Friday, 22 November 2024, 00:25

Setelah gelaran World Cup 2006 di Jerman, perhatian penduduk dunia mulai beralih ke pesta tingkat dunia lainnya yaitu kontes Miss Universe 2006 di Amerika Serikat. Sebanyak 85 perempuan dunia wakil dari negaranya masing-masing berkumpul untuk sebuah gelar kecantikan. Masing-masing peserta akan unjuk kebolehan dalam 3 B yaitu Brain, Beauty and Behaviour. Tapi dengar-dengar ada satu B lagi yang ditambahkan yaitu Brave.

Jelas aja semua kontestan pada kepingin bisa menyabet gelar bergengsi sebagai Miss Universe. Selain ketenaran yang bakal diperoleh, materi berlimpah yang akan mengucur seiring kemenangan, juga pasti tak terelakkan. Apalagi beberapa media nasional di masing-masing negara memberi porsi yang cukup lumayan untuk mengeksposnya, tak terkecuali di negeri si Komo ini. Jadilah, ia santapan masyarakat kita selama dua minggu sejak karantina hingga malam Grand final.

Tapi kenapa sih, bahasan ini selalu saja disuguhkan STUDIA setiap tahunnya? Ini tak lain dan tak bukan karena kami peduli dan khawatir terhadap perkembangan remaja putri di Indonesia. Cewek seusia kamu banyak yang mengidolakan untuk jadi kaya mendadak melalui kontes sejenis tanpa mengindahkan ada apa sebetulnya di balik semua gemerlap penyelenggaraan Miss Universe. Yuk kita preteli satu demi satu biar kita waspada terhadap kontes beginian.

Di balik 4 B
Brain, Beauty, and Behaviour yang sekarang ditambah dengan Brave, sebetulnya?  adalah slogan pemanis untuk eksploitasi perempuan. Kalo memang Brain yang dijadikan tolok ukur, seharusnya pelajar-pelajar putri berprestasi dalam bidang Olimpiade Fisika atau Matematika tingkat dunia lebih pantas menyandang gelar Miss Universe daripada mereka yang tampil lenggak-lenggok di atas catwalk itu. Tapi apa faktanya? Ternyata tubuh ramping dengan tinggi badan tertentu lebih menjadi persyaratan utama. Padahal banyak juga di antara para kontestan itu yang ternyata nggak bisa bahasa Inggris. Padahal itu bahasa komunikasi Internasional saat ini.

Beauty is in the eye of the beholder. Kecantikan itu tergantung siapa yang melihat. Standard cantik antara satu orang dengan yang lain tidak selalu sama. Bagi orang negro, cewek hitam manis adalah cantik. Bagi orang bule, cewek berambut kayak rambut jagung alias blonde disebut cantik. Bagi ortumu, kamu adalah cewek tarcantik di seluruh dunia. Bagi ayahmu, ibumu adalah perempuan teranggun yang pernah ditemuinya. Begitu juga dengan cewek tetangga sebelah yang menurut ibunya, ia pasti cakep banget.

Peribahasa di atas sangat nggak konsisten kalo dikaitkan dengan ajang miss-miss-an ini. Belum lagi bahwa beauty alias kecantikan adalah sesuatu yang sudah given dari sononya alias takdir. Kamu nggak bisa memilih untuk dilahirkan mempunyai hidung mancung, mata indah bak bola ping pong, dagu belah yang seksi, dan tubuh ramping laksana papan penggilesan. Beauty dari segi ini betul-betul ajang diskriminasi untuk perempuan-perempuan yang tidak sesuai kriteria di atas. Kalo pun ada yang berkilah inner beauty, ah…itu kan cuma lip service aja. Toh ketika disuruh menjelaskan maknanya sering banget jaka sembung alias nggak nyambung.

Behaviour. Perilaku seseorang dinilai selama 2 minggu masa karantina saja. Keramahan, sikapnya terhadap sesama teman kontestan lain, kelembutan dll. Padahal perilaku adalah sebuah pola sikap yang muncul dari kepribadian seseorang yang didapat dari sebuah kebiasaan yang ditanamkan secara terus menerus. Ia tidak cuma berupa cara duduk bagaimana meletakkan kaki, bagaimana posisi tangan dan bahu. Bila ini yang dinilai maka sungguh naif sekali.

Dalam kontes kecantikan ini, perilaku seseorang ditentukan hanya dalam waktu 2 minggu. Padahal bagi seseorang yang pintar acting, bukan hal sulit baginya untuk menampilkan perilaku seanggun putri salju dalam rentang waktu sesingkat itu. Mengenai gimana perilakunya di luar setelah mahkota impian diraih, itu urusan belakangan. Toh, persyaratan akan larangan berpose vulgar (bugil) bagi para kontestan, juga hanya tinggal peraturan. Mungkin dalam benak mereka sama seperti yang ada dalam mayoritas benak aparat di Indonesia, peraturan ada untuk dilanggar (watau…gawat juga ternyata).

Brave adalah sebuah tambahan yang pernah dicetuskan oleh Artika Sari Devi ketika pengirimannya ke ajang kontes ini menuai banyak kecaman. Menurutnya menjadi wakil Miss Universe dari Indonesia membutuhkan keberanian akibat kontroversinya yang masih mewarnai di tanah air. Sorotan paling tajam adalah adanya persyaratan wajib mengenakan baju renang baik one piece atau two pieces alias bikini.

Biasanya para duta pamer aurat ini berkilah dengan memakai yang jenis one piece dengan alasan lebih sopan daripada yang bikini. Brave ini dibutuhkan bukan karena urat malunya sudah putus dengan pamer aurat di depan umum, tapi lebih kepada berani karena melawan suara-suara yang kontra. Bahkan tak jarang bagi kontestan yang kebetulan Muslim, mereka menyebut kejadian seperti ini sebagai ujian dari Allah. Walah?

Miss Universe yang sedang berlangsung saat ini adalah palsu. Karena ia menampilkan sosok yang tidak mewakili perempuan secara sebenarnya. Sebaliknya, Miss Universe yang saat ini diperebutkan gelarnya adalah sarana eksploitasi perempuan berkedok 4 B semu. Brain, beauty, behaviour dan brave cuma alat untuk menutupi pemilihan dengan kriteria sesungguhnya yaitu beauty yang bermakna fisik. Mulai ujung rambut hingga ujung kaki, semua diukur dengan kalkulasi pelecehan terhadap harga diri perempuan. Seberapa bagus leher perempuan hingga seberapa jenjang kaki perempuan bahkan sampai ke ukuran (maaf) bra dan celana dalam, semuanya dinilai, diukur dan menjadi konsumsi juri dan publik. Sehingga bukan hal aneh bila salah satu syarat wajib yang harus diikuti adalah tampil dengan memakai baju renang baik one piece atau two pieces alias bikini yang cuma digunakan untuk menutupi daerah vital perempuan.

Miss Universe sebenarnya
Bila kriteria Miss Universe seperti yang diuraikan di atas, duh….sempit banget kan? Padahal seharusnya gelar Miss Universe itu patut diberikan kepada mereka yang benar-benar pantas untuk menyandang gelar Universe. Seorang perempuan yang cerdas dan dari segi wawasan memang bener-bener mendunia. Ia seorang perempuan yang kepeduliannya terhadap masyarakat bukan sekadar basa-basi agar memenangkan gelar dalam sebuah kontes. Tapi ia benar-benar melakukan tindakan nyata bergerak di tengah masyarakat untuk sebuah kebangkitan hakiki. Ia mampu berpikir untuk menganalisa permasalahan dengan tajam dengan analisa akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Penggodokan kepribadiannya tak perlu mengambil kursus yang memakan dana banyak demi sebuah behaviour semu. Cukuplah ia digodok dengan matang minimal seminggu sekali untuk diasah pola pikir dan pola sikapnya agar selaras dan unik. Seorang perempuan yang anggun secara behaviour dan cerdas secara nyata dari segi brain akan muncul dari kursus kepribadian ini. Dari segi Beauty, semua cewek all around the world boleh mengikuti kontesnya. Nggak perlu ada pembatasan tinggi badan minimal, berat badan ideal, bentuk tubuh seksi atau apa pun yang memang tak ada kaitannya dengan gelar selevel Universe.

Lalu tentang Brave, jangan ditanya lagi deh. Gimana nggak kalo setiap aktivitas yang dilakukannya emang dilakoni dengan penuh risiko. Kalo wakil dari Indonesia yang melenggang ke perhelatan Miss Universe butuh brave karena harus siap menghadapi hujatan dan kritikan dari pihak yang tidak setuju, perempuan Universe versi ini lain. Ia harus siap berkorban bukan hanya mental dan perasaan aja, tapi sudah pada tataran raga dan nyawa.

Itu sebabnya, dengan brain yang ia miliki, ia mampu membongkar makar keji para perusak dunia sebenarnya—dalam hal ini Amerika dan sekutunya. Ia berani bergerak di tengah-tengah masyarakat dalam upaya penyadaran akan bahaya besar yang mengancam. Termasuk bahaya besar dalam pelaksanaan kontes kecantikan bertajuk “Miss� apa pun itu.

Jadi Miss Universe sesungguhnya
Ketika kriteria penilaian Miss Universe palsu harus melewati sesi wawancara, baju renang dan gaun malam, maka Miss Universe asli punya standar beda. Sesi wawancara tetap diadakan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman kandidat terhadap suatu masalah, sudut pandang serta solusi yang mampu ditawarkannya untuk membuat dunia ini lebih baik. Sesi baju renang yang jelas-jelas melecehkan kaum perempuan karena setiap detil anggota tubuhnya yang berupa aurat diukur dan dinikmati harus dihilangkan. Yang ada tinggal sesi gaya berbusana seorang perempuan yang telah ditetapkan aturannya oleh Allah Swt., sehingga akan menyelamatkan harkat dan martabat kemanusiaannya.

Pakaian yang mengangkat derajat perempuan adalah pakaiannya orang modern dan bukan pakaian kuno jaman Flinstone yang cuma one piece or two piece alias bikini. Bukan yang itu. Tapi pakaian modern adalah busana yang dibalut rasa malu karena landasan keimanan. Pakaian yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Yang boleh melihat selain kedua bagian itu cuma orang-orang yang berhak melihatnya semisal suami dan para mahram. Keindahan tubuhnya yang merupakan kodrat seorang perempuan begitu dilindunginya, bukan untuk diobral. Pada sesi berpakaian ini dinilai kekonsistenan perempuan dalam memakainya. Apakah sekadar untuk ikut-ikutan mode ataukah karena ketakwaan? Ada Sang Juri, jika boleh dikatakan demikian, yakni Allah Swt. yang akan menilainya dengan oyektif dan adil. Tak akan ada satu pihak pun yang merasa dirugikan.

Sesi berikutnya adalah penilaian dalam partisipasi dan kiprahnya untuk menjadikan lingkungan sekelilingnya menjadi lebih baik. Apakah ia sosok perempuan yang aktif menggerakkan masyarakatnya ataukah ia cuma perempuan yang aktif bersolek dan sok sibuk melakukan aktivitas sosial demi sorotan kamera. Perempuan yang masih memelihara rasa malu sebagai bagian dari peradaban. Perempuan yang tangguh dan tegar tanpa kehilangan sisi keperempuanannya. Tapi uniknya, ia tidak mengeksploitasi sisi keperempuanannya dalam hal fisik alias pamer aurat.

Ia bisa menjadi perempuan sebagai anak yang berbakti pada orangtua, perempuan sebagai istri yang baik bagi suaminya, perempuan sebagai ibu bagi anak-anaknya, dan perempuan sebagai anggota masyarakat untuk menjadi agent of change ke arah yang lebih baik.

Miss Universe yang ini kualitasnya boleh dan sangat bisa dipertanggungjawabkan di hadapan seluruh penduduk bumi. Bahkan aura kepribadiannya mampu mengguncangkan langit. Inner beauty-nya benar-benar nyata, bukan sekadar slogan. Ia benar-benar mewakili perempuan secara universal karena ia tak mewakili daerah mana pun atas nama nation/bangsa.

Ia mampu berdiri tegak meski tanpa sorotan kamera dunia. Karena yang ia butuhkan adalah sorotan kamera untuk diputar ulang di saat hari perhitungan kelak. Jadi, tak ada kepura-puraan dalam dirinya. Tak ada senyum palsu hanya agar mendapat applaus pengunjung. Lenggak-lenggoknya bukan di atas catwalk, tapi di antara becek dan terjalnya jalan menuju majelis ilmu dan berusaha menyebarkan serta mengamalkannya di tengah masyarakat.

Kalo Miss Universe versi ini (boleh dibilang yang asli deh), tak ada lagi persyaratan tinggi dan berat badan jadi ukuran. Semua perempuan di dunia ini punya hak untuk menjadi kontestan. Dan saya yakin 1000% bahwa dengan adanya perempuan unik semacam ini, dunia akan menjadi tempat yang jauh lebih baik dari hari ini. A better place to live.

Hmm… ini tentu agar tak rancu dengan kontes hedonis ala Miss Universe palsu, kita sebut aja kontes ini dengan pemilihan Akhwat Universe yang jurinya adalah Sang Maha Juri alias pemilik langit dan bumi yang keadilanNya tak diragukan lagi. Hadiahnya sangat menggiurkan lagi, kemuliaan di dunia dan derajat tinggi di akhirat. So, kalo kontes beginian yang diperebutkan, mau dong ikutan. Yuuukkkk….![ria]

(Buletin STUDIA – Edisi 302/Tahun ke-7/17 Juli 2006)