Friday, 22 November 2024, 12:26

Ketika beberapa orang sahabat Nabi Saw. mengamati keadaan bulan yang sedikit demi sedikit berubah dari sabit ke purnama, kemudian kembali menjadi sabit dan kemudian menghilang, mereka bertanya kepada Nabi, “Mengapa demikian?” Al-Quran pun menjawab,

Yang demikian itu adalah waktu-waktu untuk manusia dan untuk menetapkan waktu ibadah haji (QS Al-Baqarah [2]: 189).

Ayat ini antara lain mengisyaratkan bahwa peredaran matahari dan bulan yang menghasilkan pembagian rinci (seperti perjalanan dari bulan sabit ke purnama), harus dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk menyelesaikan suatu tugas (lihat kembali arti waqt [waktu] seperti dikemukakan di atas). Salah satu tugas yang harus diselesaikan itu adalah ibadah, yang dalam hal ini dicontohkan dengan ibadah haji, karena ibadah tersebut mencerminkan seluruh rukun islam.

Keadaan bulan seperti itu juga untuk menyadarkan bahwa keberadaan manusia di pentas bumi ini, tidak ubahnya seperti bulan. Awalnya, sebagaimana halnya bulan, pernah tidak tampak di pentas bumi, kemudian ia lahir, kecil mungil bagai sabit, dan sedikit demi sedikit membesar sampai dewasa, sempurna umur bagai purnama. Lalu kembali sedikit demi sedikit menua, sampai akhirnya hilang dari pentas bumi ini.

Dalam ayat lain dijelaskan bahwa:

Dia (Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti untuk memberi waktu (kesempatan) kepada orang yang ingin mengingat (mengambil pelajaran) atau orang yang ingin bersyukur (QS Al-Furqan [25]: 62).

Mengingat berkaitan dengan masa lampau, dan ini menuntut introspeksi dan kesadaran menyangkut semua hal yang telah terjadi, sehingga mengantarkan manusia untuk melakukan perbaikan dan peningkatan. Sedangkan bersyukur, dalam definisi agama, adalah “menggunakan segala potensi yang dianugerahkan Allah sesuai dengan tujuan penganugerahannya,” dan ini menuntut upaya dan kerja keras.

Banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang peristiwa-peristiwa masa lampau, kemudian diakhiri dengan pernyataan. “Maka ambillah pelajaran dan peristiwa itu.” Demikian pula ayat-ayat yang menyuruh manusia bekerja untuk menghadapi masa depan, atau berpikir, dan menilai hal yang telah dipersiapkannya demi masa depan.

Salah satu ayat yang paling populer mengenai tema ini adalah:

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (QS Al-Hasyr [59]: 18).

Menarik untuk diamati bahwa ayat di atas dimulai dengan perintah bertakwa dan diakhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berpikir serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah ketakwaan, dan hasil akhir yang diperoleh pun adalah ketakwaan.

Hari esok yang dimaksud oleh ayat ini tidak hanya terbatas pengertiannya pada hari esok di akhirat kelak, melainkan termasuk juga hari esok menurut pengertian dimensi waktu yang kita alami. Kata ghad dalam ayat di atas yang diterjemahkan dengan esok, ditemukan dalam Al-Quran sebanyak lima kali; tiga di antaranya secara jelas digunakan dalam konteks hari esok duniawi, dan dua sisanya dapat mencakup esok (masa depan) baik yang dekat maupun yang jauh.

—————-
WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan