Sunday, 24 November 2024, 16:12

Masyarakat Jahiliah memperlakukan para pembunuh bukan saja dengan membunuhnya, tetapi menuntut keadilan melebihi keadilan itu sendiri. Sehingga, si pembunuh bukan saja dibunuh, melainkan suku-suku kuat boleh jadi membunuh orang lain sebagai hukuman atas pembunuhan seseorang. Atau, paling tidak, membunuh seorang lelaki merdeka sebagai imbalan atas pembunuhan yang dilakukan seorang wanita atau hamba sahaya. Dalam konteks ini, turun ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukuman mati, antara lain firman-Nya:

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu (bila kamu mau) qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita … (Q.S. al-Baqarah 2:178).

Perlakuan itulah yang dinamai Al-Qur’an qishash , yang arti harfiahnya adalah “mengikuti”. Dari akar kata yang sama, lahir kata qishash (kisah) karena orang yang berkisah mengikuti peristiwa yang dikisahkannya tahap demi tahap sesuai kronologi kejadiannya. Dengan kata qishash, Al-Qur’an bermaksud mengingatkan bahwa apa yang dilakukan terhadap pelaku kejahatan pada hakikatnya hanya mengikuti cara dan akibat perlakuannya terhadap di korban.

Sebenarnya, konsep qishash dikenal oleh ajaran agama sebelum Islam, paling tidak, berdasarkan informasi Al-Qur’an, seperti telah ditetapkan Allah terhadap pengikut-pengikut Nabi Musa a.s.:

Telah kami tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishash-nya. Barang siapa yang melepaskan hak qishash-nya, maka melepaskan itu menjadi penebus dosa baginya (Q.S. al-Maidah 5:45).

Al-Qur’an menetapkan adanya qishash bagi pembunuh. Tetapi, saat menetapkannya seperti terbaca di atas Dia tidak mewajibkannya, melainkan diserahkan kepada keluarga si terbunuh untuk menetapkan pilihan mereka terhadap si pembunuh, baik “menuntut dari penguasa untuk membunuhnya” maupun memaafkannya dengan imbalan materi dari keluarga pembunuh.

Ini berbeda dengan pelaku pembunuhan yang meresahkan masyarakat dengan melakukan perampokan. Dalam kasus semacam ini, Al-Qur’an tidak memberi pilihan, tetapi secara tegas menyatakan bahwa tiada maaf bagi mereka. Itulah sebabnya, ayat 33 surah al-Maidah menggunakan kata yaqattalu (yang berarti ‘dibunuh secara pasti’), bukan yuqtalu (yang berarti ‘dibunuh’).

Ada pemikir yang menolak hukuman mati bagi terpidana. “Pembunuhan sebagai hukuman adalah suatu yang kejam, yang tidak berkenan bagi manusia beradab. Pembunuhan yang dilakukan terpidana menghilangkan satu nyawa, tetapi pelaksanaan qishash adalah menghilangkan satu nyawa yang lain.” Pembunuhan si pembunuh menyuburkan balas dendam, padahal pembalasan dendam merupakan suatu yang buruk dan harus dikikis melalui pendidikan. Karena itu, kata kalangan yang mengemukakan dalih, hukuman terhadap pembunuh bisa dilakukan dalam bentuk penjara seumur hidup dan kerja paksa; pembunuh adalah seorang yang mengalami gangguan jiwa, karena itu ia harus dirawat di rumah sakit; dan masih banyak dalih yang lain.

Dalam pandangan pakar-pakar Al-Qur’an, dalih-dalih tersebut dijawab Al-Qur’an dengan firman-Nya:

Barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain (bukan karena qishash), atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan ia membunuh manusia seluruhnya; dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya (Q.S. al-Maidah 5: 32).

Penjelasan ayat ini lebih-kurang sebagai berikut. Peraturan apa pun yang baik yang ditetapkan baik oleh manusia maupun Allah pada hakikatnya untuk kemaslahatan “masyarakat manusia”. Dan kalau kita berkata “masyarakat”, maka kita semua tahu bahwa ia adalah kumpulan dari saya, Anda, dan dia kumpulan manusia.

Adalah sangat mustahil memisahkan seorang manusia selaku pribadi dari masyarakatnya. Ini hanya terjadi dalam teori. Dalam kenyataan sosiologis, bahkan dalam kenyataan psikologis, manusia tak dapat dipisahkan dari masyarakat, sekalipun ia hidup di dalam goa seorang diri. Bukankah manusia yang tinggal seorang diri di goa menciptakan makhluk lain bersamanya, yang kalau bukan makhluk sejenisnya maka hantu atau semacamnya? Katakanlah hantu yang menakutkannya, atau malaikat yang mendukungnya.

Demikianlah kebutuhan manusia. Pada saat manusia merasakan kehadiran manusia lain bersamanya, pada saat itu pula seorang diri atau ribuan anggota masyarakatnya mempunyai kedudukan yang sama. Semua harus dihargai, sehingga Barang siapa yang membunuh seorang manusia tanpa alasan yang sah, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya Manusia sekaligus masyarakat, bahkan semua makhluk hidup memiliki naluri “mempertahankan hidup”. Semut pun melawan jika kehidupannya terancam kalau perlu dan mampu ia akan membunuh. Apalagi manusia. Karena itu, semua peraturan perundangan mentoleransi pembunuhan yang dilakukan siapa pun yang mempertahankan kehidupannya. Di sisi lain, semua masyarakat menyiapkan senjata-senjata pembunuh, paling tidak untuk mempertahankan kehidupannya.

Mengapa demikian? Jawabannya adalah, “Karena manusia ingin mempertahankan hidupnya, walau dengan membunuh.” Kalau demikian, mengapa tidak dibenarkan membunuh orang yang membunuh orang lain tanpa hak?

Bukankah tak ada perbedaan antara seseorang dengan masyarakatnya? Dengan membunuh orang yang membunuh tanpa hak, maka akan terjamin kehidupan orang lain, bahkan kehidupan banyak orang. Itu sebagian kandungan pesan singkat Al-Qur’an (Q.S. al-Baqarah 2: 179): Di dalam qishash ada jaminan kelangsungan hidup bagimu.

Dengan membunuh si terpidana, maka setiap orang yang merencanakan pembunuhan akan berpikir seribu kali karena yang paling berharga bagi manusia adalah hidupnya dan yang paling ditakutinya adalah kematian. Sebab, kalau seseorang mengetahui bahwa dengan membunuh tanpa hak ia tidak akan dibunuh, maka tangannya akan semakin ringan untuk menganiaya dan membunuh.

Agaknya Al-Qur’an menyadari bahwa tak semua orang bisa memahami kandungan pesan di atas. Oleh sebab itu, penggalan ayat tersebut dirangkaikan dengan kalimat: Hai orang-orang yang berakal.

Memang benar, tak semua orang menyadari hal itu. Buktinya adalah dalih-dalih seperti yang telah dikemukakan di atas. “Pembunuhan sebagai hukuman adalah sesuatu yang kejam, yang tak berkenan bagi manusia beradab, yang seharusnya memiliki rahmat dan kasih sayang.” Ayat tentang qishash akan dinilai kejam jika hanya dilihat secara berdiri sendiri dan melupakan korbannya yang terbunuh serta keluarga korban yang ditinggal.

Di sisi lain dalam pandangan Al-Qur’an ditekankan agar pelaksanaan sangsi hukum bagi penzina jangan sampai mengabaikan hukum hanya karena rasa kasih-sayang kepada terpidana (baca Q.S. an-Nur 24: 2). Rahmat dan kasih sayang ada tempatnya, dan ketegasan juga ada tempatnya. Itulah keadilan yang didambakan manusia, yakni meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang wajar.

“Pembunuhan yang dilakukan terpidana menghilangkan satu nyawa, tetapi pelaksanaan qishash adalah menghilangkan satu nyawa yang lain.” Begitu dalih yang lain, dan memang demikian yang tampak dipermukaan. Tetapi, yang tidak tampak karena bergejolak di hati keluarga korban adalah dendam menuntut balas, yang dapat melampaui batas keadilan. Dan ketika itu bukan saja satu nyawa lain yang terancam, melainkan bisa puluhan nyawa.

“Pembunuhan si pembunuh menyuburkan balas dendam. Padahal, pembalasan dendam merupakan sesuatu yang buruk dan harus dikikis melalui pendidikan.” Ini adalah dalih yang baik. Tetapi, berhasilkah kemanusiaan mengikis habis dari jiwa manusia perasaan dendam yang membara?

Betapapun, Al-Qur’an juga menempuh jalan pendidikan itu, sehingga, di samping ketetapan dan tuntunan-Nya yang menyatakan:

Barang siapa yang terbunuh secara aniaya, maka sesungguhnya Kami telah memberikan kekuasaan kepada ahli warisnya (Q.S. al-Isra’ 17: 33).

Kekuasaan yang dimaksud adalah “memaafkan, menerima ganti, atau menuntut qishash (membunuh) si pembunuh”. Dan kalau ia memilih yang terakhir, maka lanjutan pesan ayat di atas adalah: Janganlah ia (ahli waris) melampaui batas dalam membunuh, karena sesungguhnya ia (dengan ketetapan ini) telah mendapat pembelaan atau pertolongan. Dengan ketetapan-Nya memberi wewenang kepada ahli waris memilih alternatif di atas, sambil menganjurkan untuk memberi maaf kepada yang bersalah, karena pemaafan dalam qishash menghapuskan dosa si pemaaf serta melahirkan hubungan yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat, maka sisi pendidikan telah ditempuh Al-Qur’an.

Akhirnya, dalih terakhir adalah “si pembunuh mengidap penyakit jiwa”. Dalih ini sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat, karena ia akan mendorong pembunuhan dengan perisai “sakit jiwa”. Namun, jika memang yang demikian itu terbukti melalui pemeriksaan yang bertanggung jawab, maka tentu saja hukuman terhadap si terpidana akan berbeda.

Demikianlah sedikit uraian Al-Qur’an dan penafsirannya yang dapat dikemukakan dalam ruang yang terbatas ini. [Dr. Quraish Shihab]