gaulislam edisi 706/tahun ke-14 (21 Ramadhan 1442 H/ 3 Mei 2021)
Kamu jangan kaget dulu dengan judul ini, ya. Nggak apa-apa sih, sesekali kita bahas yang berat-berat. Oya, karena pekan ini udah masuk sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, tadinya mau bahas seputar i’tikaf. Tapi dipikir-pikir kok ada tema yang penting juga. Sempat kepikiran mau bahas tentang mudik yang dilarang, cuma sepertinya tema yang seputar terorisme ini yang berhasil menggeser rencana tema-tema tersebut. Alasannya sih, meski di bulan Ramadhan, Islam dan kaum muslimin selalu dinyiyirin dan dipersekusi.
Memang sih, sepertinya untuk kelompok tertentu, tetapi dampaknya kan yang menerima adalah kaum muslimin secara umum. Apalagi diberikan label, yakni yang memusuhi rezim. Jadinya, semua pihak yang memiliki sikap kritis kepada rezim ini, dianggap membangkang. Dianggap musuh, dan harus dilawan dengan cara apa pun. Termasuk melabelinya dengan sebutan teroris. Nggak peduli bener atau salah, yang penting stigma (cap buruk alias negatif) udah melekat. Kasus terakhir, tentu saja yang masih hangat adalah penangkapan eks Sekretaris Umum FPI, Munarman pada 27 April 2021 lalu. Ia digelandang dari rumahnya oleh Densus 88, karena diduga (atau justru sudah dianggap?) teroris.
Sobat gaulislam, nah tema ini sengaja saya pilih untuk edisi pekan ini karena satu alasan: umat Islam tetap seperti jadi musuh negara di negeri yang justru mayoritas muslim ini. Aneh, kan? Itu sebabnya, saya coba menulis ini supaya kamu juga ngeh nih, walau masih remaja. Malah sebenarnya mumpung masih remaja kudu ngeh banyak hal, termasuk urusan kaum muslimin, baik lokal maupun global. Tujuannya, supaya kamu terlatih berpikir politis dan juga peka terhadap urusan kaum muslimin di mana pun. Setuju, ya. Kudu!
Oya, tulisan ini diberi judul “Teroris Pesanan”. Lho, emang ada yang pesan? Siapa yang pesan? Siapa yang bikin atau produksi? Sabar dulu, Bro en Sis, saya jelaskan pelan-pelan, ya. Nggak perlu ngegas dulu.
Jadi begini, sudah jadi rahasia umum bahwa kasus terorisme itu bukan murni kriminal. Artinya, terorisme ini bisa berdimensi politik. Duh, semoga kamu paham ya walau bahasanya rada-rada berat. Eh, emang berat? Hmm.. gini aja deh. Intinya sih, terorisme ini bisa dipake sebagai tool alias alat pihak mana pun. Sebabnya apa? Ya, karena ini ‘mainan’ yang bikin heboh banyak orang. Betul, terorisme bisa dimainkan untuk kepentingan apa pun, oleh pihak mana pun. Sesuai kebutuhan, sesuai pesanan. Bisa jadi, lho.
Siapa targetnya?
Kamu pernah konspirasi kecil-kecilan dengan temanmu untuk melakukan seuatu yang jahat dalam mencelakakan pihak lain? Semoga saja belum pernah, ya. Kan, nggak boleh. Namun, secara fakta bisa saja terjadi. Konspirasi itu bukan sekadar teori, tetapi dalam beberapa kondisi jika sudah terbukti berarti memang konspirasi beneran. Praktik konspirasi.
Contoh deh. Misalnya si fulan nggak suka dengan keberadaan si fulan lainnya. Lalu si fulan yang nggak suka itu membuat semacam akal-akalan (boleh lah disebut taktik). Apa taktiknya? Membuat fitnah atau berupaya mengadu-domba. Waduh. Sampai sini, paham? Nggak perlu dicontohkan kayak gimana fitnah dan adu domba, sebab ini mudah dipahami. Nah, model begini termasuk kategori konspirasi, Bro en Sis.
Umat Islam ini sering menjadi target stigma atau citra buruk melalui kasus terorisme. John Pilger menuturkan bahwa tidak ada perang terhadap terorisme, namun yang ada hanyalah alasan yang dibuat-buat.
“Korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang terhadap terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme,” katanya lansir Galamedia dari situs John Pilger pada 2 April 2021.
John Pilger sendiri merupakan seorang jurnalis investigatif Australia dan produser film dokumenter pemenang penghargaan BAFTA.
Istilah terorisme, menurut Noam Chomsky, mulai digunakan pada abad ke-18 akhir, terutama untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan pemerintah yang dimaksudkan untuk menjamin ketaatan rakyat. Istilah ini diterapkan terutama untuk “terorisme pembalasan” oleh individu atau kelompok-kelompok. Sekarang, pemakaian istilah terorisme dibatasi hanya untuk pengacau-pengacau yang mengusik pihak yang kuat. Inilah yang terjadi sekarang. Dalam Kamus Amerika Serikat (AS), terorisme adalah tindakan protes yang dilakukan negara-negara atau kelompok-kelompok “pemberontak”. Pembunuhan seorang tentara Israel oleh HAMAS, misalnya, disebut aksi terorisme. Namun, ketika tentara Israel membantai puluhan, ratusan, bahkan ribuan warga Palestina bukanlah aksi teror, melainkan aksi “pembalasan”.
KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) di Papua saja belum lama baru ditetapkan sebagai organisasi teroris. Padahal, udah lama tuh ngebunuhi rakyat sipil dan tentara. Kok, telat banget, ya? Apa motifnya? Belum jelas. Dan, kasus terorisme itu selalu blur. Nggak jelas. Sehingga, barangkali menjadi wajar jika kemudian ada yang mempertanyakan, jangan-jangan terorisme itu pesanan. Ya, seperti pada judul buletin kesayangan kamu ini. Bisa jadi, ya.
Bagaimana dengan umat Islam? Wah, sudah lama selalu diberi label ini. Padahal, kalo pun ada kelompok dari kalangan Islam yang model begitu jumlahnya nggak banyak. Jadi, mengapa yang ditarget dalam perang opini ini seolah semua kalangan dari umat Islam?
Pikir lagi deh, secara fakta nggak begitu. Sehingga ada juga beberapa pengamat yang kemudian curiga, bahwa jangan-jangan itu bagian dari konspirasi, hanya karena nggak suka terhadap Islam dan kaum muslimin. Malah memungkinkan juga, karena namanya juga konspirasi, lalu membuat semacam aksi teror oleh pihak ketiga yang sudah disetting, lalu dituduhkan bahwa pelakunya adalah umat Islam, tepatnya kelompok dari umat Islam. Mungkin saja, kan?
Nah, ini sih kategorinya fitnah, dong ya. Sekaligus pula upaya adu domba. Sehingga umat Islam sendiri terpecah antar yang pro dan kontra. Kalo udah begini, yang tertawa adalah mereka yang membenci Islam dan kaum muslimin. Jelas, jika settingannya begini, yang ditarget adalah umat Islam. Waspadalah!
Konflik “abadi”
Sobat gaulislam, bukan maksud ngomporin atau ngajak berantem dengan menuliskan subjudul seperti ini. Karena faktanya memang terus terjadi dan akan senantiasa terjadi. Inilah yang disebut dengan benturan peradaban. Sekecil apa pun pasti akan berbenturan, karena dasarnya juga memang berbeda. Jadi, wajar dong kalo kemudian selalu terjadi benturan. Jangankan dalam suasana seperti sekarang yang udah bisa dibilang “Siaga 1”, ketika Islam berjaya dan menerapkan prinsip toleransi dengan umat beragama lain dan dengan peradaban lain, tetap aja banyak rongrongan. Ini menjadi bukti bahwa konflik antar peradaban ini sudah bisa diangap ‘abadi’.
Jadi jangan heran kalo para pakar politik dunia masih menganggap bahwa Islam, meski sekarang belum diemban lagi oleh sebuah negara yang menerapkannya sebagai ideologi, tapi tetap sebagai ancaman bagi Kapitalisme dan tentunya Sosialisme-Komunisme. Meski harus diakui saat ini yang paling nafsu untuk menghancurkan Islam tuh adalah Kapitalisme-Sekularisme, peradaban yang diemban Barat. Jadi benturan antara Islam dan Barat ini nggak bakalan berhenti. Akan terus dan boleh dibilang sebagai konflik yang nggak pernah selesai.
Itu sebabnya, Sekjen NATO Willie Claise pernah mengatakan, ”Islam fundamentalis adalah bahaya yang mengancam geopolitik masa depan.” Sedang orientalis Bernard Lewis menyatakan pandangannya tentang Islam dan Kapitalisme, ”Keduanya bertentangan satu sama lain. Tak mungkin ada dialog di antara keduanya.” Samuel P. Huntington, profesor ilmu-ilmu politik di Universitas Harvard Amerika, dan direktur Institut John M. Ulin untuk Studi-Studi Strategis di Universitas Harvard berkata, ”Sesungguhnya benturan antar peradaban nanti akan mendominasi politik luar negeri. Batas-batas pemisah antar peradaban di masa depan nantinya akan menjadi batas-batas konfrontasi antar peradaban.” Dia kemudian mengatakan, ”Agama telah membedakan manusia dengan amat tegas dan jelas. Seseorang bisa saja setengah Perancis setengah Arab…Tetapi sangat sulit seseorang menjadi setengah Katholik setengah muslim.” (Abdul Qadim Zallum, Persepsi-persepsi Berbahaya; untuk menghantam Islam dan mengokohkan peradaban Barat, hlm. 24)
Sementara Francis Fukuyama, pemikir AS, dalam bukunya ”The End of History”, menyatakan ”… Akan tetapi Islam meskipun dalam kondisi lemah dan tercerai-berai, sesunguhnya tengah mengancam agama baru yang menang ini (yaitu kapitalisme)”.
Bahkan, strategi global “perang melawan Islam” sudah disetting banget sama Barat. Sebagaimana dirumuskan ilmuwan ‘neo-orientalis’ Samuel P. Huntington, dalam bukunya, Who Are We? (2004). Dalam buku ini, Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul “Militant Islam vs. America”, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS: (This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War. Muslim hostility encourages Americans to define their identity in religious and cultural terms, just as the Cold War promoted political and creedal definitions of that identity) (dalam Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-124, 28 November 2005, di laman hidayatullah.com)
Sobat, beberapa fakta ini udah nggak meragukan lagi bahwa benturan peradaban, khususnya antara Islam dengan Barat sudah menjadi bagian dari kehidupan. Jika kita hanya diam, apalagi tidur mulu, kita bakalan dilindes mesin-mesin perang Barat yang disebar lewat pemikiran yang rusak dan budaya yang bobrok yang bertaburan di media massa mereka sebagai intsrumennya. Nggak kebayang deh, kalo kita akhirnya jadi korban peradaban Barat. Atau, malah sudah?
Lalu, apa yang harus kita lakukan saat ini? Kita umat terbaik, Bro en Sis. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran [3]: 110)
Nah, karena kita umat terbaik, maka jangan bengong aja, apalagi latah ngikutin jalan hidup selain Islam. Sebaliknya, siapkan diri untuk belajar Islam jika kamu belum tahu banyak tentang Islam. Siapkan juga mental untuk mengkaji Islam, walau mungkin berat. Selain itu, setelah paham ajaran Islam, ada kewajiban lainnya untuk mengamalkannya. Lebih bagus lagi jika dilanjut dengan menyebarkan ajaran Islam melalui dakwah lisan atau tulisan. Itu baru keren. Bekerjasamalah dengan kaum muslimin lainnya dari berbagai organisasi dan komunitas, tujuannya untuk mensyiarkan dan mengokohkan ukhuwah islamiyah.
So, bukan tak mungkin kalo udah banyak yang diketahui dari ajaran Islam, akan mau memperjuangkan dan membela Islam dan melawan segala bentuk fitnah dan kezaliman yang dilakukan musuh-musuh Islam. Kamu siap? Semoga, ya. Sebab, di era ini, kita umat Islam sering jadi sasaran stigma, terutama melalui istilah radikalisme dan terorisme. Sehingga kita perlu menyadari bahwa jangan-jangan tuduhan terorisme kepada umat Islam adalah pesanan pihak tertentu. Bisa jadi, lho. Waspadalah! [O. Solihin | IG @osolihin]