gaulislam edisi 186/tahun ke-4 (12 Jumadil Akhir 1432 H/ 16 Mei 2011)
Ayu memandang lama ke arah kaca, ia terkejut sekali mendapati jerawat bermunculan di wajahnya. Sebenarnya, hal ini lumrah-lumrah saja, toh usia Ayu kan masih tujuh belas tahun, ketidakseimbangan hormon yang berefek timbulnya jerawat masih terjadi dalam tubuhnya. Meskipun begitu, bagi Ayu, hal ini tidak dapat didiamkan.Tak ada maaf untuk jerawat yang bertebaran di pipinya! Ayu putar otak, apa ya yang harus ia lakukan untuk menyingkirkan musuh kecantikannya ini?
Ia ambil laptopnya, diketikkannya sebaris kata kunci “jual obat jerawat” di kolom pencarian search engine terbaik sejagad, Google, dan muncullah sederet tautan ke online shop yang menjajakan berbagai merek obat jerawat. Harga obat jerawat berbagai merek itupun beragam, mulai dari Rp. 30.000,- sampai ratusan ribu rupiah. Ayu bingung harus pilih yang mana, jadi ia putuskan untuk minta rekomendasi Eka, sahabatnya yang tajir dan berkulit licin bak berlapis lilin itu. Pasti Eka lebih tahu!
Saat ia tanyakan obat jerawat apa yang sebaiknya ia pakai, Eka justru menjawab, “Aduh, jangan pakai sembarang obat deh Yu, ikut aku aja ke klinik kecantikan di Mal XX. Tuh mumpung lagi ada promo 50% off. Cuma berlaku sampai akhir bulan lho, kapan lagi kita bisa perawatan di klinik mahal dengan biaya semurah itu.”
Singkat kata, keduanya bertemu di klinik mewah di salah satu pusat perbelanjaan paling high end di Jakarta. Belum apa-apa, poster besar bergambar artis langsing berkulit putih, kinclong,- dan bebas jerawat tentunya- sudah nampang di etalase klinik itu. Senyum ramah si mbak penjaga counter menyambut Ayu dan Eka. Si Mbak penjaga counter yang berwajah putih, cantik, dan mulus itu menawarkan paket perawatan anti jerawat pada Ayu. Ia katakan bahwa produk kecantikan yang dipakai di kliniknya aman, dipakai oleh para selebritis, dan sangat efektif mencegah jerawat.
Gambar-gambar di brosurpun mendukung pernyataan si Mbak counter. Ayu merasa yakin, inilah solusi bagi masalah jerawatnya. Ia menyanggupi untuk ikut paket perawatan yang ditawarkan si Mbak tanpa menanyakan apakah pemakaian obat dan peralatan di klinik tersebut diawasi oleh dokter spesialis kulit dan kelamin atau tidak, apakah produk dan alat tersebut memenuhi standar keamanan Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI) atau tidak, apakah mendapatkan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau tidak. Sudahlah, nggak penting itu, toh yang lain juga udah banyak yang pake! Begitu pikir Ayu.
Sempat agak shock juga ketika Ayu disodori nota pembayaran sebesar tiga juta rupiah untuk lima kali perawatan. Berarti sekali datang, Ayu harus bayar enam ratus ribu rupiah. Uang saku dua bulan bo’! “Ya, sudahlah nggak masalah, cantik itu memang butuh pengorbanan. Harga normalnya kan emang enam juta untuk lima kali perawatan, murah dong!” Batin Ayu.
Karena termotivasi untuk jadi cantik, putih, mulus, dan bebas jerawat, Ayu rajin datang ke klinik tersebut dan rutin membeli semua produk yang ditawarkan oleh beautician yang menanganinya. Kulit kusam dan berjerawatnya memang berubah jadi putih, kinclong, dan mulus hanya dalam hitungan minggu. Produk dan perawatan di klinik itu memang hebat!
Jangan mudah percaya iklan
Tetapi beberapa bulan kemudian Ayu memutuskan untuk berhenti memakai produk itu karena stabilitas keuangannya terganggu alias tongpes (kantong kempes). Setelah menghentikan pemakaian, kulitnya makin hari makin kusam dan timbul flek-flek hitam. Ada apakah gerangan? Ayu mencari tahu. Ketika browsing di internet, ia temukan sebuah artikel yang menyebutkan bahwa produk krim pagi dan krim malam dari klinik ternama yang jadi langganannya itu termasuk dalam kategori kosmetik berbahaya.
Pertanyaan Ayu terjawab! Klinik kecantikan tersebut ternyata tidak memiliki ijin resmi, tidak beroperasi di bawah pengawasan dokter spesialis kulit dan kelamin, dan beberapa produknya mengandung merkuri, asam retinoat, dan zat warna rhodamin dengan kadar yang jauh melampaui ambang batas pemakaian yang diperbolehkan serta sangat berbahaya bagi kesehatan. Efek jangka panjang ketiga zat ini bahkan lebih fatal lagi…
Masa’’? Emang sefatal apa sih efeknya? Eh, emang fatal banget lagi! Ibu Zullies Ikawati, guru besar ilmu farmasi di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menjelaskan dalam blognya www.zulliesikawati.wordpress.com bahwa ketiga zat tersebut dapat menyebabkan iritasi pada kulit, kerusakan ginjal, gangguan syaraf, gangguan pada janin, bahkan kanker. Ngeri kan?
Ibu Zullies, mengutip edaran BPOM dalam blognya, menyebutkan bahwa beberapa produk yang dipakai di Natasha Medicated Skin Care Yogyakarta mengandung asam retinoat. Selain itu, masih ada beberapa produk bermerek terkenal yang sempat ditarik dari pasaran karena mengandung merkuri, seperti Olay Total White produk Malaysia dan Pond’s Age Miracle produk Thailand/Singapura.
Selain berbahaya, produk kecantikan juga belum tentu halal. Bahan-bahan seperti kolagen, plasenta, cairan amnion, lemak, vitamin, asam alfa hidroksi, dan hormon yang terkandung dalam kosmetik juga perlu diperhatikan kehalalannya. Kolagen misalnya, ternyata nggak hanya diekstrak dari sapi. Bahan ini juga bisa diekstrak dari babi. Jadi jika membeli produk kosmetik berkolagen, perhatikan dulu ada label bovine colagen (kolagen sapi) atau nggak di labelnya agar kita yakin bahwa produk berkolagen tersebut halal. Selain itu, kosmetika berbahan dasar plasenta manusia seperti yang pernah diproduksi oleh La Tulipe (PT. Rembaka, Sidoarjo, Jawa Timur), St. Ives, Musk by Alyssa Ashley, Snow White Lily (Yoshihiro Clinic, Tokyo-Japan) juga dijatuhi fatwa haram oleh MUI (Fatwa MUI No. 2, Munas IV 30 Juli 2000). Zat-zat lain yang dibuat dengan media hewan yang diharamkan atau diekstrak dari hewan yang haram maupun dari organ manusia juga haram hukumnya.
Bedakan antara keinginan dan kebutuhan
Ayu pada dasarnya sudah cantik. Ia wanita Indonesia, wajar lah kalau kulitnya sawo matang. Usianya baru tujuh belas tahun, wajar juga lah kalau satu-dua biji jerawat nongol, kulitnya juga nggak bakalan kusam kalau ia rajin merawat dan membersihkannya, salah satu cara membersihkannya dengan tanpa risiko ya dengan cara berwudhu. Insya Allah.
Apakah Ayu butuh kolagen dan plasenta untuk mencegah kerutan pada wajah? Butuhkah ia pada whitening cream dan berbagai macam serum yang membuat kulitnya awet muda? Belum juga kan? Nah, maka tindakan Ayu hanya dilatarbelakangi oleh berbagai keinginan: keinginan untuk tampil cantik, keinginan untuk dipuja teman sebayanya, keinginan untuk tampil menarik di hadapan lawan jenis yang disukainya, dan sebagainya, jadi tindakannya itu tidak diambil dengan latar belakang kebutuhan. Nah, sekarang udah jelas kan beda antara kebutuhan dan keinginan? Apa? Belum juga?! Gubrak!
Jika ditelusuri lebih jauh lagi, ternyata nih, ada semacam mekanisme “kontrol sosial” yang menyebabkan Ayu melakukan perawatan kecantikan di klinik yang memakai produk mahal dan berbahaya tersebut.
Apaan tuh kontrol sosial? Kontrol sosial di sini dimaknai sebagai dorongan dari berbagai pihak di luar diri Ayu yang “memaksa”nya untuk melakukan tindakan konsumtif. Sebagian dari kamu bisa aja komentar: “Ih, emang kita mau dipaksa-paksa beli? Nggak lah ya!”
Eits, sebentar, sebentar, jangan nyolot dulu. Bisa kok kita di”paksa” beli, di”paksa” dengan cara halus tentunya. Suatu komunitas akan menganggap kita nggak “gaul” kalau tidak mengikuti gaya hidup para anggota komunitas itu. Mau nggak mau akhirnya kita mengikuti gaya hidup suatu komunitas agar diterima menjadi anggotanya, salah satu cara kita untuk menyamakan diri dengan para anggota komunitas itu adalah dengan meniru gaya hidup mereka dan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan.
Bro en Sis, kita juga bisa dipaksa melakukan tindakan konsumtif melalui “serangan” pada imej diri kita, misalnya: mama Ayu selalu bilang “kok kamu jerawatan sih, cewek berjerawat itu jelek lho.”
Jika Ayu tidak punya konsep diri yang kuat, Ayu dengan otomatis akan menciptakan imej bahwa dirinya jelek karena wajahnya ditumbuhi jerawat. Jadi, agar dianggap cantik, Ayu harus menghilangkan jerawatnya dengan berbagai cara; salah satu cara menghilangkannya adalah dengan “terpaksa” membeli produk kosmetika mahal atau mengikuti paket perawatan kecantikan yang cukup menguras isi kantong. Hmm… kamu gitu juga nggak?
Oya, ibandingkan kedua “paksaan” tadi, tampaknya iklanlah media yang paling “ampuh” untuk memaksa kita mengkonsumsi suatu produk. Dalam iklan ditanamkan persepsi bahwa cantik itu harus putih, mulus, tanpa jerawat. Awalnya penyebaran propaganda ini dilakukan hanya demi melancarkan penjualan produk kosmetik anti jerawat yang ditawarkan perusahaan tertentu, namun lama-kelamaan propaganda ini diserap konsumen dan pandangan umum masyarakat tentang kecantikan pun perlahan-lahan bergeser menjadi: cantik itu putih, mulus, tanpa jerawat.
Lalu, kita nggak boleh cantik gitu? Nggak boleh beli kosmetik mahal? Nggak boleh perawatan kecantikan? Nggak gitu juga sih maksudnya. Boleh kok kita cantik, tapi jangan konsumtif. Kita harus pandai-pandai mempertimbangkan apakah alasan kita membeli suatu produk kosmetik tertentu itu kebutuhan atau hanya sekadar menuruti keinginan alias nafsu sesaat saja. Lihat juga produk tersebut aman atau tidak, halal atau haram, jangan hanya tergiur janji-janji setinggi langit yang ditampilkan dalam bentuk iklan. Waspada!
Nah, sobat muda, mulai sekarang bijaksanalah dalam menggunakan uang, jangan boros (apalagi dalam Islam dilarang tabzir), dan jangan jadi korban iklan. Sip deh! [riana irawati: anata_ga_mitai@yahoo.co.id]
sejatinya wanita memang sudah dikodratkan cantik oleh Alloh, dan hnya boleh bersolek utuk suami, anak dan keluarganya