Sunday, 24 November 2024, 12:01

gaulislam edisi 688/tahun ke-14 (13 Jumadil Awwal 1442 H/ 28 Desember 2020)

Jangankan menggenggam bara api, kena percikan api saat bakar sate aja bilang “aduh”. Pernah kamu menggenggam bara api? Kalo saya belum pernah. Udah kebayang sih gimana panasnya. Udah kebayang juga gimana kulit telapak tangan bakal melepuh. Luka. Perih. Kalo udah tahu risikonya begitu, kayaknya nggak ada yang sepenuhnya berani berbuat begitu. Betul?

Namun, judul ini tentu bukan hendak ngajarin supaya mencoba menggenggam bara api yang sesungguhnya. Bukan debus, ini. Lalu apa? Ya, sekadar ingin menyampaikan perumpamaan. Ini sudah ada sih di hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan datang kepada manusia suatu masa yang ketika itu orang yang sabar di atas agamanya seperti menggenggam bara api.” (HR Tirmidzi, no. 2186)

Hadits lainnya, “Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammar telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Khalid telah menceritakan kepadaku ‘Utbah bin Abu Hakim telah menceritakan kepadaku dari pamannya ‘Amru bin Jariyah dari Abu Umayyah as-Sya’bani dia berkata: Saya pernah mendatangi Abu Tsa’labah al-Khusyani dan bertanya: “Apa yang kamu perbuat dengan ayat ini?” Abu Tsa’labah ganti bertanya: “Ayat yang mana?” aku lalu membaca: {Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu: tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudlarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk} (Al Maidah: 105). Abu Tsa’labah lalu berkata: “Kamu bertanya kepada orang yang tahu, aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang itu, dan beliau menjawab: “Yaitu mereka saling memerintahkan kepada kebaikan dan saling melarang pada yang mungkar, sehingga jika kamu melihat bakhil ditaati, hawa nafsu diikuti, dunia yang diprioritaskan, setiap orang bangga dengan pendapatnya, dan kamu melihat perkara tidak sesuai denganmu, maka kamu harus kembalikan kepada mata hatimu. Karena sesungguhnya di belakang kalian adalah hari-hari kesabaran, kesabaran saat itu seperti seseorang menggenggam bara api, bagi orang yang beramal pada saat itu seperti pahala lima puluh orang yang mengamalkan seperti amalannya.” (HR Ibnu Majah, no. 4004)

Catet ya, orang bersabar di atas agamanya. Maksudnya, ia istiqomah dalam kebenaran. Siap membela Islam, siap memperjuangkannya. Sebab, saat ini banyak orang yang malah berlepas diri dari Islam, bahkan ada yang ngaku muslim tetapi benci kepada Islam, nggak suka kepada kaum muslimin. Kasihan sih, hanya demi meraih nikmat dunia yang sereceh itu, mereka rela membenci Islam. Maka, ketika ada yang tetap teguh berpegang kepada ajaran agamanya, seringkali diancam, dihina, dicaci maki dsb. Nah, yang memegang teguh kebenaran Islam itulah mereka disebutkan sebagai orang yang sedang menggenggam bara api. Luar biasa!

Sobat gaulislam, silakan tengok di media sosial. Banyak tuh orang yang berkoar-koar mencampur-adukkan agama Islam dengan agama lain. Contoh paling mutakhir adalah soal ucapan selamat kepada penganut agama lain. Tiap tahun kayak nggak bosen selalu dibahas. Anehnya pula, meski selalu dibahas, yang awam tetap ada dan provokator tetap eksis untuk mengompori supaya antara yang pro dan kontra terus bertarung. Kok, nggak pernah belajar dari kejadian sebelumnya, ya? Atau memang sengaja ada yang manas-manasin biar sekalian menutupi kasus penting lainnya?

Padahal, sudah jelas ya. Kita nggak boleh mencampur-adukan antara yang haq dengan yang bathil. Bagi kaum muslimin perkara akidah nggak bisa ditawar lagi. Beneran. Islam meyakini dan mengakui bahwa Allah Ta’ala Maha Esa. Artinya, kalo ada pemeluk agama lain yang mengajarkan tuhannya ada 3 atau lebih dari itu, ya jelas bertentangan dengan Islam. Namun demikian, dalam hal mengerjakan ibadah, ya masing-masing aja. Jangan lompat pagar. Lalu dicampur-ampur. Ngaji di gereja, natalan di masjid. Itu namanya penistaan, bukan toleransi. Toleransi itu membiarkan satu sama lain menjalankan ibadahnya. Bukan memaksa salah satu pihak untuk mengikuti ibadah agama lain. Surah al-Kafirun dalam al-Quran menjadi dalil dalam hal ini.

Lagian dalam Islam sudah diatur, bahwa mengucapkan selamat itu kudu jelas dan pas. Sebab, ucapan selamat adalah salah satu bentuk pengakuan atau minimal suka dengan apa yang dilakukan orang yang kita kasih ucapan selamat tersebut. Nah, kita bicara pantes or nggak pantes aja dulu, deh. Jangan hukumnya dulu. Nih, emang boleh kalo kita ngasih ucapan selamat kepada maling? Emang pantes kita ngasih ucapan selamat kepada seseorang yang berhasil dalam permainan judi? Emang pantes kita ngasih ucapan selamat kepada orang yang lagi mabuk-mabukan pesta miras? Aneh aja kalo bilang pantes. Kalo secara ukuran pantes atau nggak pantes aja kita udah bisa menilai, maka udah banyak ulama ngasih penjelasan panjang lebar soal hukumnya. Tinggal ikuti aja.

Bener. Nah sekarang kita tanya pada diri sendiri, emang pantes kita ngucapin selamat kepada orang yang berbeda agamanya dengan kita dan konsepnya tentang tuhan jauh berbeda dengan agama kita? Nggak pantes. Kenapa? Kepada yang maksiat seperti mencuri, korupsi, judi, dan minum miras aja nggak pantes, apalagi ngucapin selamat kepada kekufuran? Kok, orang kufur dikasih ucapan selamat? Aneh. Apalagi secara hukum haram. Nah, kalo kita bilang gini pasti banyak dari orang-orang kafir dan munafik yang nggak suka. Mereka akan bilang kita nggak toleran. Hadeuuh, capek deh kalo melawan orang yang cuma ngandelin hawa nafsunya. Susah diajak mikir.

Itu sebabnya, dalam posisi seperti ini, kita harus bersabar dan tetap berpegang teguh pada tali agama Allah. Sebab, ini masa ujian dan tak mudah. Ibarat memegang atau menggenggam bara api. Bersabarlah!

Mendukung lalu tertipu

Sobat gaulislam, mungkin kita pernah memberikan sumbangan atau sedekah kepada seseorang, tetapi ternyata nggak digunakan semestinya. Pendek kata, kita merasa seperti ditipu. Kecewa? Sudah pasti. Namun, apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Meski demikian, keikhlasan kita dalam memberikan sumbangan atau sedekah pada saat itu, insya Allah akan dicatat oleh Allah Ta’ala sebagai amal shalih. Dan, tentu kita jangan berburuk sangka sehingga setiap kali ada orang yang meminta sumbangan, kita malah jadi paranoid. Kecuali memang sudah terbukti penipuan. Intinya, jadi pelajaran aja, deh. Selain itu, tetap beramal shalih, salah satunya tetap bersedekah.

Sama halnya ketika kita mendukung seseorang di pilpres tahun kemarin. Maklum akhir-akhir ini lagi jadi obrolan hangat bahkan memanas. Selorohannya ada yang begini: “Pilih Jokowi-Ma’ruf, bonus Prabowo-Sandi”. Iya, awalnya mereka saling berlawanan dalam sebuah kontestasi. Pendukungnya pun sangat militan. Tungku perseteruan terus dinyalakan agar perdebatan yang dibumbui caci maki dan sumpah serapah tetap tersaji (ini sih sepertinya ada andil dari si tukang kompor biar berantem para pendukungnya). Bahkan salah satu pasangan kontestan didukung banyak ulama.

Klimaksnya soal drama kemenangan dan kecurangan di atas ratusan nyawa petugas penghitung jumlah suara. Termasuk pendukungnya yang digebuk dan hilang nyawa saat protes soal kecurangan. Namun pengumuman di pagi buta melenyapkan semua harapan mereka yang kalah, terutama para pendukungnya. Awalnya berharap idolanya bisa memperbaiki dari dalam untuk negeri yang karut marut ini.

Dia yang menggebrak meja sambil orasi berapi-api dan katanya akan timbul tenggelam bersama rakyat malah lebih dulu bertekuk lutut lalu mau saja diangkat jadi menteri. Berikutnya, dia yang berkoar tak mau bergabung dan menyatakan akan menjadi oposisi, akhirnya melempem juga dan bersedia jadi bagian dari mereka. Entahlah, itu urusan mereka masing-masing soal alasannya.

Namun, untuk apa biaya besar perseteruan itu jika pada akhirnya jadi bersama? Mereka ke istana, ulama yang mendukungnya ke penjara. Rakyat yang bersedia memberikan suaranya, hanya dibalas harapan palsu.

Memang, berharap kepada manusia seutuhnya itu merugikan. Apalagi dalam sistem yang sudah jelas akan mengecewakan. Lebih menyakitkan lagi, karena yang dikira rajawali gagah, ternyata sekadar jadi hiasan di istana.

Pelajaran berharga bagi umat Islam. Bisa jadi revolusi itu memang akan lahir dari jalanan. Tidak bergabung dalam sistem. Ikhlas dan fokus saja berjuang untuk menegakkan Islam, satukan kekuatan, dan jelas arah perjuangan: yakni, menjadikan Islam sebagai ideologi negara untuk menggantikan sistem laknat yang ada saat ini. Risikonya lebih masuk akal: hidup mulia, mati syahid.  

Oya, soal niat insya Allah akan dicatat masing-masing sesuai niatnya saat mendukung capres/cawapres tersebut. Walau belakangan, mereka malah berkhianat kepada para pendukungnya. Padahal, sebagai pendukung, sepertinya sudah paham urusan menang atau kalah. Udah biasa dalam sebuah pertandingan atau pertarungan. Nah, yang nggak biasa dan aneh itu, kalah tetapi ikut bergabung dengan mereka yang katanya tidak pro rakyat. Dikatakan zalim dan sebagainya. Janji mau jadi oposisi, tetapi ditawari posisi jabatan menteri diambil juga. Gimana nggak nyesek tuh para pendukungnya?

Namun, ya sudahlah. Kita nggak usah ikut-ikutan jadi rusak. Begitulah politik yang tidak dilandasi semangat Islam. Jadikan pelajaran saja, bahwa percaya sepenuhnya kepada manusia itu memang ada risikonya. Waspada saja. Ini beda. Kalo mendukung perjuangan nabi jelas konsekuensinya. Hebat pula karakternya. Menjadi pendukung perjuangan para nabi jelas konsekuensi hukumnya. Para nabi tak akan pernah mengecewakan dengan melakukan pengkhianatan kepada para pendukungnya.

Nah, masalahnya yang didukung ini manusia biasa, bukan nabi. Jadi, ya memang berbeda kelas. Jadikan pelajaran saja. Keledai pun tak mau jatuh kedua kalinya di dalam lubang yang sama. Waspada dan jangan asal pilih dan dukung, ya.

Sabar menggenggam bara api

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Mengutip laman rumaysho.com, dijelaskan tentang hal ini secara gamblang. Saya ringkas dam modifikasi saja ya sesuai kebutuhan.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadzi bahwa di zaman tersebut, orang yang berpegang teguh dengan agama hingga meninggalkan dunianya, ujian dan kesabarannya begitu berat. Ibaratnya seperti seseorang yang memegang bara (nyala) api.

Ath-Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah.

Sedangkan al-Qari mengatakan bahwa sebagaimana seseorang tidaklah mungkin menggenggam bara api melainkan dengan memiliki kesabaran yang ekstra dan kesulitan yang luar biasa. Begitu pula dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman ini butuh kesabaran yang ekstra.

Itulah gambaran orang yang konsekuen dengan ajaran Islam saat ini, yang ingin terus menjalankan ibadah sesuai sunnah Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, begitu sulitnya dan begitu beratnya. Kadang cacian yang mesti diterima. Kadang dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Kadang jadi bahan omongan yang tidak enak. Sampai-sampai ada yang nyawanya dan keluarganya terancam. Demikianlah risikonya. Namun nantikan balasannya di sisi Allah yang luar biasa andai mau bersabar.

Ingatlah janji Allah, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS az-Zumar [39]: 10)

Sebagaimana disebut dalam Tafsir al-Quran al-‘Azhim karya Ibnu Katsir rahimahullah, al-Auza’i menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa ditimbang dan tak bisa ditakar. Itulah karena saking banyaknya. Ibnu Juraij menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa terhitung (tak terhingga), juga ditambah setelah itu.

Semoga kita diberikan kesabaran dalam menggenggam bara api kebenaran Islam ini. Semoga tetap istiqomah dalam membela dan memperjuangkan Islam walau orang-orang kafir dan munafik membenci kita. Semangat! [O. Solihin | IG @osolihin]