Friday, 22 November 2024, 05:11

gaulislam edisi 714/tahun ke-14 (18 Dzulqa’dah 1442 H/ 28 Juni 2021)

Kalo zaman sekarang sih, mendengar kata “positif” langsung nyesek bin kaget dan bikin takut. Iya, pas dibilang, “kamu positif covid-19”. Waduh, pada ogah dah. Kagak ada yang mau, pengennya pas dites, ya negatif. Eh, tapi secara umum emang tergantung konteks juga, ya. Tanya dulu lagi ngomongin apaan.

Oke, di edisi kali ini saya akan menajak kamu untuk berpikir positif. Supaya kamu dan kita semua terbebas dari hal-hal yang bakala melemahkan kita. Maksudnya gimana?

Hmm.. gini deh. Saya coba mengutip kata-kata George Shinn, “Sikap positif tidak hanya akan mengubah hidup Anda, tapi juga akan mengubah dunia Anda.”

Masih belum paham? Coba pelan-pelan saya jelasin deh. Jadi begini, kamu nggak bisa maju kalo cuma berpikir negatif melulu. Suer, ini bisa menghambat usaha kamu dalam memperbaiki kehidupan ini. Buanglah semua pikiran jelek bin negatif dalam benak kamu. Karena itu hanya akan menjadi benalu yang merugikan kamu sendiri. Nggak baik memelihara penyakit model begitu.

Ketika kita ingin berusaha, tataplah segalanya dengan positive thinking. Kita harus bisa memprediksi bahwa apa yang bakal kita usahakan memang sudah diperhitungkan dengan matang. Maka, memiliki dan memelihara cara berpikir positif akan membantu kita untuk terus melaju. Dan biasanya, salah satu ciri orang yang percaya diri memang berpikir positif. Selalu ada jalan dan selalu ada hikmah di balik semua keputusan yang telah kita buat, dan semua pekerjaan yang sedang dan akan kita jalani. Selalu ada baiknya.

Sobat gaulislam, teman atau saudara kita yang menjadi seorang tentara, tentunya ia sudah memikirkan segala risikonya. Tapi dengan memiliki semangat berpikir positif, ia jalani profesi tersebut dengan penuh keyakinan. Emang sih, kalo mikirnya yang jelek-jelek aja, kita bakalan sutris sendiri. Apalagi zamannya tentara dikirim ke daerah konflik. Pasti yang kebayang adalah suasana perang dan kita akan mati di medan tempur. Wah, kayaknya nggak bakalan ada orang yang mau jadi tentara kalo semuanya berpikir negatif mulu.

Enjoy aja lagi. Meski risiko menjadi buruh bangunan juga besar dan urusannya dengan nyawa, tapi bukan berarti jenis pekerjaan ini nggak ada yang mau mengerjakan. Ada aja yang mau, kok. Masing-masing orang emang udah ada jalannya sendiri. Coba, kalo semua orang berpikir negatif, sebuah rancangan bangunan berlantai 50 nggak bakalan bisa selesai kalo nggak ada buruhnya yang berani ambil risiko untuk bekerja di sana.

Ternyata, masih banyak orang berpikir positif. Hasilnya? Pekerjaan sebagai buruh bangunan, meski dengan risiko yang besar, tetap ada yang menjalaninya. Setidaknya, selain karena kebutuhan finansial, berpikir positif dari para buruh yang bekerja juga menjadi bensin penyemangat.

Ber-husnudzan sajalah, bahwa dengan jenis pekerjaan yang berat dan berisiko tinggi itu pastinya pengelola gedung atau para kontraktor sudah menjamin keselamatannya. Misalnya, prosedur pengamanannya kelas satu, terus kesejahteraan pekerja juga dijamin. Jadi, nggak usah takut duluan dan mikirnya yang jelek-jelek aja. Oya, bagi seorang muslim, tentu saja tawakal yang utama. Allah Ta’ala yang akan menjadi penolong kita.

Waktu saya hendak berangkat ke Bogor dalam rangka melanjutkan studi (dulu di akhir tahun 1980-an). Ada perasaan berat yang menghinggapi pikiran saya. Harap-harap cemas. Pikiran seperti itu muncul karena saya belum percaya diri. Tapi keluarga terus menyemangati, bahwa jauh dari orangtua bisa juga menjadikan kita lebih mandiri. “Yakin deh, bahwa di sana juga ada keluarga dan juga kawan-kawan kamu yang baru,” ujar salah seorang kerabat.

Sejak saat itu, saya mulai bisa berpikir yang baik-baik, yang positif. Nggak melulu dikuasai pikiran-pikiran negatif tentang masa depan hidup saya. Ternyata, berpikir positif itu lebih memberikan ketenangan dalam jiwa saya, lebih yakin dengan apa yang saya lakukan, dan lebih percaya diri dalam menjalani kehidupan ini.

Pelajaran berharga

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Pelajaran yang sangat berharga pernah dicontohkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya saat Perang Badar melawan kaum kafir Quraisy. Meski dengan jumlah yang nggak imbang, tapi Rasulullah dan para sahabat tetap berpikir positif, bahwa kemenangan akan diraih berkat usaha maksimal dan tentunya yang utama adalah pertolongan dari Allah Ta’ala.

Kisahnya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya berangkat dari Madinah pada tanggal 8 Ramadhan. Menurut Ibnu Hisyam, perang ini merupakan kemenangan perdana yang menentukan posisi kekuatan kaum muslimin dalam menghadapi kekuatan kaum musyrikin. Allah Ta’ala telah memimpin langsung peperangan tersebut. Firman Allah Ta’ala: “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Anfâl [8]: 17)

Allah Ta’ala juga mengutus sepasukan malaikat untuk meneguhkan kaum muslimin dan menghancur-leburkan pasukan kaum kafir. Sebelumnya Allah telah meruntuhkan mental orang-orang kafir hingga timbul rasa takut yang amat sangat di antara mereka. Itu tergambar dalam Firman Allah Ta’ala (yang artinya),  (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman”. Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan potonglah tiap-tiap ujung jari mereka. (QS al-Anfâl [8]: 12)

Hasilnya, pasukan pimpinan Abu Jahal ini kewalahan dan binasa. Pada pertempuran di bulan Ramadhan ini, 313 tentara kaum muslimin berhasil menghajar telak dan melibas lebih dari 1000 pasukan kaum kafir Quraisy. Tragisnya, Abu Jahal bin Hisyam al-Makhzumi dan Abu Lahab al-al-Hasyimi tewas mengenaskan. Sedang Abu Sofyan selamat dan belakangan masuk Islam saat peristiwa Futuh Makkah enam tahun kemudian.

Menurut al-Maqrizi dalam kitabnya yang berjudul Imta’al Asma’, menghitung bahwa jumlah gembong alias petinggi kaum kafir Quraisy yang binasa dalam pertempuran tersebut sebanyak 27 orang, dan yang tewas setelah perang sekitar 20 orang. Sungguh fantastis.

Bayangin deh kalo kaum muslimin waktu itu nggak berpikir positif, pastinya ketika tahu jumlah pasukan musuh jauh lebih banyak dari pasukan kaum muslimin, kayaknya langsung jiper dah. Inilah salah satu buah dari berpikir positif, dan tentu yang utama yakin akan pertolongan dari Allah Ta’ala.

Oya, lagian kita nggak boleh kalah oleh semangatnya para maling sepeda motor (ih, kok dibandingin sama maling motor, sih?). Gini maksudnya, si maling udah tahu risikonya bakalan babak belur diamuk massa kalo kepergok lagi mencuri. Namun dia selalu berpikir bahwa ada saja peluang untuk bisa lolos. Dengan mengamalkan ‘berpikir positif’ (dalam tanda petik, ya), ternyata banyak pula maling motor yang sukses menggondol sepeda motor orang tanpa kepergok (hehehe.. kalo saya nulis begini, bukan berarti ngajarin kamu untuk maling motor, lho). Jangan!

Ini sekadar ilustrasi dan pelajaran buat kita. Saya hanya ingin menekankan bahwa jangan kalah semangat dengan mereka yang maksiat. Kita mah untuk kebaikan, harusnya lebih semangat lagi. Karena memang ada pahala atas perbuatan kita. Jadi, berpikir positif itu ternyata membuat kita nyaman dan tenang. Kalo pun harus gagal, ya bersabar. Tapi, jalani segalanya dengan penuh semangat. Jadi, selalu berpikir positif, ya.

Sekadar inspirasi

Semoga beberapa inspirasi ini bisa bikin kamu tenang dalam urusan berpikir positif. Apa aja, tuh?

Pertama, hadapi saja apa adanya. Siap hadapi risiko. Ya, hadapi saja apa adanya, bila itu terburuk sekali pun. Nggak usah nyari-nyari alasan untuk lari. Apalagi curiga sana-sini. Karena bisa jadi itu terjadi karena ulah kita sendiri.

Beneran, ini sama seperti dalam muamalah. Ada kaidah fikih disebutkan, “Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian.”

Maksud kaidah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu terjadi-. Keuntungan ini menjadi milik orang yang berani menanggung kerugian karena jika barang tersebut suatu waktu rusak, maka dialah yang merugi. Jika kerugian berani  ditanggung, maka keuntungan menjadi miliknya. (di laman rumaysho.com)

Kedua, ambil hikmahnya. Seringkali kita baru nyadar kalo sebuah peristiwa buruk menimpa kita. Ini momen penting buat kita. Jadi, ambil hikmahnya untuk pelajaran masa depan kita. Anggap sebagai ujian.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa yang ridho (terhadap ujian tersebut) maka baginya ridho Allah dan barang siapa yang marah (terhadap ujian tersebut) maka baginya murka-Nya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Ketiga, tumbuhkan rasa percaya diri. Ini penting banget untuk tetap berpikir positif. Nggak perlu merujuk apa kata orang atau sindiran orang, jika itu nggak benar. Kalo benar bolehlah diikuti. Jadi, percayalah pada kemampuan diri kamu. Oya, sebagai catatan, maksudnya percaya diri dalam pengertian tidak minder. Sebab, jangan salah juga lho, kalo yang dimaksud percaya diri adalah mengandalkan semata kemampuan diri dan tidak bergantung kepada Allah alias mengabaikan pertolongan Allah Ta’ala, ya jadi nggak boleh, lebih tegasnya: haram.

Dalam sebuah doa yang terdapat dalam hadits disebutkan, “Ya Allah, janganlah Kau serahkan diriku kepada diriku sendiri meski hanya sekejap mata” (HR Abu Daud, Ahmad, Ibnu Hibban)

Keempat, bersabar ya. Nah, kesabaran akan membuat kita lebih bijak menerima keadaan. Nggak akan berharap terlalu tinggi dan kalo kebetulan kecewa nggak bakalan berlarut-larut. Kesabaran pun bikin kita tahan goncangan dan tekanan. Sehingga masih tetap bisa husnudzan dalam hal apa pun.

Dari Anas bin Malik, dia berkata.”Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Sesungguhnya Allah berfirman.’Apabila Aku menguji hamba-Ku dengan kebutaan pada kedua matanya lalu dia bersabar, maka Aku akan mengganti kedua matanya itu dengan surga” (HR Bukhari)

Jadi, yuk biasakan berpikir positif (maksudnya husnudzan alias berbaik sangka). Jangan berpikiran negatif mulu. Memang sih, waspada boleh, curiga bisa jadi diperlukan. Namun, bukan berarti tanpa melibatkan akal sehat dan pemahaman yang benar berdasarkan wahyu (al-Quran dan hadits).

Intinya sih, untuk hal-hal kebaikan, berpikirlah positif. Jangan patah semangat, jangan takut kalah, jangan mudah menyerah. Husnuzan saja bahwa kita bisa mengupayakan sesuatu dan senantiasa berharap pertolongan Allah Ta’ala. Sip, deh! [O. Solihin | IG @osolihin]