Thursday, 21 November 2024, 21:40

gaulislam edisi 692/tahun ke-14 (12 Jumadil Akhir 1442 H/ 25 Januari 2021)

Duh, ngeri bener ya bahas model ginian. Apa nggak ada tema lain yang asyik buat dibahas? Misal soal makanan, tentang hiburan, atau bahas asyiknya pergaulan. Ehm… tema ini asyik juga kok. Sebab, insya Allah kamu bisa tahu perbedaan antara ujian, azab, dan istidraj. Nah, emang ini udah tahu belum?

Sobat gaulislam, nggak usah khawatir, apalagi ngeri ketika kita membahas tema ini atau ngobrolin hal-hal yang kelihatannya buruk dan serem. Justru kita perlu membahas ini agar kita bisa mengetahui, apakah musibah yang menimpa kita itu termasuk ujian atau azab. Apa pula yang dimaksud istidraj, agar kita bisa introspeksi, apakah kita termasuk di dalamnya atau nggak. Ok. Bisa kamu pahami ya? Sip!

Nah, sekarang kita akan bahas pelan-pelan, ya. Biar kamu paham dan bisa mengambil manfaat dari pembahasan ini. Siapkan catatan, eh, ini udah ditulis ya, tinggal kamu simpen aja setelah kamu baca. Kan, jadi catatan juga.

Sebelum lanjut, saya mau infokan dulu nih sama kamu semua, bahwa sejak awal tahun ini bencana alam seperti gempa, tanah longsor, banjir bandang, dan beberapa letusan gunung alias erupsi dialami beberapa saudara kita di wilayah tertentu. Kita berpikir sejenak. Di awal tentu kita istighfar, mohon ampun. Sebab, ini pertanda kekuasaan Allah Ta’ala yang tak bisa manusia lawan. Setelah istighfar, lalu kita introspeksi alias mawas diri. Ya, kita tinjau ulang alias koreksi diri deh, apakah adanya bencana alam ini akibat perbuatan kita yang jauh dari aturan Allah Ta’ala?

Why? Jadi begini, jangan sampe ada orang yang menyalahkan hujan atas terjadinya banjir bandang. Dibilang bahwa curah hujan yang tinggi mengakibatkan banjir dan tanah longsor terjadi. Waduh, selama ini ngapain aja buat persiapan adanya perubahan iklim ya? Gimana pembuatan bendungan, gimana penanaman kembali pohon di hutan setelah pohon ditebangi untuk kepentingan ekonomi dan industri, gimana juga perilaku manusia dalam hal pemeliharaan lingkungan semisal nggak buang sampah ke sungai, nggak bikin mampet selokan, dan lain sebagainya. Intinya, jika prosedur penataan lingkungan diatur sedemikian rupa, kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan bencana alam sudah terpenuhi, masih juga tak kuasa menahan banjir, itu namanya ujian.

Tapi kalo kita nggak ngapa-ngapain dalam menghadapi potensi curah hujan yang tinggi, negara nggak bikin bendungan, nggak mengeruk endapan lumpur di sungai secara berkala, hutan digunduli demi kepentingan industri pihak tertentu, masyarakat nggak dididik bagaimana mengelola lingkungan sekitar, lalu terjadi tanah longsor dan banjir, itu namanya azab. Ngeri.

Kalo sampe menyalahkan hujan atas bencana banjir dan tanah longsor, itu sama saja seperti menyalahkan Allah Ta’ala. Hujan itu bagian dari rahmat Allah Ta’ala bagi makhluk-Nya. Lalu, bagaimana mungkin bisa disebut sebagai penyebab keburukan? Mestinya mikir dulu ya sebelum mengatakan demikian. Belum lagi kalo perilaku kita juga jauh dari ajaran Islam, seperti shalat ditinggalkan, merajalelanya perjudian dan perzinaan, riba jadi tradisi, korupsi menjadi-jadi, kesyirikan tumbuh subur. Mestinya yang tinggal di sekitar itu waspada dan ngeri kalo sampe nggak ada dakwah untuk mengingatkan perilaku buruk masyarakat tersebut. Sebab, itu sama saja dengan siap diazab oleh Allah Ta’ala. Astaghfirullah.

Hakikat ujian

Di awal tulisan ini sudah disinggung dikit ya tentang ujian. Jadi, singkatnya begini. Ujian itu adalah ketika musibah (apa pun) yang dialami oleh orang yang beriman. Ujian ini juga ‘berfungsi’ untuk meningkatkan derajat orang-orang yang beriman yang mendapat ujian tersebut. Para nabi, ketika mendapatkan musibah berupa penyakit atau tidak diberikan keturunan, dimusuhi bahkan dibunuh oleh kaumnya sendiri, tentu kategorinya ujian. Jelas banget lah, para nabi mah keimanannya spesial jauh di atas umatnya. Itu sebabnya, ketika mendapatkan musibah adalah bagian dari ujian untuk meningkatkan derajat mereka. Dan, perlu dicatat lho, di antara manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi.

Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata, “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi.” (HR Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, ad-Darimi no. 2783, Ahmad 1: 185)

Oya, musibah yang menimpa orang beriman sebagai ujian, selain untuk meningkatkan derajat keimanan dan ketakwannya, juga musibah bagi orang yang beriman adalah dalam rangka menghapus dosanya.

Berdasarkan keterangan dalam hadis tersebut, bahwa seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka dia akan mendapat ujian begitu kuat. Apabila agamanya lemah, maka dia akan diuji sesuai dengan agamanya. Senantiasa seorang hamba akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di bumi dalam keadaan bersih dari dosa.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Tidaklah menimpa seorang mukmin berupa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran (pada pikiran), sedih (karena sesuatu yang hilang), kesusahan hati atau sesuatu yang menyakiti, sampai pun duri yang menusuknya melainkan akan dihapuskan dosa-dosanya.” (HR Bukhari no. 5641 dan Muslim no. 2573)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridha (terhadap ujian tersebut) maka baginya ridha Allah dan barang siapa yang marah (terhadap ujian tersebut) maka baginya murka-Nya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Jadi, kalo diberikan musibah berupa penyakit yang nggak kunjung sembuh, atau kesusahan secara ekonomi, maka itu adalah bagian dari ujian. Insya Allah akan menghapuskan dosa jika bersabar dan ridha atas takdir Allah Ta’ala tersebut.

Nggak usah gusar dan bersedih hati ketika mendapatkan musibah berat. Yakinlah, selama kita beriman dan senantiasa mendekatkan diri kepada Allah, semua itu adalah ujian, bukan kehinaan.

Menukil dari laman rumaysho.com, dijelaskan bahwa Imam al-Manawi rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang menyangka bahwa apabila seorang hamba ditimpa ujian yang berat, itu adalah suatu kehinaan; maka sungguh akalnya telah hilang dan hatinya telah buta (tertutupi). Betapa banyak orang shalih (ulama besar) yang mendapatkan berbagai ujian yang menyulitkan. Tidakkah kita melihat mengenai kisah disembelihnya Nabi Allah Yahya bin Zakariya, terbunuhnya tiga Khulafa’ur Rasyidin, terbunuhnya al-Husain, Ibnu Zubair dan Ibnu Jabir. Begitu juga tidakkah kita perhatikan kisah Abu Hanifah yang dipenjara sehingga mati di dalam buih, Imam Malik yang dibuat telanjang kemudian dicambuk dan tangannya ditarik sehingga lepaslah bahunya, begitu juga kisah Imam Ahmad yang disiksa hingga pingsan dan kulitnya disayat dalam keadaan hidup. …, dan masih banyak kisah lainnya.” (Faidhul Qadhir Syarh al-Jami’ ash-Shagir, 1/518, asy-Syamilah)

So, kalo kamu merasa bahwa dirimu sangat menderita dan seolah direndahkan di hadapan orang lain karena diberikan musibah yang berat (padahal keimananmu tetap kepada Allah Ta’ala dan senantiasa mendekatkan dirimu dengan ibadah kepada-Nya), maka bersabarlah. Semoga ujian tersebut meningkatkan derajat keimananmu dan menghapus dosa-dosamu. Insya Allah.

Waspada terhadap azab

Sobat gaulislam, nah ini yang perlu diwaspadai dan patut dikhawatirkan, jika kita mendapat musibah, tetapi justru bagian dari azab. Naudzubillah min dzalik.

Jadi, azab ini adalah musibah yang menimpa orang-orang yang melalaikan kewajibannya kepada Allah. Misalnya nih, si fulan nggak pernah shalat lima waktu dalam sebulan ini, terus suatu waktu si fulan ini kecelakaan, jatuhlah dia dari sepeda motor dan masih hidup walau mungkin cacat. Ini jelas bukan ujian, tapi azab. Azab yang diberikan ini, ‘berfungsi’ untuk mengingatkan dan menyadarkan si fulan agar mau bertaubat dan kembali mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan ibadah dan amal shalih lainnya. Namun, kalo makin jauh dari Allah dan nggak mau introspeksi alias muhasabah, itu namanya kebangetan. Atau malah musibah tersebut bikin dia tambah ingkar kepada ajaran Islam, waduh nggak bisa komen dah. Ngeri!

Adanya bencana alam tanah longsong, banjir bandang, gempa bumi, gunung meletus dan sejenisnya yang terjadi akhir-akhir ini, memang menimpa semua manusia yang ada di sekitar wilayah bencana tersebut. Namun, ‘hikmahnya’ bisa berbeda-beda untuk setiap individu muslim: ada yang menjadi ujian, malah ada yang justru azab. Namun, bagi orang kafir sudah pasti azab dari Allah Ta’ala.

Semoga saja bagi yang masih hidup saat tertimpa bencana akan menyadarkan mereka untuk kembali mendekatkan diri kepada Allah. Menyadari kesalahannya, menghentikan maksiatnya. Alhamdulillah. Namun, kalo bencana tak membuatnya sadar dan tetap melalaikan kewajiban bahkan terus berbuat maksiat, kita malah khawatir azab yang lebih besar akan menimpanya kelak. Beneran. Bebal aja udah diberikan musibah bencana tapi kok nggak nyadar malah tambah brutal bermaksiat. Hadeuuuh!

Selain itu, kita juga perlu khawatir kalo kemungkaran sudah merajalela, sama artinya kita siap diazab. Sebagaimana telah disebutkan oleh Ummul Mukminîn Zainab binti Jahsy Radhiyallahu anha bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatanginya dalam keadaan terkejut, seraya berkata: “Lâ ilâha illallâh! Celakalah bangsa Arab, karena kejelekan yang telah mendekat, hari ini telah dibuka tembok Ya’jûj dan Makjûj seperti ini – beliau melingkarkan ibu jari dengan jari telunjuknya – kemudian Zainab Radhiyallahu anha berkata: “Apakah kita akan binasa wahai Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal di sekitar kita ada orang-orang shalih? Beliau menjawab: “Ya, jika kemungkaran itu sudah merajalela” (Shahîhul-al-Bukhâri No.7059 Shahîh Muslim No. 2880)

Bagaimana dengan istidraj?

Nah, ini asli ngeri. Sebab, ini ditujukan kepada pelaku maksiat namun ia tidak diberikan musibah langsung. Nggak pernah shalat, rezekinya malah lancar. Sering maksiat, malah popularitasnya meningkat. Intinya banyak berbuat dosa, tetapi sakit aja nggak dan malah kaya raya serta mendapat jabatan terhormat dari orang di sekitarnya. Orang seperti ini sudah mengunci hatinya sendiri. Merasa aman-aman saja meski selalu bermaksiat kepada Allah. Nah, ini lebih berbahaya. Istidraj adalah memberikan azab yang pedih dan berat kelak di hari pembalasan. Waspadalah!

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR Ahmad, no. 145)

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS al An’am [6]: 44)

Dalam Tafsir al-Jalalain (hlm. 141) disebutkan, “Ketika mereka meninggalkan peringatan yang diberikan pada mereka, tidak mau mengindahkan peringatan tersebut, Allah buka pada mereka segala pintu nikmat sebagai bentuk istidraj pada mereka. Sampai mereka berbangga akan hal itu dengan sombongnya. Kemudian kami siksa mereka dengan tiba-tiba. Lantas mereka pun terdiam dari segala kebaikan.”

Ngeri! Semoga kita menjadi orang-orang yang hanya diberikan ujian oleh Allah Ta’ala untuk meningkatkan derajat kita sebagai mukmin dan menghapus dosa-dosa kita, bukan sebagai golongan yang mendapatkan azab, apalagi istidraj. Naudzubillahi min dzalik.

Yuk, berbenah diri. Perbaiki akidah dan keimanan kita, tetaplah mendekat kepada Allah Ta’ala dengan berbagai amal shalih dan ibadah kepada-Nya. Giat pula berdakwah, beramar ma’ruf dan nahi munkar. Semoga kita terbebas dari azab-Nya dan terhindar dari istidraj. Semoga musibah yang menimpa sebagian saudara kita saat ini dalam musibah bencana alam (gempa, tanah longsor, banjir bandang, dan gunung meletus) adalah bagian dari ujian, bukan azab. Insya Allah. [O. Solihin | IG @osolihin]