Friday, 22 November 2024, 01:32

gaulislam edisi 689/tahun ke-14 (20 Jumadil Awwal 1442 H/ 4 Januari 2021)

Bagi kamu yang ngikutin timeline media sosial, termasuk di dalammya berita di media massa, bahkan mungkin acara infotainment di televisi dan gosip di media sosial, pasti deh nemuin kasus yang lagi heboh jadi perbincangan. Ya, seorang selebritis (nggak perlu disebutkan namanya, ya) yang jadi tersangka kasus “video syur”, begitu media massa membuat istilah. Memang syur itu apa sih? Kalo di KBBI, syur itu artinya sangat menarik hati. Lalu kenapa dipilih istilah itu ya untuk sesuatu yang merusak?

Kabarnya pula, seleb tersebut melakukannya itu saat masih bersuami. Berarti selingkuh, dong? Begitulah. Udah selingkuh, melakukan sesuatu yang asusila pula. Naudzubillahi min dzalik.

Nah, persoalannya sekarang, kok jadi malah banyak yang bela dia ya? Berarti yang selingkuh dibela? Pelaku asusila disokong? Ada-ada saja. Salah ya tetap salah. Rumit amat sih mikirnya. Apalagi, kemarin seorang tokoh muslim yang menikah malah dinyiyirin dan dipermasalahkan. Aneh memang cara berpikir mereka. Salah dibela, benar dicela. Harusnya, salah ya tetap salah.

Sebelumnya malah ada seleb yang koar-koar kalo dia biasa melakukan zina. Bahkan udah terkenal juga kelakuan bejatnya itu sebagai pelacur. Eh, malah didukung dan dibela ketika dia menghina ulama. Ulama dicela, pezina dibela. Udah jelas lah, siapa membela siapa.

Belum lagi kalo kasus hukum lainnya, ada maling yang masuk rumah, lalu malingnya kepergok penghuni rumah. Sebagai penghuni wajar dong kalo reflek jagain hartanya yang akan dicuri, sehingga melakukan perlawanan. Cuma, sang maling kalah melawan penghuni rumah. Bahkan sang maling tewas. Namun, anehnya ketika kasus ini dibawa ke pihak berwenang malah penghuni rumah yang dihukum dengan dakwaan pembunuhan. Kan, ajaib itu!

Pernah juga kan ada kasus begal? Ya, begalnya mati melawan orang yang dibegalnya. Eh, malah yang mempertahankan hartanya dihukum. Parah banget, kan? Tapi, itulah kondisi kita di sini. Intinya sih, mestinya dihukumi yang salah ya tetap salah. Jangan dibalik-balik menguntungkan siapa yang bayar atau karena kepentingan lainnya.

Sobat gaulislam, edisi kali ini memang kita sengaja bikin judul begitu. Kalo menurut kamus sih, turunan kata “dibela” dan “dicela” nggak ada. Namun, dalam hal ini kita bisa menggunakan istilah yang sudah dipahami secara umum di masyarakat. Dibela artinya ada seseorang atau sesuatu yang ditolong. Dicela, yakni menunjukkan kecaman terhadap seseorang yang melakukan sesuatu, tetapi tidak disukai. Cela ini kata benda, artinya bisa cacat, kecaman atau hinaan dan lain sebagainya. Jadi, kalo pake istilah dicela, berarti dipersoalkan. Sederhananya gitu deh. Kok jadi bahas bahasa, ya? Hehehe… nggak apa-apa sih, dikit doang.

Ok. Kembali ke tema yang sedang kita bahas. Jadi, kasus selingkuh, kasus perzinaan, kasus maling, kasus begal ya harus tetap disebut salah. Jangan malah dibela. Aneh aja kalo kejahatan dibela, tetapi kebaikan malah dicela. Mereka yang selingkuh dan berzina dibela, tetapi yang menikah sesuai tuntunan syariat malah dicela. Dunia terbalik ini namanya. Awas, tipuan setan, Bro en Sis. Waspada.

Selain kasus ini, banyak pula kok yang salah dibela dan yang benar dicela. Sudah pada tahu juga kan soal anak rohis yang dicela? Ya, dicela karena menurut mereka yang nggak suka dengan ghirah Islam, aktivis rohis dianggap sebagai bibit teroris. Mengajarkan intoleransi. Waduh, kalo ngomong jangan asal njeplak, Mas.

Rohisnya dianggap benih teroris, tetapi anak-anak yang pacaran dibiarkan, bahkan dianggap sebagai dinamika kehidupan remaja. Itu level tertentu dari pembelaan, berarti yang pacaran dibela, mereka yang aktif di rohis malah dicela. Waduh, udah kebalik-balik memang cara berpikirnya.

Belum lama pula, ada ormas Islam yang dibubarkan karena dianggap meresahkan masyarakat. Sebenarnya masyarakat yang mana sih? Kalo masyarakat yang suka maksiat (judi, pelacur, dan mereka yang nenggak miras) pasti mereka nggak suka dengan ormas tersebut karena tugasnya emang melakukan nahi munkar. Namun, bagi kaum muslimin yang lurus dan terikat dengan ajaran Islam, ya pasti membela ormas Islam tersebut. Jadi, udah tahu ya siapa membela siapa. Udah jelas juga posisi masing-masing ada di mana.

Bagaimana dengan koruptor? Ah, itu sudah jelas. Kita juga udah bahas di edisi sebelumnya. Namun, yang kita prihatin, ada saja mereka yang membela koruptor. Bukannya dicela, ini malah dibela. Bukannya dihukum segera, malah seperti mengulur waktu sampe publik lupa bahwa ada kasus korupsi. Begitulah. Salah dianggap benar, benar dianggap salah.

Benar katakan benar, salah katakan salah

Kita diajarkan untuk berkata jujur dan bersikap adil. Jurdil istilahnya. Jujur dan adil ini penting banget, Bro en Sis. Sekarang, orang yang berbuat jujur itu susah. Mestinya kalo melihat salah ya dihukumi salah. Jangan karena ada tekanan atau kepentingan tertentu, lalu nggak jujur dengan mengatakan yang salah adalah benar dan yang benar dikatakan salah. Parah. Bukan saja nggak jujur itu sih, tapi udah nggak adil.

Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (QS at-Taubah [9]: 119)

Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS Muhammad [47]: 21)

Dalam hadits dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta.  Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR Muslim no. 2607)

Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa.” (HR Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200, hasan shahih).

So, jujur adalah suatu kebaikan sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan. Yang namanya kebaikan pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu membawa kegelisahan dalam jiwa. Bener banget ini. Orang yang ngawur dengan mengatakan yang benar adalah salah dan mengatakan yang salah adalah benar itu akan menyiksa dirinya sendiri. Itu pun kalo dalam hatinya masih ada setitik kejujuran. Kalo nggak ya bablas.

Menurut Ibnu Khaldun, adil adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Berarti dalam hal ini, kalo salah yang dihukumi salah, kalo benar yang dihukumi benar. Halal dikatakan halal, haram dikatakan haram. Inilah keadilan. Tetapi jika keadilan diperjual-belikan dan diutak-atik sesuai kepentingan pihak tertentu, maka kebohongan pun akan menjadi senjata untuk menutupi kejadian yang sesungguhnya. Dicari apapun yang penting bisa menghukum, walau yang dihukum sejatinya melakukan kebenaran. Gawat bener ya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Maidah [5]: 8)

 Itu artinya pula, kalo ada orang yang membela kesalahan dan mencela kebenaran, sudah nggak adil, dan tentunya kebohongan akan menjadi senjata untuk menutupi sikapnya tersebut. Petugas partai rezim yang korupsi bansos misalnya, kan sudah jelas salahnya. Tetapi pendukung rezim dan para buzzer melakukan pembelaan. Dihajarlah mereka yang memperkarakan kasus tersebut. Perang tagar di Twitter pun terjadi. Tagar TangkapAnakPakLurah dan tagar TEMPOMediaAsu berperang. Kebetulan yang investigasi kasus tersebut lalu diberitakan dilakukan majalah tersebut. Clear kan ya. Siapa membela siapa. Salah dibela, benar dicela. Tergantung siapa pemilik kepentingan.

Seleb yang selingkuh berinisial GA dan MYD malah mendapat simpati setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus video asusila itu. Ada yang memberikan dukungan moral agar bersabar atas ujian tersebut. Nggak salah tuh? Jangan sampe menginspirasi orang yang berbuat maksiat malah merasa sedang terzalimi. Padahal jelas maksiat. Kemaksiatan ya dihukumi sebagai perbuatan dosa. Namun kalo sekarang ada yang membela Si GA, kita malah khawatir yang terinspirasi video 19 detiknya itu akan melakukan hal yang sama. Bener, kan? Terus gimana nyadarin mereka? Mikir, Bos!

Waspada, ini akhir zaman

Sobat gaulislam, kita memang perlu makin waspada. Mendekati akhir zaman ini (atau bahkan sudah berada di range akhir zaman), kita harus banyak berhati-hati. Sebab, saat ini sudah sangat jelas bahwa kesalahan malah dirangkul, yang benar dikucilkan. Bagi yang masih beriman kuat mestinya bisa melihat, kecuali mereka yang sudah menggadaikan keimanannya untuk secuil nikmat dunia. Jangan sampe pagi masih beriman, sore harinya sudah kufur. Ngeri.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Bersegeralah melakukan amalan shalih sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia” (HR Muslim)

Di zaman sekarang perlu ekstra waspada dan lebih berhati-hati karena mudahnya fitnah di media sosial. Perang antara yang haq dan yang bathil pasti akan terus berlangsung sepanjang zaman. Pembela dan pejuangnya akan selalu ada. Mereka yang membela kebenaran harus kuat bertarung dengan mereka yang membela kebathilan. Jangan sampai menyerah, apalagi terbawa arus sesat mereka. Ini dibutuhkan bukan saja semangat tinggi, tetapi yang terpenting ilmu agama yang mumpuni.

Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya): “Fitnah-fitnah akan mendatangi hati bagaikan anyaman tikar yang tersusun seutas demi seutas. Maka hati mana saja yang menyerapnya akan ditorehkan padanya satu titik hitam. Dan hati mana saja yang mengingkarinya akan ditorehkan padanya satu titik putih hingga menjadilah keadaan dua jenis hati tadi, hati yang sangat putih bagaikan batu putih yang sangat licin, tidak akan ada satu fitnahpun yang akan memudharatkan selama langit dan bumi masih ada. Sedangkan hati yang lain adalah hati yang hitam dan kotor, bagaikan gelas yang terbalik. Hati yang tidak mengetahui perkara yang ma’ruf dan tidak pula mengingkari perkara yang mungkar, kecuali yang mencocoki hawa nafsunya.” (HR Muslim)

Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullahu berkata (secara panjang lebar), “Allah menyerupakan datangnya fitnah ke hati sedikit demi sedikit seperti anyaman tikar yang disusun seutas demi seutas. Dan Allah membagi hati di saat datangnya fitnah-fitnah tadi menjadi dua jenis hati, yaitu hati yang datang padanya fitnah, maka akan dengan serta-merta menyerapnya sebagaimana batu apung yang menyerap air, sehingga hati tadi menghitam dan terbalik. Inilah makna sabda beliau, “Bagaikan gelas yang terbalik/tertelungkup”. Jika keadaan hati tersebut sudah menghitam dan terbalik, dua penyakit berikutnya yang sangat berbahaya yang saling menyeret orang yang tertimpanya untuk dilemparkan ke dalam kebinasaan. Dua penyakit tersebut adalah:

Pertama, tersamarkannya antara perkara yang ma’ruf (baik) dengan perkara yang mungkar (jelek), sehingga hati tersebut tidak bisa mengenali perkara yang baik dan tidak pula bisa mengingkari perkara yang buruk. Bahkan penyakit tadi semakin mengacaukan keadaan hati tersebut sehingga dia meyakini perkara yang baik sebagai suatu hal yang buruk, dan sebaliknya meyakini perkara yang buruk sebagai sesuatu yang baik. Sunnah diyakini sebagai perkara bid’ah dan bid’ah diyakini sebagai perkara sunnah. Serta menganggap kebenaran sebagai suatu kebatilan, dan kebatilan diyakini sebagai kebenaran.

Kedua, menjadikan hawa nafsunya sebagai hakim (penentu) dalam menghadapi apa yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan senantiasa tunduk dan mengikuti hawa nafsunya tersebut.

Nah, sedangkan jenis hati yang kedua adalah hati yang putih (cemerlang) yang memancarkan cahaya iman dan berhiaskan cahaya tersebut. Jika fitnah mendatangi hati jenis kedua ini, serta merta hati tersebut akan mengingkari dan menolaknya, sehingga hati tersebut semakin kuat dan bercahaya.

Sesungguhnya fitnah-fitnah yang mendatangi hati merupakan sebab yang menjadikan sakitnya hati. Fitnah-fitnah tersebut adalah fitnah syahwat (hawa nafsu) dan fitnah syubhat (kerancuan). Atau dengan istilah lain fitnah penyelewengan dan kesesatan; fitnah maksiat dan bid’ah; dan fitnah kezhaliman serta kebodohan.

Fitnah jenis pertama (yakni syahwat) menyebabkan rusaknya niat dan keinginan seseorang dalam beramal. Sedangkan fitnah jenis kedua (yakni syubhat) menyebabkan rusaknya ilmu (pemahaman) dan keyakinan.” (dalam Ighatsatul Lahfan min Mashayidisy Syaithan, jilid 1, hlm. 17)  

So, kudu ati-ati emang Bro en Sis. Jangan sampe deh, yang salah malah dibela, tetapi yang benar malah dicela. Nggak banget kalo harus menjadi pembela yang salah dan justru menjadi pembenci kebenaran. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita semua agar senantiasa diberikan hidayah dan diberikan sikap istiqomah dalam mempertahankan kebenaran Islam. [O. Solihin | IG @osolihin]