Friday, 22 November 2024, 06:26

gaulislam edisi 701/tahun ke-14 (15 Sya’ban 1442 H/ 29 Maret 2021)

Eh, kok jadi inget lirik nasyidnya Shoutul Harokah ya pas bikin judul untuk buletin kesayangan kita ini. Ada yang tahu? Atau malah nggak ada yang tahu nasyid itu? Ya, itu bagian dari satu lirik nasyid Bangkitlah Negeriku. Semoga ada yang inget. Namun, kalo nggak ada yang inget juga nggak apa-apa. Sebab, intinya bukan di situ. Ini sekadar ngasih judul aja dan kebetulan kok yang nulisnya inget tentang penggalan lirik nasyid itu. Jadi aja ngelantur nulisnya, hehe…

Jadi, begini Bro en Sis. Negeri kita memang tak kunjung membaik. Masih terus begini dan begitu. Korupsi masih menjadi tradisi, kriminalitas jadi berita sehari-hari, masalah sosial juga ada hampir tiap hari, ekonomi yang terpuruk bikin ngeri. Belum lagi ketidakadilan hukum dipertontonkan dengan sangat telanjang. Banyak orang tahu bahwa itu salah, tetapi penegak keadilan tak peduli. Kadang kita bertanya, masihkah ada harapan bagi negeri kita untuk bangkit kembali?

Mestinya, jangan putus asa sih, ya. Negeri ini sudah melalui berbagai peristiwa dan perjuangan para penduduknya. Mayoritas para pejuangnya, tentu saja yang muslim. Para ulama dan santri yang paling gigih dalam berjuang membela rakyat dan mempertahankan kedaulatan negeri ini dari upaya penindasan para penjajah. Namun, kini para ulama malah dihina dan dipersekusi para pemimpin negeri sendiri. Tentu, ada yang perlu dipertanyakan, diselidiki, dicari akar penyebabnya.

IB HRS dibui, ulama dan ustaz tak sedikit yang juga nasibnya sama dengan beliau. Malah, ada pula yang sudah wafat. Kaum muslimin secara konsisten sejak belasan tahun lalu selalu dituduh sebagai teroris. Bahkan ketika penyelidikan belum dilakukan atas fakta tersebut, tetapi opini sudah ditabur pihak-pihak tertentu di negeri ini. Nggak aneh juga sih, sebab musuh Islam memang selalu terdepan dalam menyakiti umat Islam. Coba kamu tengok berita di media massa dan media sosial, saat bom di Makassar hari Ahad lalu (28/3/2021), konon kabarnya di depan sebuah gereja. Fakta dan opini bercampur, baik yang ditulis jurnalis maupun netizen.

Seperti orkestra, mereka (orang kafir dan munafiq) yang selama ini gencar menabur ujaran kebencian terhadap Islam dan kaum muslimin serentak menuduh bahwa pelakunya dari kalangan Islam. Mereka menyematkan kata radikal di dalamnya. Kok bisa sih, padahal penyelidikan terhadap motif pelaku saja belum dirilis. Begitu “duarr” berita ledakan bom, beberapa menit langsung meledak juga kebencian mereka di media sosial. Seperti sudah direncanakan dengan target membentuk stigma (citra buruk) terhadap Islam dan kaum muslimin.

Seperti biasa, akan berlanjut merembet kepada aktivitas pencurigaan terhadap kaum muslimin. Mulai diintimidasi mereka yang aktif di pengajian dan dakwah. Berita di media massa pun banyak yang malah menyudutkan umat Islam. Begituh. Lalu, bagaimana harapan kita? Bagaimana anak-anak muda yang sedang getol-getolnya mengkaji Islam dan tumbuh kesadarannya terhadap Islam, tumbuh kecintaannya kepada Islam? Jadi patah semangat atau tetap bergelora?

Jangan putus asa

Sobat gaulislam, seperti kata pepatah: “Kehidupan itu ibarat berada di roda pedati, kadang kita di bawah dan kadang kelindes (eh, rugi semua atuh ya? Hehehe, maksudnya kadang di atas dan adakalanya kita berada di bawah). Maksud “di atas” dalam kalimat itu untuk menggambarkan kehidupan kita yang enak dan senang. Sementara “di bawah” adalah diksi alias pilihan kata untuk menggambarkan kehidupan kita yang tengah dilanda kesempitan hidup dan kesusahan.

Di sekolah kehidupan ini, dengan begitu banyak fakta dan peristiwa yang disodorkan kepada kita, dan bahkan mungkin kita alami sendiri, bisa memberikan pelajaran bagi kita untuk memahami kenyataan hidup. Bahwa kadang dalam hidup kita tak bisa memilih. Harus menerima apa adanya. Sepahit apa pun. Meski demikian, bukan berarti kudu menyerah. Nggak juga. Sebaliknya kita harus terus berusaha untuk memperbaiki kualitas hidup kita yang menurut kenyataan sungguh memprihatinkan.

Bro en Sis, belajar memahami kenyataan ini akan lebih terasa kalo kita terjun dan terlibat di dalamnya. Iya, dong. Sebab, ibarat renang, kita bisa ngerasa bahwa renang itu lelah dan berat, tapi sekaligus menyenangkan kalo udah bisa, tentunya setelah nyebur dulu ke kolam dan langsung belajar renang.

Biar nggak disebut nekat, tentu nyebur di kolam yang dangkal terlebih dahulu. Udah menguasai teknik renang dengan gaya tertentu (mungkin pertama kali bisa jadi gaya batu alias udah nyebur langsung tenggelam—ini harus ditolong sama temennya. Inilah perlunya teman—seperti kata sebuah iklan: teman untuk pegangan), baru kalo udah mahir bisa ke kolam renang dengan tingkat kedalamannya makin tinggi. Nah, kalo cuma teori aja tanpa praktik, nggak bakalan bisa nyambung untuk memahami sebuah kenyataan yang kita rasakan. Termasuk dalam kehidupan sosial yang kita jalani.

Insya Allah deh, kalo udah kita jalani kehidupan ini kita bakalan merasakan bagaimana sejatinya hidup. Kita akan dapetin pengalaman bahwa kehidupan ini bisa dijadikan sarana untuk belajar memahami kenyataan hidup. Sehingga kita nggak terus menerus kecewa jika gagal, tapi sebaliknya akan berusaha untuk membenahi kehidupan kita agar lebih baik lagi. Begitu pula kita nggak akan merasa nyantai dan terlena kalo kebetulan dalam hidup ini merasakan kesenangan, sebab suatu saat pasti akan ada ‘jatuhnya’. Tul nggak sih?

Kalo kita mau membaca kisah hidup Muhammad Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, kayaknya kita bakalan terharu deh. Gimana nggak, saat beliau masih dalam kandungan ibunya, ayahnya sudah meninggalkan beliau selama-lamanya. Kemudian di masa kanak-kanak, saat butuh kasih sayang ibunya, beliau pun harus kehilangan ibunda tercintanya untuk selama-lamanya. Kalo mau ngukur kehidupan dengan untung-rugi menurut pikiran kita, rasa-rasanya kehidupan seperti itu sangat membuat kita menderita.

Namun, masa kecil Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sungguh sangat patut untuk kita teladani. Beliau yang oleh Allah Ta’ala sudah dipilih menjadi utusan-Nya di muka bumi ini nggak nunjukkin rasa minder atau lemah. Sebelum menjadi Nabi dan Rasul pun, beliau sudah berbudi pekerti baik ketimbang penduduk kabilah Quraisy pada umumnya. Kamu bisa baca lebih detil tentang kehidupan Muhammad Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di buku-buku shirah tentang beliau. Biar mantap gitu lho. Karena kalo harus semua diceritakan di sini kayaknya nggak bakalan cukup deh.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya adalah orang-orang yang tak kenal lelah untuk berjuang dan membela Islam. Kita bisa menyaksikan bagaimana perjuangan mereka dalam membela Islam. Sebagai contoh aja nih, Kamu udah pernah dengar nama Abdullah Ibnu Umar kan? Nah, beliau ini patut kita contoh dalam hidup kita. Di usianya yang menginjak 13 tahun, sudah kebelet ingin ikut berjihad bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersama al-Barra’ ngotot ingin berperang bersama pasukan Rasulullah dalam perang Badar, namun oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ditolak karena masih kecil. Tahun berikutnya pada perang Uhud, beliau tetap ditolak, hanya al-Barra’ yang boleh ikut. Barulah keinginannya yang tak tertahankan itu terpenuhi pada saat perang Ahzab, Rasul memasukkannya ke dalam pasukan kaum muslimin yang akan memerangi kaum musyrikin (Shahih Bukhari jilid VII, hlm. 226 dan 302).

Sekarang, dalam kehidupan kita saat ini yang tenteram bin adem ayem (untuk sebagian orang), bukan berarti semangat juang kita lemah. Memang sih, kita masih bisa tenang melaksanakan shalat. Nggak ada yang melarang. Namun, para ulama dan ustaz yang dianggap kritis kepada rezim negeri ini, ditangkapi dan dibui. Para aktivis Islam udah kenyang di-bully dengan ujaran kebencian dari orang kafir dan munafiq. Sebagian besar dari kamu bisa jadi belum merasakan beratnya perjuangan karena masih asyik dengan drakor dan musik yang melenakan, masih nyantai di media sosial yang dijadikan sekadar hiburan, bukan sarana dakwah. Ketahuilah, jika kita nggak peduli dengan kondisi kaum muslimin yang lain, sebenarnya siapa kita?

Memang sih, kita beda kelas dengan para ustaz dan ulama serta para aktivis dakwah lainnya yang diburu, ditangkap, dibui, bahkan ada yang dibunuh. Mereka sudah terbiasa terjun dalam kerasnya perjuangan dan ikhlasnya perjuangan menegakkan Islam. Namun, kita jangan cuek. Tetap wajib peduli. Bila belum bisa berjuang seperti mereka, setidaknya jangan ikut-ikutan memberikan penilaian buruk terhadap mereka. Jangan menghalangi dakwah mereka. Jangan pula malah malas belajar Islam dan bahkan minder jadi muslim. Jangan.

Lalu apa yang harus kita lakukan saat ini, apalagi dengan bekal minim, baik ilmu maupun amal?

Tetap optimis

Sobat gaulislam, yang bisa kita lakukan saat ini adalah bagaimana berupaya untuk belajar Islam, memahaminya, mengamalkannya dalam kehidupan, dan berusaha untuk menyampaikannya lagi kepada saudara kita yang lain melalui jalan dakwah. Inilah tugas kita saat ini yang memerlukan semangat juang yang terinspirasi dari perjuangan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Harapan itu masih ada.

Yup, hidup ini harus optimis. Ngapain juga kudu pesimis dalam hidup ini. Susah dan gagal itu biasa. Tapi berusaha terus agar bisa senang dan berhasil, itu luar biasa. Setuju nggak? Iya dong, soalnya setiap orang yang pernah mencoba untuk berusaha pasti menemui kegagalan, sekecil apa pun kegagalan itu.

So, gagal itu biasa, yang luar biasa itu semangat untuk bangkit dari kegagalan demi kegagalan. Kita, sebagai muslim, tentu harus lebih optimis dalam hidup di dunia ini, karena akan menikmati kehidupan di akhirat yang kekal di surga-Nya jika kita banyak berbuat baik sesuai ajaran Islam dalam hidup ini.

Jika saat ini sebagian dari saudara kita dituduh dan difitnah, bahkan ditangkapi, dibui, bahwa korban nyawa, jangan takut dan jangan lemah untuk tetap berjuang dan membela Islam. Kita tetap di barisan para pejuang dan pembela Islam. Ikhlaskan niat, maksimalkan ikhtiar. Harapan itu masih ada. Harapan untuk menegakkan Islam di negeri ini dan di bumi ini.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran [3]: 139)

Yuk, raih masa depan kehidupan kita di dunia, juga di akhirat. Wuih, ini baru keren namanya. Jadi, yakinlah bahwa menjadi aktivis dakwah itu mulia. Meski banyak kendala, yakinlah bahwa harapan untuk menjadi lebih baik terbuka lebar. Islam yang diperjuangkan insya Allah akan menang. Ya, harapan itu masih ada. Semangat! [O. Solihin | IG @osolihin]