Friday, 22 November 2024, 04:11

Dr Adian Husaini

Perang Salib dimulai pada 1095. Pada 50 tahun pertama, Pasukan Salib  berhasil mendominasi peperangan. Kekuatan kaum Muslim porak-poranda. Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syria dan Palestina ditaklukkan. Ratusan ribu kaum Muslim dibantai. Pasukan Salib yang memasuki Jerusalem (1099) kemudian melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Kota Suci itu. Di Masjid al-Aqsha terdapat genangan darah setinggi mata kaki, karena banyaknya kaum Muslimin yang dibantai. Fulcher of Chartress menyatakan, bahwa darah begitu banyak tertumpah, sehingga membanjir setinggi mata kaki: “If you had been there your feet would have been stained to the ankles in the blood of the slain.”

Seorang tentara Salib menulis dalam Gesta Francorum, bagaimana perlakuan tentara Salib terhadap kaum Muslim dan penduduk Jerusalem lainnya, dengan menyatakan, bahwa belum pernah seorang menyaksikan atau mendengar pembantaian terhadap ‘kaum pagan’ yang dibakar dalam tumpukan manusia seperti piramid  dan hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah mereka yang dibantai: “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.” (David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, (New York, St. Martin’s Press, 1999)).

Begitu dahsyatnya pembantaian terhadap kaum Muslim ketika itu. Karena itulah, banyak yang kemudian mempertanyakan  sikap dan posisi al-Ghazali dalam Perang Salib dan juga konsepsinya tentang jihad, dalam makna qital (perang) melawan musuh yang jelas-jelas sudah menduduki negeri Muslim. Sebagai contoh, Robert Irwin, dalam artikelnya berjudul “Muslim responses to the Crusades” (1997), menyebutkan, bahwa meskipun al-Ghazali sempat berkunjung ke berbagai tempat suci Islam, termasuk Masjid al-Aqsha pada tahun 1096, tetapi ia tidak pernah menyebut tentang masalah pasukan Salib dalam berbagai tulisannya.

Tidak diragukan lagi, sebagai seorang tokoh dalam mazhab Syafii, al-Ghazali memahami kewajiban jihad melawan kaum penjajah. Dalam pandangan ulama mazhab Syafi’i, jihad adalah fardhu kifayah, dengan perkecualian jika penjajah sudah memasuki wilayah kaum Muslim, maka status jihad menjadi fard al- ‘ain. Pakar Fiqih Islam, Wahba? al-Zuhayliy  mencatat: “Jihad adalah fardu kifayah. Maknanya, jihad diwajibkan kepada semua orang yang mampu dalam jihad. Tetapi, jika sebagian sudah menjalankannya, maka kewajiban itu gugur buat yang lain. Tetapi, jika musuh sudah memasuki negeri Muslim, maka jihad menjadi fardu ain, kewajiban untuk setiap individu Muslim.” (Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damascus: Dar al-Fikr, 1997).

Memang, beberapa cendekiawan ada yang kemudian mengkritik keras sikap al-Ghazali dalam soal Crusade. Dalam disertasi doktornya, Dr. Zaki Mubarak menyalahkan kecenderungan al-Ghazali terhadap sufisme sebagai sebab utama mengapa al-Ghazali tidak memainkan peran dalam jihad melawan pasukan Salib. Ia menulis: “Al-Ghazali telah tenggelam dalam khalwatnya, dan didominasi oleh wirid-wiridnya. Ia tidak memahami kewajibannya untuk menyerukan jihad.” Dalam bukunya, Abu Hamid al-Ghazali wa al-Tashawuf, ‘Abd al-Rahman Dimashqiyyah juga menyalahkan sufisme al-Ghazali.  Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyebut bahwa posisi al-Ghazali dalam Perang Salib masih dipertanyakan (puzzling). Tentang posisi al-Ghazali, Qaradhawi menulis, bahwa “hanya Allah yang tahu fakta dan alasan Imam al-Ghazali.”  (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Imam al-Ghazali Bayn Madihihi wa Naqidihi (Al-Mansurah: Dar al-Wafa’, 1988).

Posisi al-Ghazali
Adalah menarik, bahwa dalam karya terbesarnya, I?ya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali justru menekankan pentingnya jihad al-nafs. Walaupun tidak menempatkan satu bab khusus tentang jihad dalam Ihya’, al-Ghazali menekankan pentingnya jihad bagi kaum Muslim. Ia mengutip sejumlah ayat al-Quran yang menyebu tentang kewajiban jihad bagi kaum Muslim, seperti firman Allah SWT: “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas  orang-orang yang duduk.” (QS al-Nisa:95).

Dalam bab al-Amr bi al-Ma‘ruf wa an-nahyu ‘an al-Munkar al-Ghazali menyebutkan sejumlah hadits atau atsar (perkataan sahabat Nabi) tentang jihad. Dalam bab ini, al-Ghazali juga menekankan, bahwa aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar, adalah yang menentukan hidup-matinya umat Islam. Dalam karya-karyanya yang lain, al-Ghazali telah banyak menjelaskan makna jihad dalam arti perang, seperti dalam al-Wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam as-Shafi‘iy.

Ini dapat disimpulkan bahwa sebagai pakar fiqh,  al-Ghazali sangat memahami kewajiban jihad, dan ia telah banyak menulis tentang  hal ini. Wahbah az-Zuhayliy menyebutkan, menurut ulama ash-Shafi‘iyyah, jihad adalah perang melawan kaum kafir untuk menolong Islam. (huwa qital al-kuffar li nushrah al-Islam. Mengutip hadith Rasulullah saw, “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”, al-Zuhayliy menyebutkan definisi jihad: “Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi kaum kafir dan berjuang melawan mereka dengan jiwa, harta, dan lisan mereka.

Posisi al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib menjadi jelas jika menelaah Kitab al-Jihad yang ditulis oleh Syekh Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H),  enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami berguru kepada al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami adalah imam di Masjid tersebut  dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib.

Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad.  Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual”  kaum Muslim ketika itu.  Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib.

Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral”  dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan jihad melawan hawa nafsu. Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib.

Dalam naskah Kitab al-Jihad  yang diringkas oleh Niall Christie,  al-Sulami mengutip ucapan Imam al-Syafii dan al-Ghazali tentang jihad. Diantaranya, al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negeri terdekat, seperti Syria, misalnya. Jika musuh menyerang salah satu kota di Syria, dan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk menghadapinya, maka adalah kewajiban bagi seluruh kota di Syria untuk mengirimkan penduduknya untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai. (Dikutip dari “A Translation of Extracts from the Kitab al-Jihad of ‘Ali ibn Tahir Al-Sulami (d. 1106)” oleh Niall Christie. http://www.arts.cornell.edu/prh3/447/texts/Sulami.html.).

Jihad bil-ilmi
Jadi, al-Ghazali bukan tidak peduli dengan Perang Salib. Tetapi, kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah menyebabkan, seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan. Karena itulah, para ulama seperti al-Ghazali berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar. Caranya, dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud,  dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang  cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Itulah mengapa Kitab Ihya’ Ulumiddin diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu (Kitabul Ilmi).

Langkah al-Ghazali ini perlu direnungkan dengan serius. Ketika umat Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, al-Ghazali melakukan upaya penyembuhan secara mendasar. Sebab, sumber dari segala sumber kebaikan dan kerusakan adalah “hati/aqal”. Rasulullah saw bersabda:          “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb.” (HR Muslim).

Memperbaiki hati manusia haruslah dengan ilmu dan pendidikan yang benar. Karena itu, menyebarnya paham-paham yang merusak iman harus dihadapi dengan serius. Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi”  sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.”  (QS al-Hadid: 25).

Di masa hidupnya, al-Ghazali telah melakukan berbagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mengajarkan ilmu yang benar. Lebih dari itu, al-Ghazali juga memberikan keteladanan hidup. Meskipun ia berilmu tinggi dan mendapatkan peluang  besar untuk hidup mewah dengan ilmunya, tetapi ia justru memilih tinggal di kampungnya, di Thus. Di sanalah al-Ghazali mendirikan satu pesantren, membina para santrinya dengan ilmu dan keteladanan hidup yang tinggi. Dari upaya para ulama seperti al-Ghazali inilah kemudian lahir satu generasi yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Bukan hanya seorang Shalahuddin, tetapi satu generasi Shalahuddin, yang pada 1187 berhasil memimpin pembebasan Kota Suci Jerusalem dari cengekaraman Pasukan Salib. [www.adianhusaini.com]