Friday, 22 November 2024, 09:02

logo-gi-3 gaulislam edisi 142/tahun ke-3 (30 Rajab 1431 H/ 12 Juli 2010)


Bro en Sis, tanggal 12 Juli 2010 ini adalah hari petama masuk sekolah ya? Sip deh. Bagi kamu yang naik kelas, jadikan pelajaran kemarin untuk lebih baik lagi prestasinya. Kamu yang udah lulus sekolah juga dan masuk SMA atau kuliah, jadikan pengalaman selama belajar sebelumnya untuk evaluasi kita. Semoga menjadi lebih baik lagi segalanya.

Pepatah yang mengatakan bahwa “Pengalaman adalah guru yang terbaik”, kayaknya ada benarnya juga lho. Sumpah. Saya sering ngalamin kejadian begitu. Bisa kejadian buruk atau baik. Keduanya bisa dijadikan sebagai pengalaman untuk pelajaran pada waktu yang akan datang. Istilah kerennya sih, menjadi cermin gitu deh. Jadi bisa ngukur. Bisa membandingkan. Misalnya, hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Sebab, hari-hari kemarin setelah dievaluasi ternyata kita banyak ngelakuin kesalahan. Sehingga kesempatan hari ini dan hari esok harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Tidak mengulangi kesalahan apalagi menambah kesalahan baru. Jadikan sebagai pelajaran berharga bagi kita. Insya Allah.

Begitu pula sebaliknya, kalo itu pernah ngalamin kejadian yang menyenangkan tentang sesuatu, maka jadikan sebagai ukuran dan pelajaran berharga agar kejadian yang menyenangkan itu bisa terulang lagi, atau bahkan bisa lebih menyenangkan lagi. Tul nggak sih? Itu semua belajar dari pengalaman.

Di dunia sepakbola, seringkali pengalaman bertanding yang banyak bisa mengalahkan teknik dan strategi dari klub atau timnas yang belum pengalaman. Timnas Spanyol contohnya. Timnas Spanyol di Piala Dunia 2010 ini sebagian dihuni pemain yang punya pengalaman bertarung di kompetisi Eropa sebelumnya. Bahkan pernah menjuarai Piala Eropa 2008 yang di final mengalahkan Jerman melalui gol Fernando Torres. Banyak pengamat soccer menyebutkan bahwa pasukan yang dibesut Vicente Del Bosque ini punya pengalaman bertanding yang cukup. Pada semifinal Piala dunia 2010 melawan Jerman, Carlos Puyol dan kawan-kawan berhasil memupus mimpi juara pasukan muda Jerman yang ditangani Joachim Loew. Jerman menyerah. Maklum, pasukan mudanya, meski pada Piala Dunia 2010 menunjukkan agresivitas yang oke ketika melumat Inggris dan Argentina dengan skor telak, tapi sejatinya pengalaman bertanding mereka sangat kurang, apalagi melawan timnas Spanyol yang dihuni para pemain berpengalaman dalam kompetisi tersebut. Bahkan akhirnya Spanyol menjadi juara dunia untuk pertama kalinya setelah di final mengalahkan Belanda lewat gol tunggal Andres Iniesta.

Ngomongin soal pengalaman yang saya alami sendiri. Saya juga punya cerita lho. Kayaknya nggak seru kali ya kalo sampe saya pendem terus tanpa ada yang tahu. Begini ceritanya. Saya kadang agak nggak enak ati kalo ditanya sama peserta bedah buku atau acara talkshow lainnya yang saya isi: “Kang Oleh, gimana sih bisa nulis seperti di buku yang Kang Oleh tulis tersebut. Bahasanya lincah, mudah dipahami, ringan, inspiratif dan menghibur serta tanpa menggurui.” (perhatian: ini bukan narsis, tapi menyambung lidah beberapa peserta diskusi pada acara bedah buku saya. Yuhuuu! Hehehe…)

Menjawab pertanyaan yang cukup panjang ini, saya biasanya menjawab singkat saja: “Pengalaman.” Di antara mereka ada yang belum ngeh. Sehingga saya harus jelasin lagi. “Iya, saya bisa nulis seperti itu butuh waktu, butuh proses, dan juga kesabaran dan keuletan. Termasuk tentunya pengorbanan uang, tenaga, dan juga waktu.”

Karena menulis adalah keterampilan, saya ibaratkan belajar menulis seperti kita sedang belajar naik sepeda. Udah nggak keitung deh berapa kali saya jatuh dari sepeda, dapet pinjem, lagi. Saya pinjem sepeda dari adiknya nenek saya (berarti kakek saya juga istilahnya ya?) waktu di kampung halaman dulu. Saking pengen bisanya naik sepeda, saya paling bersemangat kalo adiknya nenek saya sowan ke nenek saya. Sepeda onthel yang biasa dinaikinya saya pinjem. Beliau baik banget dan tanpa ragu minjemin walaupun udah saya bilang untuk belajar dan udah tahu risikonya.

Wah, kebayang kan gimana jadinya tuh sepeda? Lampu depannya pernah copot, rantainya pernah lepas, pedalnya juga sempat ilang bautnya sehingga nyaris lepas. Itu terjadi karena saya sering kompakan jatuh bareng sepeda tersebut. Kalo sepedanya aja sampe babak belur gitu, tentu yang naiknya lebih parah lagi. Tapi demi cita-cita mulia (idih, cita-cita mulia, man!) pengen bisa mengendarai sepeda, lutut berdarah-darah, tangan baret-baret sampe badan pegal-pegal karena “jatuh-bangun” nggak terlalu dirasakan, apalagi dipikirkan. Jalan aja terus demi keinginan kuat: lihai naik sepeda.

Pengalaman “jatuh-bangun” itu saya jadikan sebagai pelajaran. Saya akhirnya bisa mengatur pengereman sepeda. Nggak tiba-tiba atau sekaligus direm. Tapi pelan-pelan. Cara belokkin stang, cara ngayuh alias ngegowes, dan terutama belajar keseimbangan badan saat mengendarai sepeda tersebut. Pengalaman jatuh itu pula yang kemudian membuat saya jadi lebih hati-hati di kemudian hari. Akhirnya, saya bisa naik sepeda.

Menulis juga sama. Pengalaman saya waktu pengen bisa nulis itu lumayan perih juga. Jangankan komputer, mesin tik aja nggak punya. Tapi semangat saya untuk bisa menulis lebih besar dari kendala yang saya hadapi. Maka, tak putus dihadang kondisi, saya cari cara untuk bisa belajar nulis. Cara yang paling mudah itu adalah menulis pake pulpen di kertas kosong yang saya miliki. Hasilnya, banyak catatan di buku hasil karya saya dalam menuangkan gagasan lewat tulisan, termasuk catatan utang ke warung nasi juga ada di situ. Hehehe… Itu saya lakukan setelah belajar pelajaran sekolah ketika duduk di bangku SMA. Jadi malam hari biasanya saya berlatih menulis. Menulis apapun sesuka saya, karena yang terpenting saya bisa menuangkan gagasan melalui tulisan.

Hanya saja, karena tulisan tangan saya itu mengalahkan cara dokter menulis resep, maka saya seringnya malah nggak bisa baca tulisan sendiri. Wacks! Bener. Maka, karena saya pikir kurang efektif, mulailah saya menulis pake mesin tik hasil pinjam dari teman saya. Jadi deh, saya yang paling sering minjem tuh mesin ketik. Satu halaman, dua halaman saya tulis. Dan, sejumlah itu pula saya buang tulisan tersebut karena saya merasa nggak sreg dengan tulisan saya sendiri. Rasanya memang jelek. Susunan katanya acak-acakan, nggak jelas ujung-pangkalnya, dan solusinya nyaris nggak ada. Halah!

Saya nggak peduli walau harus susah payah menulis dan membuang tulisan yang saya pikir kurang bagus. Terus dan terus begitu untuk berlatih menulis. Sambil tentunya saya mengasah wawasan menulis dari para penulis terkenal waktu itu melalui buku-buku mereka yang saya beli maupun pinjam dari teman. Wawasan dan keterampilan menulis saya akhirnya makin terlihat karena seringnya berlatih. Saya ‘contek’ gaya menulisnya Bung Emha Ainun Nadjib dari beberapa bukunya, di antaranya: Markesot Bertutur, Slilit Sang Kiai, Secangkir Kopi Jon Pakir, Dari Pojok Sejarah dan lain sebagainya. Selain Bung Emha, karya-karya lain juga saya baca seperti karya Bang Eka Budianta. Maka, proses belajar menulis saya mendapatkan pengalaman berharga dari para penulis terdahulu yang karyanya saya baca tersebut. Sungguh pengalaman belajar yang sangat langka dan memberikan pengaruh besar dalam upaya saya meniti karir menjadi seorang penulis.

Itulah mengapa saya berkeyakinan, bahwa saya bisa menulis seperti sekarang adalah memang karena pengalaman. Yup, bahwa pengalaman adalah guru terbaik yang bisa dijadikan ukuran dan bahan evaluasi dalam belajar meniti kesuksesan yang kita idamkan. Percayalah. Tak ada orang yang langsung bisa. Semuanya melewati proses, butuh waktu, butuh pengorbanan, dan jangan takut melalui kendala dan halangan-halangan. Bahkan bila perlu banyak mencoba hal baru untuk mencari pengalaman. Sebab, bukan mustahil hal baru itu akan memberikan pengalaman berharga bagi kita. Siapa tahu kan?

Jangan ragu, cobalah hal baru

Bro en Sis, waktu saya kelas 3 sampe kelas 5 SD (tahun 1983-1985), sering banget diajak sama ayah saya naik bis ke Jakarta. Paling nggak sebulan sekali. Maklum, ayah saya adalah seorang sopir bis AKAP (Antar Kota Antar Propinsi), trayeknya Kuningan-Jakarta. Dulu mah belum ada jalan tol Jakarta-Cikampek. Terus terminalnya juga masih di Cililitan. So, jauh banget kan? Bisa seharian di bis untuk perjalanan PP. Berangkat abis subuh, pulang lagi ke rumah menjelang isya. Lelah banget. Tapi, kelelahan saya itu terbayar dengan banyaknya pengalaman merasakan jauhnya perjalanan dan apa saja yang bisa dilihat di jalan. Lalu yang paling seneng dan membahagiakan adalah ketika menceritakan pengalaman tersebut ke teman-teman saya. Mereka sih terbengong-bengong aja sambil berusaha ngebayangin tentang kota Jakarta yang saya ceritakan.

Oya, sejak kecil saya termasuk senang ‘bertualang’ dengan hal baru. Selain pengalaman pergi ke kota dengan ayah naik bis, pengalaman belajar naik sepeda, saya juga sama ibu saya diajarkan untuk berjualan. Nah, saya waktu SD kelas 3 sampe kelas 6 setiap bulan Ramadhan pasti dikasih modal sama ibu saya untuk jualan. Jualannya juga keren. Mungkin kalo dulu saya udah kenal Adnan Kasoghi–pedagang senjata saat perang Iran-Irak itu—boleh juga masok barang dari dia. Ciee.. maklum waktu itu ibu saya modalin saya untuk berjualan petasan! Hehehe…

Sebulan penuh saya jualan petasan. Saya udah belajar prihatin sejak SD. Itu semua jadi pengalaman saya. Banyak pengalaman berharga yang saya dapatkan. Mulai bagaimana mencari tempat belanja dan barang yang murah, jenis petasan yang sedang jadi tren, sampe gimana masarin petasan itu agar lebih laku dijualnya. Belanjanya bareng ibu saya. Seminggu dua kali ke pasar. Jualan tiap hari mulai jam 4 sore. Sekalian ngabuburit. Waktunya buka puasa sampe shalat tarawih dan ikut tadarusan di masjid saya nggak jualan. Setelah itu sampe sekitar jam 10-an malam dilanjutkan lagi jualannya. Wah, seru deh. Saya yang jualin petasan, teman-temen saya yang ngebakarnya. Saya dapet duitnya. Temen-temen yang ‘ngasih’ duit ke saya. Dikumpulin tuh duit sampe lebaran. Jadi, ketika temen-temen dibelikan pakaian baru sama ortunya, saya malah bisa membeli pakaian sendiri selain yang dikasih dari ortu, plus bisa jajan di hari lebaran dan masih bisa nabung. Seneng banget deh. Ini kok jadi nostalgia ya? Halah!

Kebiasaan saya jualan kebawa juga sampe di SMA. Saya kebetulan sekolah di sekolah kejuruan kimia di Bogor, tapi karena padat dan harus konsentrasi belajar, saya baru bisa jualan mulai kelas 4, berarti tahun terakhir sekolah di sana. Waktu itu memang terdesak juga dengan kebutuhan hidup karena uang kiriman dari ortu di kampung sering telat dan kalo pun udah keterima, eh nggak nyampe hitungan sebulan uang tersebut udah habis. Bukan karena boros, tapi karena SPP di sekolah tersebut menurut saya cukup malah dan biaya hidup sebagai anak kos termasuk gede, lho. Apalagi jumlah uang yang dikirim juga ngepas banget. Maka, saya jualan nata de coco deh demi nambah-nambah uang saku. Barangnya saya ambil dari guru ngaji saya yang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Bogor yang juga wirausahawan. Duh, seru deh pokoknya. Itu yang harus saya lakukan jika tak ingin bokek di kota yang jauh dari ortu saya. Ya, saya menyadari karena saya anak pertama dan adik saya ada 5 orang yang juga masih sekolah dan ortu udah cerai. Jadi, saya yang harus berjuang lebih keras dibanding adik-adik.

BTW, ini sekadar berbagi aja ya. Bahwa pengalaman yang kita alami akan menjadi modal berharga bagi kehidupan kita di kemudian hari. Sampai sekarang pun, saya masih selalu mencoba dan ingin mendapatkan pengalaman baru. Maka, selain menjadi penulis, saya juga jualan buku saya dan pernah juga buku orang lain. Seru juga sih. Sebab, dengan menjalani aktivitas ini, saya jadi bisa dapetin pengalaman gimana berhubungan dengan pembaca atau konsumen lainnya. Saya bisa mengeksplorasi keinginan pasar, selain tentunya jadi banyak kenalan dan relasi dalam bisnis.

Bro en Sis, jangan pernah ragu untuk mencoba hal baru. Baik dalam kondisi “normal” alias nggak ada masalah lain yang mengharuskan terjun ke situ, maupun karena terpaksa mencoba hal baru itu dengan alasan terdesak kebutuhan hidup. Insya Allah pengalaman yang akan didapat menjadi sangat berharga. Dalam kondisi seperti ini, kita nggak bisa terus ngandelin ijazah atau gengsi karena menekuni pekerjaan yang bertolak belakang dengan keahlian bidang akademik yang diajarkan di sekolah atau perguruan tinggi tempat kita belajar.

Pengalaman memang guru yang terbaik. Sensasinya akan memberikan tambahan wawasan, tambahan informasi, dan tambahan inspirasi dalam menjalani kehidupan kita. Tak perlu ragu atau bimbang. Yakin sajalah. Karena tak ada yang sia-sia dengan pengalaman yang kita jalani jika kita mau mengambil hikmahnya, mengambil pelajarannya dan menjadikan sebagai evaluasi untuk kemajuan kita di masa yang akan datang. Jangan diam, ayo bergerak. Lakukan apa yang memang bisa kita lakukan. Kerjakan dengan ikhlas, kerjakan dengan keras, lakukan hingga tuntas dan tak kenal lelah. Juga, resapi setiap jengkal pengalaman hidup sebagai sesuatu yang sangat luar biasa yang akan mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik dan meraih ridha Allah Swt. Percayalah!

Tips singkat nih

Pertama, nikmati hidup dengan penuh ketenangan dan kesadaran. Yakinlah, bahwa kehidupan yang kita jalani tak selamanya lurus. Pasti ada saatnya melalui jalan berliku dan terjal. Kaki kita mungkin untuk kesekian kalinya harus terpeleset dan membuat tubuh kita terjerembab. Tapi, nikmatilah dengan tenang dan sadar. Bangkit kembali dan jangan down! Ketenangan akan membuat kita bisa mencari jalan keluar. Kesadaran akan memberikan dorongan bahwa apa yang kita alami adalah nyata, dan perlu waspada sehingga tidak terlena atau malah terpuruk. Jalani saja apa adanya sambil mencari solusi. Hadapi kenyataan sambil menghayati pengalaman apa yang akan menjadi pelajaran dalam hidup kita.

Kedua, berbagilah dengan yang lain. Ini penting lho. Sebab, dengan berbagi pengalaman kepada orang lain kita jadi merasa ada teman dan insya Allah sebagai ladang amal dan pahala karena bisa memberikan manfaat atau inspirasi bagi orang lain. Siapa tahu, mereka akan belajar dari pengalaman hidup kita. Susah atau senang, sedih atau gembira. Ceritakanlah. Bila perlu secara total.

Ketiga, ambil hikmahnya. Sebagian dari kita mungkin sering merasakan berbagai peristiwa yang dialami, tapi jarang yang bisa mengambil hikmahnya. Cobalah sejenak untuk berhenti. Renungkan perjalanan atau peristiwa yang kita alami. Ambil hikmahnya, jadikan sebagai pengalaman berharga. Agar ke depannya lebih baik dan lebih baik lagi. Insya Allah. So, tetap semangat menatap masa depan ya. Kita raih ridho Allah Swt. untuk kemuliaan hidup kita. [solihin: osolihin@gaulislam.com]

1 thought on “Pengalaman adalah Guru Terbaik

  1. manusia yg waras sdh pasti menginginkan kehidupan yg lebih baik dari kehidupannya yg sekarang,oleh sebab itu jadilah manusia yg benar2 “waras”…oke..

Comments are closed.