Thursday, 21 November 2024, 23:35

logo-gi-3 gaulislam edisi 149/tahun ke-3 (20 Ramadhan 1431 H/ 30 Agustus 2010)


Suatu siang di kota Hujan, gue berada di antara ribuan angkot yang berjubel memenuhi jalanan. Gue kejebak macet di Pasar Anyar. Di tengah macet parah, gue melamun. Sambil mata gue ngeliat keluar angkot dan gue dapatin sederet pedangang lengkap dengan barang dagangannya, berusaha memikat pembeli, dan selalu aja ada orang yang mampir atau paling tidak milih-milih dan cuma nanya harga doang. Beberapa saat kemudian baru gue nyadar ternyata emang ada yang beda dengan pemandangan ini. Jumlah barang yang didagangkan lebih banyak, jumlah orang yang lalu lalang juga lebih banyak, macem/jenis dagangan juga lebih bervariasi. Jelas banget kalo pasar yang tiap hari gue lewatin ini, emang sekarang nampak lebih hidup. Nggak ada yang istimewa akhir-akhir ini, kecuali… sekarang bulan puasa, iya bulan puasa!

Hmm… jadi inget gue obrolan dengan temen soal keberhasilan doi jualan HP dengan keuntungan per unit yg cukup lumayan, plus perkembangan dagang dia dan rencana-rencana ke depan. Masih inget juga berita pagi ini soal harga sembako yang beranjak melangit, dan yang paling gress adalah harga tiket yang naik ugal-ugalan dibanding tahun kemaren. Hei guys, this all happened during Ramadhan. Ya ini adalah kondisi klasik Ramadhan di negeri kita. Sepertinya tidak ada yang baru dari fakta yang gue sodorin, karena emang kita udah biasa banget ngadepin suasana seperti ini. Menyedihkan ya? Loh kok menyedihkan?

Kapitalisasi dalam agama kita

Gue yakin kapitalisme bukanlah kata baru lagi bagi kamu, tapi mari kita samakan pemahaman dulu sebelumnya. Kapitalisme gue definisikan sebagai sistem ekonomi dimana produksi barang dilakukan oleh individu/private (bukan negara) dan dilakukan semata untuk tujuan profit. Supply dan demand, harga dan investasi semuanya juga dikendalikan oleh sektor private (bukan negara) dalam sebuah pasar bebas (pasar dengan persaingan bebas tanpa aturan).

Melonjaknya harga hampir pada semua sektor, perputaran uang yang lebih cepat, pergerakan sektor riil di pasar-pasar tradisional mengindikasikan bergairahnya pasar, meningkatnya demand (permintaan) masyarakat yang pada kahirnya memicu kenaikan harga berantai. Bila harga menjadi tinggi, beban hidup yang harus diemban masyarakat juga semakin berat dan susah. Menyedihkannya kondisi ini terjadi setiap tahun, ketika Ramadhan, Bro!

Kapitalisme diam-diam telah mencemari suasana khusyuk Ramadhan kita. Bulan yang seharusnya mengajarkan kita bagaimana menghargai rasa lapar dan haus. Bulan dimana kita ditempa untuk mampu mengendalikan diri dengan lebih baik, ternyata malah sebaliknya. Statistik menunjukkan tingkat konsumerisme masyarakat kita yang melonjak tajam, justru selama bulan Ramadhan. Keuntungan mengalir bak air bah ke pemilik modal kuat, dimana mereka telah mempersiapkan diri untuk mengkapitalisasi Ramadhan.

Hingar-bingar industri Ramadhan merambah juga sektor media elektronik, hal ini ditandai dengan banyaknya stasiun TV yang me-launching program special Ramadan. Dari program yang bersifat religi, film hingga komedi digelar bak dagangan di pasar pagi. Setiap hari acara-acara inilah yang menemani sebagain besar muslim di Indonesia dalam melalui waktu sahur dan buka puasa kita. Hampir bisa dipastikan selama sahur dan buka puasa, TV dinyalain, entah ditonton atau tidak, di jutaan rumah muslim di Indonesia. Dengan kondisi semacam ini, stasiun TV memiliki kesempatan emas untuk bisa mencetak box office dari program/acara yang mereka tayangkan, yang pada akhirnya membawa keuntungan besar bagi stasiun TV dari para pengiklan yang berebut jatah tayang iklan walaupun dengan harga premium.

So, nggak heran kalo selama Ramadhan, penjualan baju dan aksesoris muslim juga meningkat. Tradisi menggunakan baju baru selama lebaran, emang nggak ada matinya. Artis, politikus dan para pelakon TV pun seketika didandanin islami selama bulan Ramadhan. Acapkali para public figure ini, menggunakan momentum Ramadhan untuk mengenalkan “trend fasion” baru. Kalo kamu udah berencana bakal pake baju koko lengan pendek, dipadu dengan sandal model ‘croc’ dan tentengan HP QWERTY, gue jamin, tahun ini kamu bakal mati gaya abis, karena emang gaya seperti ini yang lagi laku banget saat tulisan ini dibikin. Bisa kebayang nggak kalo 50% aja muslim pake gaya beginian waktu lebaran, boring banget kan ngelihatnya? Inget, Allah saja menciptakan setiap manusia unik, alias nggak ada yang sama. So, kamu nggak perlu ikut-ikutan deh. Karena gue yakin nggak ada satupun sobat gaulislam yang pengen tampilan lebarannya “pasaran” banget kan?

Pelajaran Ramadhan

Sobat muda muslim, emang kesel, risih, gemes, sebel dan entah kosakata apalagi untuk menggambarkan keprihatinan kita tentang kondisi kaum muslimin saat ini, khususnya di bulan suci Ramadhan. Gimana nggak kesel, gimana nggak sebel, kalo Ramadhan nggak bisa membekas dalam kehidupan kita. Cuma numpang lewat dalam hidup kita. Kalo pun kita berupaya menyambutnya, tapi itu pun sekadar “dalam rangka”. Jadi ketika Ramadhan berlalu, kita balik lagi ke selera asal. Bah!

Ramadhan mengajarkan pada kita untuk mampu mengendalikan diri, mengendalikan rasa haus dan lapar yang merupakan ‘basic needs’ manusia, juga mengendalikan hawa nafsu yang sebagian besar melekat pada kenikmatan dunia. Pelajaran utama Ramadhan adalah untuk mengendalikan ‘keduniaan’ kita untuk lebih fokus pada akhirat kita. Dalam kenyataannya, yang terjadi adalah kita justru lebih terfokus ke hal-hal duniawi selama bulan Ramadhan dibanding bulan lainnya. Sehingga muncul pertanyaan besar, bagaimana kualitas keislaman kita? Apakah layak kita disebut sebagai muslim yang kuat? To be honest, kita sangat lemah Bro!

Selama Ramadhan seharusnya tingkat konsumsi kita menurun, karena makan dibatasi dan ketika kita ‘lemes’ keinginan lainnya pun menjadi berkurang. Kalo kita puasa, seharusnya perut kita jadi lebih kecil (cepet kenyang) bukan malah sebaliknya. Selama Ramadhan fokus kita lebih banyak ke akhirat, bukan malah sebaliknya. Jadi dalam kondisi yang ideal, selama Ramadhan, harga-harga menjadi lebih murah (turun) karena demand berkurang, acara TV juga berkurang jam tayangnya karena orang pada males nonton TV, karena lebih seneng ke mesjid dan pengajian.

Ramadhan juga mengajarkan ketika manusia mulai menginjeksi tradisi baru dalam agama ini, seabrek masalah pun mucul. Kalo kita tengok kembali ajaran tentang Ramadhan bukanlah seperti yang kita rayakan selaman ini. Nggak ada tuh perintah untuk pake baju baru selama lebaran. Nggak ada perintah dalam agama ini untuk ngabuburit ataupun sekatenan di Jawa. Nggak ada juga perintah menjual dan nyalain petasan. Bro en Sis, ketika tradisi sudah disandingkan dengan syariat, maka kehancuranlah yang akan terjadi.

Kehancuran yang disebabkan percampuran antara yang haq dengan yang bathil bukanlah hal yang baru. Berapa banyak kaum terdahulu yang mengalami kehancuran disebabkan mereka mencampur-adukkan antara yang haq dengan yang bathil? Ingatlah: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS al-An’am [6]: 82)

Khulasooh (alias kesimpulan)

Bro en Sis, kondisi Ramadhan tiap tahun yang kita lalui cukuplah menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk sadar bagaimana lemahnya keislaman kita. Wasapadai semua hal yang ditambahkan ke dalam agama ini, baik yang dianggep sebagai tradisi ataupun budaya. Kalo hal itu nggak bertentangan emang nggak masalah. Cuma nggak semua yang tidak bertentangan tersebut tidak bermasalah pada akhirnya. Tidak mudah mengubah budaya Ramadhan di Indonesia, apalagi budaya yang telah diwariskan turun temurun. Allah berfirman (yang artinya): “Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS al-Baqarah [2]: 170)

Sobat muda muslim, memang kaum muslimin nggak salah-salah banget dalam kondisi ini. Karena kelakuannya pun lebih banyak disetir oleh sistem kehidupan saat ini. Sistem kehidupan kapitalisme-sekularisme yang udah berurat-berakar ini menjadikan kaum muslim banyak yang nggak kenal dengan ajaran agamanya sendiri. Banyak di antara kita yang lebih patuh dan ridho diatur oleh kenyataan saat ini, ketimbang mempertahankan akidah Islam kita. Itu sebabnya, nggak berlebihan dan memang pantas dan pas kalo kita mulai mencintai Islam. Ramadhan ini saat yang ideal untuk come back kepada Islam. Mempelajarinya, memahaminya, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Jangan lupa juga,supaya lebih mantap, apa yang udah kita pelajari, sampaikan lagi deh ke teman-teman yang lain agar mereka juga jadi ikutan sadar. Syukur-syukur malah jadi lebih baik lagi penguasaan ilmu dan wawasan islamnya. Ok?

Bro en Sis, berhentilah menambahkan tradisi nggak berguna kedalam Agama kita. Tidak perlu kita mengulangi kesalahan yang sama seperti kaum-kaum sebelum kita. Wapadai komersialisasi selama Ramadhan, jangan mau kita dijadikan obyek eksploitasi.

Mari kita retas Ramadhan dengan cara yang benar, sesuai yang maksud oleh syariat Islam. [aribowo: aribowo@gaulislam.com]

1 thought on “Industri Ramadhan

Comments are closed.