gaulislam edisi 707/tahun ke-14 (28 Ramadhan 1442 H/ 10 Mei 2021)
Sedih. Iya, ini kata pertama mengawali pembahasan di buletin gaulislam edisi pekan ini. Gimana nggak sedih, beberapa peristiwa bikin kita sebagai umat Islam kesal, tetapi memang harus bersabar. Kesal karena tidak bisa berbuat banyak untuk melakukan perlawanan atau sekadar menuliskan pembelaan. Sabar, selain karena sedang dalam keadaan berpuasa, juga karena tragedi ini datang bertubi-tubi.
Coba kamu pikir deh, apa kita tetap bisa terbahak saat menyaksikan saudara kita dipersekusi dan dizalimi? Apakah kita masih bisa berleha-leha ketika banyak saudara kita yang memerlukan bantuan kita? Apakah kita masih bisa tidur nyenyak ketika banyak dari para ustaz atau ulama dianiaya? Nggak, kan? Namun, gimana cara agar bisa membela mereka? Nyaris di antara kita sendiri belum satu suara. Masih terpecah dan banyak hal yang dipikirkan dan menjadi prioritas.
Oke lah, mungkin ujian (atau musibah?) ini mestinya menjadi sarana muhasabah kita untuk merenungkan, apa yang sudah kita lakukan untuk Islam dan kaum muslimin. Jika sudah, seberapa ikhlas kita berjuang. Bisa jadi mungkin perlu juga berpikir, apa betul ini ujian? Jangan-jangan ini adalah peringatan karena kelalaian dan dosa kita. Iya, bisa jadi, kan? Namun, semoga saja bukan azab. Naudzubillah min dzalik.
Apa saja tragedi alias peristiwa menyedihkan saat Ramadhan tahun ini bagi kaum muslimin dan Islam? Ya, setidaknya ada beberapa peristiwa yang perlu mendapatkan perhatian kita. Baik peristiwa yang di dalam negeri maupu di luar negeri. Namun, karena kita disatukan dengan akidah Islam, maka kita tetap bersaudara. Bersaudara dalam Islam.
Saya menulis tidak runut berdasarkan tanggal ya, selama Ramadhan 1442 ini. Saya akan menuliskannya berdasarkan yang perlu ditulis di awal saja. Kita mulai dari peristiwa berdarah di Masjid Al-Aqsha Palestina. Sebenarnya udah sejak lama sih, cuma ya itu, ada kejadian baru yang bagi kita pantas disebut tragedi. Adalah pada Jumat (7/5/2021) lalu, kerusuhan itu pecah. Jamaah tarawih di Masjid Al-Aqsha diserang polisi Israel. Dibubarkan dengan alasan untuk mencegah terjadinya kerusuhan yang menurut versi Israel seperti pada pemberitaan di media massa, karena warga muslim Palestina memprotes rencana penggusuran wilayah permukiman Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur, dimana memang banyak dihuni kaum muslimin. Jadi, konon kabarnya Israel membela diri. Ah, ini sih alasan saja. Namanya juga penjajah.
Sampai pada tulisan ini dibuat di hari Senin (10/5) atau di hari terbit buletin ini, kondisi di sana masih belum kondusif. Polisi Israel masih melakukan penyerangan. Ratusan kaum muslimin terluka. Menurut laman bbc.com versi bahasa Indonesia, menuliskan berita bahwa tim kesehatan Palestina mengatakan lebih dari 300 orang Palestina terluka, sementara kepolisian Israel mengatakan setidaknya 20 orang petugas terluka.
Sebenarnya udah lama sih, Israel bertingkah pongah begitu. Israel menduduki Yerusalem Timur selama Perang Arab-Israel 1967. Mereka mencaplok seluruh kota pada 1980. Tindakan Israel ini tidak pernah diakui oleh komunitas internasional. Namun, anehnya seluruh dunia juga terkesan tak punya kekuatan untuk melawan Israel. Para pemimpin negeri muslim yang berdekatan dengan wilayah Palestina aja nggak berkutik. Terkesan menutup mata meski melihat saudaranya di Palestina dizalimi. Ini bukan saja tragedi secara fisik, tetapi tragedi juga dalam hal kepedulian sesama muslim. Menyedihkan.
Bagaimana kabar saudara kita muslim Uighur? Masih memprihatinkan. Larangan melaksanakan ibadah masih berlanjut, termasuk tentunya ibadah puasa Ramadhan. Akses ke masjid dibatasi.
Mengutip berita di laman republika.co.id (20/4/2021), dituliskan bahwa aturan yang membatasi umat Islam untuk melaksanakan ibadah puasa selama Ramadhan di wilayah otonomi etnis Uighur di Xinjiang, China (XUAR), telah dikurangi dalam beberapa tahun terakhir.
Meski demikian, menurut pihak berwenang banyak warga yang masih menahan diri untuk melakukannya, menunjukkan adanya kekhawatir mereka akan dinilai sebagai ekstremis dan ditangkap.
Selama bertahun-tahun, warga Uighur dan Muslim Turki lainnya di XUAR telah dilarang menjalankan puasa selama Ramadhan karena pembatasan agama yang diberlakukan Pemerintah China. Banyak pegawai negeri, siswa, ataupun guru Muslim yang harus dilarang melaksanakan ibadah selama bulan suci tersebut. Jelas tragedi bagi kita juga. Ini menambah daftar panjang penderitaan kaum muslimin yang menjadi minoritas di suatu negara.
Sobat gaulislam, tragedi di dalam negeri tak kalah mengerikan. Bikin sedih, tapi juga kesal karena kaum muslimin belum berhasil melawan secara real kezaliman yang dipertontonkan dengan sangat nyata oleh negara. Gimana nggak, rakyat dilarang mudik dengan alasan menekan penyebaran Covid-19, tetapi dalam waktu yang bersamaan, ratusan tenaga kerja asing berdatangan ke negeri ini. Ironisnya, mereka diboyong melalui pesawat sewaan yang disetujui negara melalui kemenhub. Gimana, aneh banget, kan? Padahal, kalo mau adil ya dilarang juga lah. Apalagi dari luar negeri, apalagi dari negara yang juga terpapar Covid-19. Inilah tragedi bagi negeri ini, bagi negeri yang mayoritas muslim.
Lanjut, ya. Tragedi berikutnya soal empati yang tak ditunjukkan Presiden Jokowi dalam sebuah pidato yang akhirnya jadi kontroversi, khususnya di media sosial. Kamu pasti tahu juga dong, isi pidatonya?
Nih, saya kutipkan deh: “Sebentar lagi Lebaran. Namun karena masih dalam suasana pandemi, pemerintah melarang mudik untuk keselamatan kita bersama. Nah, Bapak, Ibu, Saudara-saudara, yang rindu kuliner daerah atau mudik membawa oleh-oleh, tidak perlu ragu untuk memesannya secara online,” kata Jokowi dalam video pidatonya, Sabtu (8/5/2021).
“Yang rindu makan gudeg Yogya, bandeng Semarang, siomay Bandung, pempek Palembang, Bipang Ambawang dari Kalimantan, dan lain-lainnya tinggal pesan dan makanan kesukaan akan diantar sampai ke rumah,” ujarnya.
Nah, yang jadi problem adalah dengan sangat jelas mengucapkan Bipang Ambawang dari Kalimantan. Nah, ini yang jadi masalah. Why? Banyak orang memahami bahwa yang dimaksud adalah Babi Panggang khas Ambawang, salah satu daerah di Kalimantan Barat. Waduh, momen lebaran bagi umat Islam kok diselipkan promo kuliner yang satu itu. Jelas semacam pelecehan kepada umat Islam. Apalagi kata Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin menilai tak ada yang salah dari pidato Presiden Jokowi yang memperkenalkan kuliner khas Kalimantan, Bipang Ambawang.
Dia mengatakan bahwa setiap materi pidato Presiden selalu melalui tahapan yang ketat, sebelum akhirnya keluar dari mulut Jokowi.
“Tidak mungkin ada satu pernyataan Presiden keluar tanpa melalui satu seleksi atau penelitian. Karena kalimat-kalimat dan diksi-diksi yang disampaikan oleh Bapak Presiden kan untuk kepentingan publik dan seluruh rakyat Indonesia,” ujar Ngabalin saat dihubungi Liputan6.com, Minggu (9/3/2021).
Kalo kayak gini sih, sebenarnya para pendukungnya, termasuk para buzzer nggak usah melakukan pembelaan dan meluruskan bahwa yang dimaksud adalah panganan lain. Iya lah, nggak ada gunanya. Sebab, yang dimaksud memang Bipang Ambawang, ya Babi Panggang khas Ambawang, Kalimantan Barat. Begitulah, umat Islam di negeri ini sudah sering dipersekusi, dinyinyirin, dibuly, dituduh, difitnah dan bahkan ada yang dipenjara dan dibunuh. Ini jelas menambah daftar tragedi bagi umat Islam, khususnya di bulan suci Ramadhan tahun 1442 hijriah ini. Catet, Bro en Sis. Ini sejarah.
Bagaimana kita mengubah kondisi ini?
Sobat gaulislam, sejujurnya saya sendiri khawatir. Why? Iya, khawatir, kondisi kita saat ini di negeri kita dan di negeri lainnya adalah bukan ujian, tetapi musibah (sebagai peringatan karena kita lalai dalam ketaatan). Meski demikian, saya masih berharap ini ujian, sehingga kita bisa bersabar menjalaninya sambil berusaha mencari solusi terbaik.
Namun demikian, agar kita juga bisa introspeksi, saya coba bahas juga kekhawatiran tersebut. Maksudnya dari sisi sebagai musibah berupa peringatan karena kita lalai.
Firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka berusaha mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’d [13]: 11)
Menurut Imam Ibnu Katsir (nama lengkap beliau: Ismail bin Umar al-Quraisyi bin Katsir al-Bashri ad-Dimasyqi) rahimahullah dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan ayat ini. Beliau mengutip Ibnu Abu Hatim yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Asy’as, dari Jahm, dari Ibrahim yang mengatakan bahwa Allah pernah memerintahkan kepada salah seorang nabi dari kalangan kaum Bani Israil, “Hendaklah kamu katakan kepada kaummu bahwa tidak ada suatu penduduk kota pun —dan tidak ada penghuni suatu ahli bait pun— yang tadinya berada dalam ketaatan kepada Allah, lalu mereka berpaling dari ketaatan dan mengerjakan maksiat kepada Allah, melainkan Allah memalingkan dari mereka hal-hal yang mereka sukai, kemudian menggantikannya dengan hal-hal yang tidak mereka sukai.”
Selanjutnya Jahm ibnu Ibrahim mengatakan bahwa bukti kebenaran ini dalam Kitabullah (al-Quran) ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala, yang mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Nah, jika disederhanakan pembahasannya, perubahan ini bisa terjadi dari baik menjadi buruk. Perubahan tersebut disebabkan karena kedurhakaan mereka kepada Allah, atau disebabkan karena maksiat kepada Allah. Padahal, sudah ada ancaman juga, jika berubah dari taat menjadi durhaka, maka Allah akan memalingkan dari apa yang mereka sukai kepada hal-hal yang tidak mereka sukai. Ini sebagai konsekuensi atas perbuatannya.
Yuk, kita perbaiki niat kita. Perkuat keimanan kita kepada Allah. Perbagus akhlak dan adab kita. Tingkatkan keilmuan kita dengan banyak belajar. Benahi kuantitas dan kualitas amal shalih kita. Rekatkan ukhuwah di antara kaum muslimin. Satukan tujuan perjuangan, yakni menegakkan Islam sebagai ideologi negara. Kita khawatir, karena banyak di antara kita yang lalai terhadap ajaran Islam, tak peduli terhadap sesama kaum muslimin, masih dibelenggu penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati), masih rela dijajah ideologi selain Islam, bahkan menikmati dan menerapkannya. Sehingga tragedi demi tragedi yang dialami umat Islam terus hadir bertubi-tubi.
So, mulai sekarang kita mulai sadar diri, pelan-pelan bangkit, dan mulailah bergerak untuk memperjuangkan Islam dan menunjukkan kekuatan ukhuwah islamiyah di antara kita. Dimulai dari diri sendiri, dimulai dari (amalan) yang terkecil, dan dimulai sekarang juga. Semangat! [O. Solihin | IG @osolihin]