gaulislam edisi 684/tahun ke-14 (15 Rabiul Akhir 1442 H/ 30 November 2020)
Biarin deh bahasanya campur-campur kayak gado-gado. Namun, intinya sih, moga kamu ngerti. Kalo nggak, ya kebangetan, dah! Pantes atau bahasa bakunya pantas, mestinya kamu ngerti ya. Itu kan bahasa Indonesia. Kalo “or”? Ah, aneh aja kalo sampe nggak tahu. Hehehe… pasti kamu tahu, kan? Ok. Itu artinya “atau”.
Nah sobat gaulislam, pada edisi kali ini saya mau ngajak kamu berpikir sedikit, eh, tapi berpikir banyak juga boleh, kok. Jadi begini, dalam kehidupan kita, di sekitar kita, akan selalu ada yang namanya istilah “pantes or nggak pantes”. Misalnya mungkin kamu pernah denger, ya. “Nggak pantes sih, anak cewek diajak jalan ama anak cowok, malam-malam, pula.” Intinya, orang yang ngelihat fakta ini ngerasa bahwa itu jelas nggak pantes. Ini belum bicara boleh apa anggak, hukumnya halal atau haram. Catet lho, ya.
Tuh, dari segi “pantes or nggak pantes” aja udah ada penilaian. Kayaknya ini standar yang paling mudah dalam menilai sesuatu. Secara umum, lho ya. Walau tentunya ada aja celah yang bisa dijadikan alasan, “tergantung orangnya”. Idih, orangnya siapa itu yang digantung? Hehehe.. bahasanya aneh, ya.
Contoh lain nih ya. Menurut kamu, pantes nggak sih kalo seseorang pake celana pendek doang saat ke kantor tempatnya bekerja atau ke kondangan? Apalagi kalo pake dasi dan jas, tapi celananya pendek. Kira-kira diapain nih orang? Masih mending nggak dibully juga. Artinya, fakta tersebut nggak pantes dilihat. Tentu bedasarkan keumuman pendapat orang.
Ada contoh lain? Ada, gimana menurutmu kalo kita yang cowok shalat cuma pake kaos oblong dan sarung doang? Kalo dari segi hukum sih, ya insya Allah sah shalatnya, yang penting aurat nggak nampak. Namun, pantes nggak sih kita beribadah dengan pakaian model gitu? Mau kondangan aja rapi. Ke kantor rapi. Ke sekolah rapi. Kok pas shalat cuma gitu doang? Betul apa bener?
Kalo kamu ngedudukin pecimu saat di mushola dan asyik ngobrol, kira-kira pantes nggak? Nggak pantes, kan? Terus, pantes nggak sih kalo kita asyik ngobrol saat guru serius menjelaskan materi pelajaran di depan kelas? Kalo ada yang bilang pantes, berarti otaknya udah turun ke dengkul.
Lalu, pantes nggak sih kalo kita marah-marah sama ortu? Ini belum bicara hukum lho, ya. Menurut hukum jelas ada konsekuensinya. Ini, soal pantes nggak pantes aja, pastilah anak yang marah ke ortunya itu akan dibilang nggak pantes. Paham ya?
Kasus lainnya begini, ada cucu yang ngelunjak sama kakeknya, ngata-ngatain bernada meledek (walau mungkin maksudnya bercanda), kira-kira menurut kamu pantes nggak? Kalo saya sih, haqul yakin bahwa kelakuan sang cucu itu nggak pantes. Apalagi ngata-ngatain bernada meledek, semisal, “Gimana nih Pak Haji, diajak ngobrol malah ngantuk?”. Ini cucu terkategori kurang ajar menurut saya. Bukan lagi sekadar nggak pantes.
Menurut kamu, kalo ada anak rohis yang pacaran, pantes nggak? Pasti bilang nggak pantes. Iya, kan? Apa sebab? Ya, karena mestinya anak rohis yang identik paham agama itu kalo ngelakuin pacaran ya aneh aja sih. Dosa udah tahu tapi kok malah ngelakuin pacaran. Nah, berarti bukan saja nggak pantes, tetapi emang secara hukum, itu berdosa. Betul, kan?
Mencaci maki orang shalih atau ulama? Jelas nggak pantes, lah. Apalagi yang mencaci maki atau yang melecehkannya adalah orang awam. Apa sih kelebihan kita sehingga berani melecehkan para ustaz, orang-orang shalih, apalagi para ulama? Mikir deh!
Ok deh, masih banyak lagi kalo soal bicara pantes nggak pantes, ya. Kita umumnya punya kesepakatan. Walau, tentu saja, kadang ukuran pantes or nggak pantes di satu etnis dengan etnis lainnya berbeda. Ukuran pantes or nggak pantes di satu masyarakat dengan masyarakat lainnya berbeda, untuk satu kasus.
Lha, terus piye? Tenang, kita, kaum muslimin punya pegangan. Apa itu? Ada al-Quran dan as-Sunnah. Selain itu ada ijma shahabat dan qiyas para ulama. Jadi, persoalan pantes or nggak pantes untuk menilai suatu perbuatan itu hanya tahap awal, dan umumnya universal. Jadi intinya, kalo menurut ukuran pantes or nggak pantes aja udah jelas nilainya, tentu saja kalo menurut hukum syariat Islam pasti lebih jelas dan tegas lagi nilainya.
Syariat membawa maslahat
Sobat gaulislam, bagi kita, kaum muslimin, nggak ada aturan yang benar selain aturan Islam, syariat Islam. Sebab, Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS Ali Imran [3]: 19)
Ayat ini menegaskan bahwa memang hanya Islam yang diridhoi di sisi Allah. Selain Islam? No way!
Beneran! Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran [3]: 85)
Di ayat ini lebih jelas dan tegas lagi kan, ya. Kalo nyari agama selain Islam, maka di akhirat akan rugi. Artinya apa? Artinya, memang agama selain Islam nggak diterima dan di akhirat dapat neraka. Naudzubillahi min dzalik.
Syariat Islam itu membawa maslahat alias kebaikan untuk manusia. Sekarang dalam soal nasab aja, Islam mengatur betul jangan sampe nggak jelas anak siapa. Maka, ada pernikahan. Aturan ini jelas menyelamatkan manusia. Membawa maslahat alias kebaikan. Dalam Islam, anak itu dinisbatkan kepada ayahnya: fulan bin fulan atau fulanah binti fulan.
Oya, kamu tahu istilah nisbah/nisbat? Gini, penggunaan nisbah pada praktiknya adalah memberikan tambahan keterangan spesifik pada nama seseorang, yang mana tambahan tersebut menunjukkan tempat asal, suku, atau keturunan.
Sedih nggak sih kalo tiba-tiba kamu ditanya: “Anak siapa?” Kalo nggak jelas asal-usulnya kan bikin malu en minder. Mungkin ada yang bilang “anak haram”. Idih, sebenarnya tega juga ya kalo sampe dibilang anak haram. Karena anak mah nggak tahu apa-apa. Bapak-ibunya aja yang nggak tahu diri. Biasanya di masyarakat yang disebut dengan anak haram adalah anak hasil perzinahan.
Tapi bila jelas dan kita tahu, bisa dengan pede dan bangga menjawab pertanyaan tersebut, “Saya anak fulan bin fulan”. Jadi, emang penting kan kejelasan nasab alias keturunan. Itu sebabnya, sebagai agama sekaligus ideologi, Islam memperhatikan juga masalah keturunan ini.
Syariat Islam juga membawa maslahat untuk memelihara akal manusia. Dalam Islam, yang membedakan manusia dengan makluk lainnya adalah karena manusia dianugerahi akal oleh Allah Ta’ala. Sehingga bisa berpikir. Manusia tuh punya otak sekaligus akal. Dan, Islam memeliharanya dengan sangat baik.
Allah telah menjadikan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS at-Tiin [95]: 4)
Islam emang memelihara akal, yakni dengan mencegah dan melarang dengan tegas segala perkara yang merusak akal seperti minuman keras (muskir) dan narkoba (muftir) serta menetapkan sanksi hukum terhadap para pelakunya. Di samping itu, Islam mendorong manusia untuk menuntut ilmu, melakukan tadabbur, ijtihad, dan berbagai perkara yang bisa mengembangkan potensi akal manusia dan memuji eksistensi orang-orang berilmu.
Miras nih, bisa ngerusak akal, lho. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS al-Maaidah [5]: 90-91)
Ini termasuk narkoba, lho. Apa pun jenisnya; dari mulai ganja alias cimeng, heroin, kokain, ekstasi, sabu-sabu, putauw dan saudara-saudaranya itu adalah barang haram. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Segala yang mengacaukan akal dan memabukkan adalah haram” (HR Imam Abu Daud)
Nah, sekarang kita lihat dari sisi pantes or nggak pantes. Emang kalo ada orang berzina, pantes nggak? Jelas nggak pantes. Apalagi dari sisi hukum Islam. Jelas dosa. Haram dilakukan. Itu artinya, nggak pantes pula kalo ada seorang istri suaminya lebih dari satu alias poliandri. Gimana nentuin anak siapa kalo dia punya anak, sementara suaminya banyak? Jelas, ya.
Coba, kamu mikir deh, pantes nggak kira-kira ada orang yang mabuk setiap hari. Dilihat dan dicap orang sebagai sampah masyarakat. Apa nggak malu keluarganya? Jelas nggak pantes, kan? Nah, apalagi kalo menurut syariat Islam. Itu perbuatan haram. Dosa. Jelas terlarang bagi seorang muslim, bukan sekadar nggak pantes. Sampe sini paham, ya. Awas, jangan sampe kamu melakukan perbuatan maksiat ini. Waspadalah!
Oya, dalam Islam, kehormatan manusia dijunjung tinggi. Ini membuktikan bahwa syariat Islam membawa maslahat. Membawa kebaikan. Ya, Islam sangat menjaga kehormatan manusia. Ada aturan mainnya lho dalam Islam. Nggak bisa sembarang nuduh orang berbuat maksiat kalo belum ada bukti lengkap. Nggak boleh juga saling mencela. Ah, Islam emang keren, Bro!
Bayangin deh kalo nggak ada aturan atau ajaran untuk saling menghormati sesama manusia, pasti dunia ini terasa kering, dan bahkan menjadi tempat yang menakutkan bagi kita. Gimana nggak, sumpah serapah dan caci maki antar manusia bisa aja menjadi hal yang wajar, bahkan ngejelek-jelekkin orang sesuka hatinya juga tumbuh subur di tengah masyarakat, mencela dan memfitnah menjadi menu harian masyarakat kita. Duh, nggak kebayang gimana jadinya kehidupan kita. Kayak sekarang, lah. Sumpah serapah, caci maki terus diproduksi dan didistribusikan di media sosial. Parah!
Oke, masih banyak kemaslahatan yang dibawa oleh syariat Islam. Cukup segini aja dulu, ya. Ini pun sekadar ingin menunjukkan bahwa syariat Islam itu membawa kebaikan. Artinya, kalo nggak diterapkan syariat Islam, pasti akan banyak keburukan dan kemaksiatan yang dilakukan manusia. Terbukti sekarang ini. Jangankan yang udah jelas hukumnya: halal dan haram. Ukuran pantes or nggak pantes aja banyak dilakukan orang kebanyakan saat ini. Menyedihkan.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua agar bisa istiqomah bersama Islam. Menjadikan Islam sebagai ideologi, sebagai the way of life. Sehingga bisa menjalani kehidupan kita dengan tuntunan syariat yang membawa maslahat, bukan sekadar pantes or nggak pantes.
Yuk, sadar diri dan giat belajar Islam. Amalkan ilmu yang didapat, dan dakwahkan agar tersebar manfaatnya. Semangat! [O. Solihin | IG @osolihin]