus pelecehan rasial yang paling terkenal terjadi antara Peter Schmeichel (Manchester United) dan Ian Wright (Arsenal), di Old Trafford, November 1996. Atau antara pemain Lazio asal Yugoslavia, Sinisa Mihajlovic dengan pemain Arsenal asal Prancis, Patrick Vieira. Dalam pertandingan Liga Champion, Oktober 2000, Mihajlovic terbukti memaki Vieira dengan kata-kata, “Monyet hitam!�. Ia terkena larangan ikut dalam dua pertandingan. (Kompas, 30/01/04)

Kondisi itu yang kini juga dialami Marc Andre Zoro. Penyerang klub Messina asal Afrika ini, menjadi sasaran sikap rasialis pendukung Inter Milan, Minggu (02/04/06). Atau Samuel Eto’o. Striker asal Kamerun yang bermain di Barcelona ini?  mengalami penghinaan rasial dari pendukung Racing Santander selama pertandingan Liga Spanyol, Minggu (9/4/06). “Pada menit ke-34 sekelompok pendukung menirukan suara monyet saat Eto’o menyentuh bola,â€? kata wasit Antonio Rubinos Perez dalam laporan pertandingannya. (Media Indonesia Online, 10/04/06).

Sobat, olahraga konon kabarnya bisa menyatukan perbedaan bahasa, bangsa, agama, dan warna kulit. Nyatanya, itu cuma teori. Buktinya, rasisme tetep lestari. Kalo gini ceritanya, mungkinkah semboyan World Cup Germany 2006, â€?Its Time To Make A Friends’ terwujud? Hmm… mene ke tehe!

Sepak bola dan rasisme
Nggak jelas dari kapan isu rasisme mulai mengotori dunia sepak bola. Ada yang meyakini kalo isu rasisme mulai terdengar dalam dunia sepakbola sejak Arthur Wharton, pemain kulit hitam profesional pertama, meneken kontrak bersama klub Inggris, Darlington, pada 1889. Sejak saat itu, setiap kali Wharton belaga di kandang lawan, pertandingan nyaris tak pernah sepi dari lontaran-lontaran berbau rasial. (Republika, 27/11/04)

Parahnya, tindakan rasialis dalam sepak bola juga merembet pada perbedaan yang sifatnya politis. Bahkan pada Piala Dunia 1934 di Italia, nyata benar Mussolini mempertontonkan superioritas fasisme atau Hitler (yang merefresentasikan Jerman dengan NAZI-nya). Sepakbola dipolitisir.? 

Di tahun 1993/1994, sponsor Liga Primer Inggris, Carling, mengadakan survey terhadap para fans liga primer. Hasilnya sungguh mengejutkan; hanya satu persen para penggemar yang mendeskripsikan dirinya tak bermasalah dengan pemain berkulit hitam. Ini menggambarkan masih kuatnya rasisme di kalangan para penggemar sepak bola tradisional.

Tetep lestarinya rasisme lebih karena rendahnya cara berpikir masyarakat. Terutama individu pelakunya. Rendahnya cara berpikir ini boleh jadi terpancing oleh panasnya iklim kompetisi sepak bola yang?  menjamur di negeri-negeri Eropa. Dengan gaya hidup sekuler-kapitalis, dukungan penuh dari penggemar terhadap tim favoritnya bisa berujung pada tindakan rasisme, bentrokan antar fans, hingga kerusuhan di luar stadion.

Tak heran jika di Eropa, rasisme merupakan masalah besar bagi sepak bola, sama besarnya dengan masalah hooliganisme. Ya, karena kompetisi sepak bola lah yang membidani lahirnya masalah ini. So, selama hajatan sepak bola masih digelar setiap tahunnya dan selama gaya hidup kapitalis sekuler masih dipake, selama itu pula benih-benih rasisme siap tumbuh dan berkembang untuk mencari korban. Ih syereem deh!

Lets kick racism out of football!
Inilah kampanye perang terhadap tindakan rasialis yang tengah diusung FIFA selaku federasi sepakbola tingkat dunia. Berdasarkan peraturan FIFA yang diluncurkan bulan Maret 2006 lalu untuk meredam rasisme, klub akan mendapat pengurangan tiga angka untuk serangan rasis pertama, enam angka untuk serangan kedua dan bisa juga pertandingan akan dipindahkan ke tempat lain jika serangan rasis itu terus berulang. Atau bisa juga berupa denda dalam bentuk uang. Ketat juga nih aturan.

Tentu saja peraturan dari FIFA ini secara otomatis diamini oleh UEFA selaku badan Sepakbola Eropa atau Konfederasi Amerika Selatan (CSF). Termasuk federasi sepakbola di masing-masing negara Eropa. Seperti Federasi Sepakbola Spanyol (RFEF) yang telah memberikan sanksi denda 9.000 euro (11.000 dolar AS) kepada Real Zaragoza terkait perlakuan rasisme pada strikter el-Barca, Eto’o. (Media Indonesia Online, 12/04/06)

Atau, FIGC (Federasi Sepak Bola Italia) yang juga ngasih �hadiah’ pada tim Lazio berupa denda sebesar 8 ribu euro (sekitar Rp 88 juta). Pasalnya, beberapa suporter Lazio meneriakkan revolusi ala tokoh fasis Italia, Benito Mussolini, dengan membawa bendera bergambar simbol pegerakan Neo Nazi Italia, swastika saat menjamu Livorno di Stadion Armando Picchi. (Eramuslim, 15/12/05). Padahal justru para pendukung Livorno menentang fasis. Ini sih emang nyari ribut!

Juga KNVB (asosiasi sepak bola Belanda)?  yang menghukum Den Haag dengan sanksi menggelar pertandingan tanpa penonton di dua partai home mereka berikutnya. Ini buntut dari teriakan bernada pelecehan rasial yang dilakukan para suporter Den Haag kepada para pemain PSV yang berkulit hitam. (JawaPos.com, 25/11/04)

Bahkan sebuah pengadilan Inggris menjatuhkan denda 1.000 pound (1.880 dolar AS) dan larangan lima tahun menyaksikan pertandingan sepakbola secara langsung di lapangan pada seorang suporter Jason Perryman (22), yang menghina dengan teriakan monyet pada striker Birmingham City, Dwight Yorke. (Suara Merdeka, 26/11/04).

Hmm…..sejauh ini FIFA emang udah mati-matian perang lawan rasisme ini. Sayangnya masih belon maksimal tuh. Karena rasisme lahir dari perasaan superior. Dan aturan FIFA cuma bisa menghimbau untuk tidak bersikap rasis, tapi tak mampu menjinakkan perasaan superior yang selalu hadir dalam setiap event olahraga sepak bola. So, bisa jadi gaung kampanye anti rasis yang digembor-gemborkan FIFA nggak pernah nyampe garis finish. Lantaran FIFA juga yang memperpanjang arena lintasannya setiap tahun dalam penyelenggaraan liga-liga Eropa. Sama aja bo’ong!

Meski berbeda, tetep sederajat
Islam sebagai ajaran yang benar dan mulia udah jauh-jauh hari ngasih kartu merah untuk perilaku rasisme. Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa Abu Dzar dan Bilal al-Habasyi saling bercaci-maki sampai memuncak kemarahannya. Kemudian Abu Dzar berkata kepada Bilal: Hai anaknya perempuan hitam! Mendengar ucapan itu, Bilal mengadu kepada Nabi. Maka kata Nabi kepada Abu Dzar: “Hai Abu Dzar, apakah kau caci dia sebab ibunya? Kalau begitu sungguh kamu seorang yang masih diliputi perasaan jahiliah.� (HR Bukhari)

Kemudian Abu Dzar menjatuhkan dirinya ke tanah dan diratakan pipinya dengan debu serta meminta Bilal menginjak kepalanya sebagai balasan atas kesombongannya tadi.

Islam membenci sikap superior seperti yang dimiliki para pelaku rasis di Eropa. Mentang-mentang nenek moyang mereka pernah memperbudak nenek moyang ras afrika. Ngakunya manusia beradab, tapi masih aja mewarisi perilaku biadab.

Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya nasab-nasabmu ini bukan menjadi sebab kamu boleh mencaci kepada seseorang; kamu semua adalah anak-cucu Adam … Tidak ada seorangpun yang melebihi orang lain, melainkan karena agama dan taqwanya …â€? (HR Ahmad)? 

Dalam hadis lain, Rasulullah saw. bersabda: “Hendaklah orang-orang yang menyombongkan ayah-ayahnya yang sudah mati itu mau berhenti. Mereka yang demikian itu hanyalah bara neraka. Atau mereka itu lebih rendah di hadapan Allah daripada kumbang yang mengguling-gulingkan tahi dengan hidungnya; Allah telah menghapuskan kesombongan jahiliah dan kecongkakannya lantaran ayah. ….â€? (HR Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi dengan sanad hasan)

Yup, dalam Islam, ketinggian derajat hanya dinilai dari ketakwaannya. Bukan warna kulit atau bahasa dan bangsanya. Itu artinya, perilaku takwa bisa diakses oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja selama ngikutin aturan hidup Islam.

Karena itu, Islam memberikan kehormatan kepada Bilal bin Rabah meski berkulit hitam legam untuk mengumandangkan adzan pertama di Madinah. Begitu juga pada Ubadah bin Shamit, seorang negro berperawakan tinggi besar dengan kulit hitam legam, yang menjadi utusan kaum Muslimin saat menghadap penguasa Romawi di wilayah Mesir.

Mukaukis, pembesar Mesir, menolak Ubadah bin Shamit, tetapi anggota perutusan yang lain berkata: “Tokoh hitam ini adalah pemuka kami, termulia di lingkungan kami, pemimpin perutusan ini, ditunjuk dan diangkat oleh panglima kami. Kami menghargai ilmunya dan buah pikirannya. Apa yang dikatakannya adalah pendirian kami semua.�

Nah sobat, lestarinya sikap rasisme di masyarakat Eropa yang jelas-jelas bergaya hidup kapitalis-sekuler, lantaran mereka nggak punya resep jitu untuk ngeberesin masalah rasisme seperti yang dimiliki Islam.

Islam nggak cuma nge-kick rasisme keluar dari lapangan hijau. Lebih jauh lagi, Islam bakal memberikan sanksi larangan bermain selama-lamanya bagi rasisme di arena sepak bola atau dalam kehidupan manusia. Bahkan Islam akan mendegradasi rasisme ke dunia hewan yang tak berakal. Rasain tuh!

Dengan tegaknya Khilafah Islam yang menerapkan syariat di bumi Allah, kita akan?  kampanyekan, â€?Lets Kick Racism Out Of The World! Setuju kan? Siip lah! [Hafidz: Tulisan ini dipersembahkan juga untuk seorang teman di Kendari yang sempat bertanya tentang rasisme. Terima kasih]

(Buletin STUDIA – Edisi 299/Tahun ke-7/26 Juni 2006)