Sunday, 24 November 2024, 12:17

gaulislam edisi 737/tahun ke-15 (1 Jumadal ‘Ula 1443 H/ 6 Desember 2021)

Ada yang bilang, “sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit”. Jika itu kebaikan yang dikerjakan, alhamdulillah. Bersyukurlah. Namun, bagaimana jadinya jika yang dikerjakan sedikit demi sedikit dan lama-lama jadi bukit adalah dosa dan kesesatan? Duh, rugi berlipat-lipat itu mah. Jangan sampe deh!

Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam. Karakter bisa dibangun dari kebiasaan, dan kebiasaan bisa dimulai dengan memaksakan diri untuk melakukan pembiasaan. Teknisnya bisa coba-coba terdahulu, cari informasi, tanya sini tanya situ, dirasa-rasa kok enak, lalu keterusan. Memang sih, bisa jadi awalnya berat dan mungkin susah. Namun, lama kelamaan akan terbiasa. Setelah terbiasa, akan menjadi karakter, akan menjadi jati diri. Jika itu kebaikan. Berbahagialah. Bersyukurlah.

Sebaliknya, jika itu keburukan, segeralah sadar diri dan istighfar, lalu sekuat tenaga memperbaiki dari awal. Bener banget. Sebab, gimana pun juga, awalnya adalah dari coba-coba, lalu merasakan, kemudian menjadi enak dan nyaman, seterusnya adalah merasa itu jadi jati dirinya, jadi karakternya, jadi pilihan hidupnya, dan bahkan akan memperjuangkannya.

Contoh aja nih, ya. Kita mulai dari sisi yang negatif. Pacaran, misalnya. Ya, awalnya melihat fakta di lingkungan sekitar dan di sekolah ada beberapa teman yang melakukannya, kemudian berusaha mencari tahu gimana caranya, setelah mendapat informasi ini dan itu lalu coba-coba mulai pacaran. Awalnya kagok, canggung, kikuk, bahkan takut. Namun, setan kian mendorong dengan dijadikannya keburukan tersebut sebagai sesuatu yang indah. Menceburlah. Ketika sudah hilang rasa malu, canggung, kikuk dan takut, maka akan terbiasa. Apalagi kemudian yang dirasakan adalah enak dan nyaman. Hawa nafsu memang demikian. Ketika tali kekangnya dilepas, maka dia akan terus bergerak liar. Akhirnya, pacaran dipandang sebagai sebuah kebiasaan. Menganggapnya solusi dalam pergaulan antar lawan jenis, dan bahkan ada yang kemudian memperjuangkannya agar banyak orang melakukan hal serupa. Ngeri!

Oke, jika menggunakan alur berpikir yang sama, coba kita terapkan dan contohkan pada sisi yang positif. Faktanya sama soal pacaran. Hanya saja informasi yang didapatkan dan lingkungan pergaulannya yang berbeda dengan kondisi pertama tadi. Kalo boleh saya cerita, saya termasuk orang yang ketika masa remaja belum pernah pacaran. Bahwa muncul rasa suka kepada lawan jenis, benar adanya. Jika di sekolah dasar sekadar suka, maka ketika di SMP saya merasa jatuh cinta. Namun, itu tak pernah diwujudkan dalam pacaran. Sebab, salah satunya adalah pesan ibu saya, yang melarang saya melakukan pacaran.

Awalnya memang berat menerima kenyataan itu. Sebab, banyak teman saya yang melakukan aktivitas baku syahwat itu, bahkan sejak mereka kelas 1 SMP. Namun, adanya disonansi kognitif itu tak membuat saya bingung. Alhamdulillah, penguatan kembali adalah kedekatan dan ketataan saya kepada ibu saya. Saya merasa tenteram dengan pilihan saya untuk tidak melakukan pacaran. Lama-lama ya terbiasa saja, dan bahkan bisa menilai bahwa pacaran itu membahayakan. Karakter saya kian terbangun ketika sudah ikut kajian keislaman ketika di SMK. Saya memilih tidak melakukan pacaran, bahkan berupaya memperjuangkan pendapat saya itu bersama-sama kawan di rohis, yakni menyelamatkan teman remaja lainnya agar nggak terjerumus dalam aktivitas maksiat bernama pacaran tersebut.

Bro en Sis, ini menunjukkan bahwa kebaikan dan keburukan itu ada awalnya, ada masa mau coba-coba, ada fase ketika mencari dan mendapatkan pengetahuan, kemudian pengaruh lingkungan, faktor pendorong untuk penguatan pemahaman, lalu menjadi pilihan, menumbuhkan karakter, bahkan berusaha memperjuangkannya. Nah, yang nggak boleh gagal dalam tahapan tersebut adalah menerima informasi. Wajib memilih dan memilah informasi yang benar dan baik. Gimana caranya bisa tahu informasi dan opini yang benar dan baik? Ada gurunya, ada komunitasnya. Nggak asal ambil guru, nggak asal gabung dengan komunitas.

Kita diberikan akal oleh Allah Ta’ala untuk berpikir. Bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Awalnya mungkin hanya menggunakan logika kita, tetapi kemudian bisa didukung dengan pengetahuan dari hasil kita belajar. Contohnya nih, sebelum bicara dalil yang didapat dari belajar ilmu pengetahuan agama. Menurutmu, ketika seorang anak kesal dan marah kepada orang tuanya atau orang yang lebih tua darinya, lalu mencaci maki orang tuanya sendiri atau orang yang lebih tua darinya pantas atau nggak pantas? Mereka yang waras cara berpikirnya pasti akan bilang, “nggak pantas, lah!”

Betul. Apalagi menurut pengetahuan agama. Namun, bagi yang akalnya dikerangkeng dan dikalahkan oleh hawa nafsu, maka tak lagi bisa berpikir benar. Mereka hanya mencari cara bagaimana bisa meluapkan kekesalan dan kemarahan tersebut. Nggak peduli dia berhadapan dengan siapa. Lidahnya tajam, tetapi tanpa bimbingan ilmu. Ditambah dorongan setan yang bertubi-tubi menggedor hawa nafsu. Berbahaya!

Mengapa ada orang memilih maksiat?

Sobat gaulislam, jawaban dari pertanyaan ini agak sulit. Sebab, bisa jadi setiap orang berbeda alasannya karena berbeda cara pandangnya. Hanya saja, jika dengan pendekatan awal seperti “pantas atau tidak pantas” akan membuka cakrawala berpikir kita. Ya, mungkin saja ilmu pengetahuan kita belum banyak. Ilmu agama masih sedikit. Namun, jika memandang pantas atau nggak pantas insya Allah bisa jawab. Sebab, secara naluri manusia pasti menyukai kebaikan.

Jika diajukan pertanyaan, “berzina itu pantas atau nggak pantas” pasti jawabannya nggak pantas. Mengapa? Karena berzina itu perbuatan yang secara norma masyarakat saja itu kategori buruk. Nggak pantas. Apalagi jika menggunakan kacamata aturan syariat Islam.

Jadi, mengapa ada orang kok malah memilih maksiat? Ini soal informasi yang salah dan hawa nafsunya sudah tak terkendali. Perpaduan maut. Gimana nggak, sudahlah informasinya salah, hawa nafsunya juga liar. Walhasil bablas sesukanya.

Lagi rame tuh seorang mahasiswi yang bunuh diri, dia bahkan melakukannya di atas pusara ayahnya. Dia kecewa karena polisi yang katanya sudah jadi pacarnya itu tak bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan terhadapnya. Dia hamil, dan dia diminta menggugurkan kehamilannya oleh lelaki yang menghamilinya. Selengkapnya bisa kamu baca berita deh. Banyak. Lengkap dengan pro kontra netizen menyikapinya karena ada yang berusaha mencari jejak digitalnya, yang ternyata si perempuan itu sudahlah berzina, menghina Islam dan ulama, bunuh diri pula. Ngeri bener!

Jika melihat kasus ini, pasti ada awalnya. Ya, awalnya adalah soal pacaran. Kalo namanya pacaran, berarti dilakukan atas dasar suka sama suka, dong. Betul, karena pelaku dan korban udah menceburkan diri memilih aktivitas pacaran dalam pergaulan di antara mereka. Bahkan sampai bablas. Buktinya, yang perempuan hamil. Hanya saja, ketika ada akibat dari perbuatan mereka, mereka nggak siap. Cowoknya nggak bertanggung jawab, padahal yang cewek udah digarap. Nah, itulah bahaya pacaran. Waspadalah!

Meski demikian, masih ada aja yang membela dan memperjuangkan pacaran. Aneh aja, sih. Maksiat kok dibela dan diperjuangkan?

Eh, kenapa bisa begitu? Nah, ini kita coba masuk ke pembahasan agak serius dikit. Orang yang memilih maksiat itu dikategorikan jahil alias bodoh, lho. Mengapa disebut jahil?

Mengutip laman rumaysho.com, dijelaskan alasan mengapa orang yang berbuat maksiat disebut bodoh. Ada dua penjelasan kenapa sampai yang bermaksiat disebut bodoh (jahil):

Pertama, siapa saja yang memahami kebesaran dan keagungan Allah, pasti punya rasa takut pada Allah. Kalau ia memahami seperti itu, tentu ia sulit untuk mendurhakai Allah Ta’ala.

Kedua, siapa saja yang mendahulukan maksiat dari ketaatan, maka ia menyangka bahwa akan ada manfaat yang segera dari maksiat tersebut. Jika ia memiliki iman, ia ingin nantinya lepas dari dosa di akhir umurnya. Itu cuma muncul dari kejahilan (kebodohan).

Ada enam sebab yang menyebabkan seseorang mudah bermaksiat: 1) lemahnya iman; 2) teman yang jelek; 3) pandangan yang tidak dijaga; 4) waktu luang yang tidak dimanfaatkan dalam kebaikan; 5) bermudah-mudahan dalam yang haram; 6) dekat-dekat dengan tempat yang membangkitkan syahwat.

Ada baiknya kita mendengarkan nasihat Imam Hasan al-Bashri rahimahullah, “Semoga Allah merahmati orang yang tidak tertipu oleh banyak manusia yang ia lihat. Hai manusia, engkau pasti mati seorang diri, masuk kubur seorang diri, dibangkitkan seorang diri, dihisab seorang diri dan engkaulah yang berkepentingan, engkaulah yang menjadi sasaran.” (dalam al-Hilyah, jilid 2, hlm. 155)

Memulai berbuat baik

Sobat gaulislam, memang tidak mudah memulai sesuatu, apalagi sesuatu itu adalah nggak pernah atau jarang kita lakukan. Berbuat baik juga perlu pembiasaan. Jujur aja sih, banyak juga di antara kita yang meskipun terlahir sebagai muslim, tetapi jarang mengerjakan amal shalih. Jangankan yang sunnah, yang wajib aja ditinggalkan. Sebabnya, bisa karena ketidaktahuan atau ketidakmauan. Kalo sebab ketidaktahuan ya harus mulai untuk belajar pengetahuan agama dan bergaul dengan orang-orang shalih. Kalo sebab ketidakmauan berarti harus menyingkirkan hawa nafsumu, egomu. Tidak mau itu bukan tidak tahu, tetapi lebih karena pengen bebas. Nggak mau terikat aturan syariat. Sadarlah. Usia ada batasnya, jangan telat untuk bertaubat dan beramal shalih.

Oya, berbuat baik atau beramal shalih bagi kita yang belum terbiasa, tetap harus memulainya. Sedikit asal konsisten. Misalnya, shalat dhuha dengan mengerjakan dua rakaat terlebih dahulu. Rutin saja dilakukan setiap hari. Meski hanya dua rakaat tetapi konsisten setiap hari, itu lebih baik ketimbang pengen langsung 8 rakaat tetapi dikerjakan hanya seminggu sekali.

Mengutip penjelasan di laman muslim.or.id, asy-Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan, sepanjang tahun dan jangan hanya beribadah pada bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Ramadhaniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajek, juga berkelanjutan) sepanjang tahun dan jangan hanya beribadah pada bulan Ramadhan saja. (Lihat Latha-if al-Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hlm. 396-400, Daar Ibnu Katsir, cetakan kelima, 1420 H, Tahqiq: Yasin Muhammad as-Sawaas)

Begitu pula amalan suri tauladan kita –Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam—adalah amalan yang rutin dan bukan musiman pada waktu atau bulan tertentu. Itulah yang beliau contohkan kepada kita.

‘al-Qamah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, “Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?”

’Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab, “Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (berkelanjutan).” (HR Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783)

Dari ’Aisyah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (berkelanjutan) walaupun sedikit.” (HR Muslim no. 782)

Imam al-Hasan al-Bashri  mengatakan, ”Wahai kaum muslimin, rutinlah dalam beramal, rutinlah dalam beramal. Ingatlah! Allah tidaklah menjadikan akhir dari seseorang beramal selain kematiannya.”

Beliau rahimahullah juga mengatakan, ”Jika syaithan melihatmu kontinu dalam melakukan amalan ketaatan, dia pun akan menjauhimu. Namun jika syaithan melihatmu beramal kemudian engkau meninggalkannya setelah itu, malah melakukannya sesekali saja, maka syaithan pun akan semakin tamak untuk menggodamu.” (al-Mahjah fii Sayrid Duljah, Ibnu Rajab, hlm. 71. Dinukil dari Tajriidul Ittiba’ fii Bayaani Asbaabi Tafadhulil A’mal, Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hlm. 86, Daar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1428 H)

So, siapkan diri untuk mulai berbuat baik. Rutin alias berkelanjutan. Sedikit nggak apa-apa. Kalo udah terbiasa akan ringan dan nyaman. Bukan tak mungkin kuantitasnya bisa ditingkatkan. Kontinu beramal shalih insya Allah akan menjaga kita dari melakuan perbuatan buruk. Allah Ta’ala akan memberikan perlindungan kepada kita.

Itu sebabnya kita harus sadar diri, berikutnya mau belajar agar jadi tahu, kemudian amalkan!Yuk, semangat dalam beribadah dan beramal shalih lainnya. [O. Solihin | IG @osolihin]