gaulislam edisi 249/tahun ke-5 (11 Ramadhan 1433 H/ 30 Juli 2012)
Rasa-rasanya kamu masih pada ingat pekan kemarin (23/7) Ariel, seleb yang divonis 3,5 tahun penjara gara-gara kasus pornografi (baca: video mesumnya dengan seleb lain) kembali bebas dari bui. Tak seperti pemberitaan seleb lain atau info lainnya, setidaknya ada dua media internet yang jor-joran memberitakan seputar kebebasan Ariel dari penjara, yakni detik.com dan kompas.com. Saya tidak mengetahui media lainnya, karena kebetulan yang saya baca waktu itu kedua media tersebut. Patut disayangkan, mengapa porsi pemberitaan tersebut sampai menyita begitu banyak lembaran halaman maya media tersebut. Puluhan artikel terkait di kedua media tersebut bisa dikatakan sangat banyak untuk ukuran sebuah topik berita. Saya sendiri mempertanyakan, apa motifnya? Bahkan ada seorang pengamat media di twitter yang mengecam tindakan media yang memberitakan kebebasan Ariel dari bui. Dia mengkritiknya pada kultwit (kuliah tweet) dengan hashtag #stupidmedia.
Bro en Sis rahimakumullah pembaca setia gaulislam, padahal hampir bersamaan, atau setidaknya beberapa hari kemudian media massa di negeri ini baru memberitakan kasus pembantaian Muslim Rohingya di Myanmar oleh etnis Budha. Ini terbilang telat karena kasusnya sudah lama terjadi. Bahkan ketika gaulislam menulis artikel edisi 243 (Euro 2012, Suriah, dan Rohingya), berarti 6 pekan yang lalu, kasus itu sudah terjadi. Malah mungkin jauh sebelumnya sudah terjadi karena informasinya seringkali tak diberitakan oleh media massa dunia. Tapi masih mending pada akhirnya diberitakan juga oleh media massa lokal di negeri kita, meski porsi pemberitaan tak sedahsyat saat Ariel bebas dari bui. Ah, ini pasti ada grand design untuk tujuan tertentu. Kita perlu ngeh juga lho soal beginian, Bro en Sis.
Benar banget lho. Sebab, media massa cukup efektif dan efisien dalam memberikan informasi untuk saat ini, apalagi jika media massa itu bernama televisi. Selama saya belajar ilmu komunikasi saat kuliah dan juga mempraktikkan saat bekerja di majalah beberapa tahun silam, teori agenda setting, framing, labeling, ingatan kolektif, spiral kebisuan, hingga teori kultivasi saya mengenalnya (BTW, untuk mengetahui teori-teori tadi, silakan googling aja atau dapetin di buku-buku komunikasi massa, ada kok. Kalo ditulis di sini jadi panjang banget dah isinya hehehe…). Ya, setidaknya saya sendiri jadi tahu bagaimana pengelola media itu bisa menjangkau audiensnya demi kepentingan tertentu di balik bisnis medianya.
Sekarang saya sendiri ingin ngajak kamu semua untuk berpikir lebih jernih, tidak terkontaminasi dengan informasi yang keliru, dan tentunya tetap menjadikan Islam sebagai ideologi, sebagai cara pandang kehidupan kita. Benar bahwa media massa bisa mempengaruhi khalayak, tetapi informasi yang disebarkan tidak berarti apa-apa jika banyak masyarakat pembaca yang bijak dan cerdas memilih dan memilah informasi. Berita tertentu yang digelontorkan jor-joran tidak akan pula bisa memberi pengaruh kepada pembaca yang sudah memiliki filter untuk menyaring (dan sekaligus membedakan) mana berita sampah dan mana berita yang bermutu. Itu sebabnya, target tulisan di buletin gaulislam edisi 249 ini adalah mengajak kamu semua agar melek media dan sekaligus paham ajaran Islam. Oke? Siap-siap ya!
Media massa dan pemiliknya
Ada banyak kepentingan di bisnis media massa. Selain tujuan utamanya mengeruk duit dari jualan informasi, juga sekaligus mencapai kepentingan menanamkan informasi (sekaligus opini) sesuai keinginan dan tujuan banyak pihak: pemilik media, produsen iklan, lembaga tertentu, hingga pejabat. Jadi memang media massa banyak dipengaruhi kepentingan-kepentingan tertentu. Percaya atau tidak, itu sudah berlangsung lama.
Saya menyadari betul, bahwa media massa tidak ada yang obyektif. Semuanya subyektif. Jadi memang ada keberpihakan. Apapun jenisnya. Meski dalam beberapa hal bisa obyektif, jika masalah itu tidak sensitif dan tidak ada kepentingan di dalamnya. Tapi bagi masalah yang sensitif dan jelas ada kepentingan-kepentingan tertentu di dalamnya, maka akan sulit untuk obyektif. Bahkan hal itu tidak mungkin dilakukan.
Mengandalkan media massa umum untuk obyektif memang sulit. Jadi nggak usah berharap banyak. Toh pengalaman saya di media massa yang mengusung Islam juga bersifat “subyektif”, yakni standarnya Islam. Jangan heran jika ada naskah yang menyerang Islam, pastinya tak bakalan dimuat. Bahkan sudah disediakan keranjang sampah. Walaupun sebenarnya kita, sebagai muslim, harus obyektif sekaligus subyektif. Maksudnya, obyektif terhadap fakta yang didapat dan subyektif saat menilai fakta. Artinya, kita nggak boleh memelintir fakta demi tujuan opini kita. Sebab, kita dilarang berbohong. Tetapi yang dibenarkan adalah menyebarkan opini Islam.
Oya, jangan salah, urusan subyektivitas juga berlaku bagi media massa umum (bedanya mereka seringkali mengaburkan fakta). Kalo ada pengirim naskah yang isinya bertentangan dan bahkan menentang ideologi pemilik dan pengelola media tersebut, tak segan mereka juga akan mencampakkan begitu saja naskah tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah memilih dan memilah berita dan opini yang akan dilepas ke publik. Tentu saja berita dan opini tersebut sesuai kepentingan pemilik media dengan beragam kepentingan. Itu sebabnya, kita perlu bertanya mengapa media massa mainstream (arus utama) gencar memberitakan pesta Olimpiade 2012 di London, juga gencar seputar pemberitaan bebasnya Ariel dari bui, tetapi melempem saat memberitakan kekejaman rezim Bashar Assad di Suriah terhadap rakyatnya sendiri yang muslim dan media juga gagal bersemangat memberitakan kekejaman etnis Budha (dan juga pemerintahnya) yang membantai Muslim di wilayah Rohingya, Myanmar (Burma). Kalo pun ada yang memberitakan, isinya patut disaring lagi karena seringkali bermuatan informasi yang keliru.
Dalam teori komunikasi massa, media memang mutlak adanya seperti yang dikemukakan oleh Harold D. Laswell, yang disebut Channel atau saluran komunikasi. Saluran inilah yang akan menyalurkan massage atau pesan antar komunikan dan efek yang akan timbul dari komunikasi tersebut. Dari teori itu dapat diketahui adanya kemungkinan manipulasi dalam penyampaian pesan pada saat melewati saluran tersebut sangatlah besar. Sehingga Marshall Mc Luhan menyatakan bahwa “The Medium is the Massage” yang berarti suatu medium (media) yang dipakai untuk menyampaikan suatu pesan merupakan pesan itu sendiri. (Burhan Bunging, Imaji Media Massa, Kontruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalitik. Hlm. 65)
Paul Watson, salah seorang pendiri Green Peace yang menyoroti prilaku media massa, menurutnya konsep kebenaran yang dianut oleh media massa bukanlah suatu kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggap benar oleh masyarakat sebagai kebenaran atau dengan kata lain kebenaran tersebut dapat ditentukan oleh media massa. (Alex Sobur dalam Analisis Teks Media, hlm 87)
Bro en Sis rahimakumullah, kalo kita lihat kenyataannya sekarang, media massa memang udah nggak bisa diharapkan lagi sebagai pembawa pesan kebenaran yang keberpihakannya kepada pembaca, tapi sudah berpihak pada kepentingan pemilik modal atau pihak tertentu dengan kepentingan tertentu yang bekerjasama dengan pemilik media. Para jurnalis juga kayaknya udah lupa dengan elemen-elemen jurnalisme yang mungkin saja dulu pernah dipelajarinya.
Ada buku yang menurut saya cukup bagus sebagai pengangan dalam konsep jurnalisme, buku karya Bill Kovach & Tom Rosenstiel, yakni Elements of Journalism. Meskipun pada praktiknya sulit diterapkan jika berbenturan dengan kepentingan pemilik media. Salah satu yang menarik saya dalam buku tersebut adalah metode verifikasi. Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi: 1) Jangan menambah atau mengarang apa pun; 2) Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar; 3) Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase; 4) Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri; 5) Bersikaplah rendah hati. Selebihnya, silakan baca bukunya, udah ada terjemahannya kok. Hehehe.. bukan promosi, tapi menyarankan. Gusrak!
Nasib kaum muslimin
Memang, saat ini yang bisa kita lakukan baru sebatas peduli dan mengirimkan doa buat mereka di Rohingya, di Suriah, dan di belahan bumi lainnya. Tapi, itu sudah merupakan bentuk perhatian. Kemungkinan lain yang bisa kita lakukan adalah menyeru kaum muslimin yang lain untuk sama-sama peduli dengan urusan saudara yang lainnya. Jangan cuek bebek aja. Sekaligus tentunya kita menyeru kepada para pemimpin kaum muslimin supaya ikut ambil bagian dalam menyelesaikan konflik di seluruh negeri muslim.
Khusus buat kita, masalah kaum muslimin di Rohingya, Suriah, Palestina dan di belahan bumi lainnya (termasuk tentunya di Indonesia), adalah masalah kita juga, penderitaan rakyat Palestina dan Suriah, adalah penderitaan kita juga, kesedihan Muslim Rohingya, adalah kepedihan kita juga. Karena kita memang bersaudara. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (QS al-Hujurât [49]: 10)
Rasulullah saw. juga memberikan perumpamaan yang bagus tentang hubungan sesama kaum muslimin. Beliau saw. bersabda: “Perumpamaan kaum mukmin dalam hal kasih sayang, cinta kasih dan pembelaannya bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuhnya merasa sakit (menderita), maka (hal itu) akan menjalar ke anggota-anggota tubuh lainnya dengan rasa demam dan panas.” (HR Bukhari dan Muslim)
Jadi, nggak ada alasan kan bagi kita untuk nggak peduli dengan nasib saudara seakidah di belahan dunia lain? Kita disatukan dalam ikatan akidah Islam yang agung. Nggak mungkin bisa diputuskan begitu saja. Sungguh aneh kalo di antara kita masih ada yang napsi-napsi, alias egois bin individualis. Bahaya!
Oke deh, mulai sekarang, rapatkan barisan dan satukan langkah. Karena sesama kaum muslimin kita memang bersaudara. Jangan biarkan Muslim Rohingya dan Suriah serta di belahan bumi lainnya terkoyak-tercabik-dibantai oleh musuh-musuhnya tanpa ada kepedulian dan bantuan dari kita saudaranya. Ayo bangkit!
Berpihak kepada kebenaran Islam
Ngomongin soal media massa dan Islam, saya jadi ingat masa lalu saat bekerja di majalah mimbar di Jakarta. Saat itu, saya terkesan dengan pernyataan yang ditulis sang redaktur pelaksana. Beliau menyampaikan dalam edisi perdana majalah tersebut: “mimbar berupaya melihat suatu fakta, mengupas, menilai, dan memberi opini. Orang mungkin menilai, mimbar berpihak, suatu hal yang dalam adagium etika jurnalistik sangat ditabukan. Tapi itulah mimbar. Lagipula, apa salahnya berpihak pada sesuatu yang layak dipihaki? Firman Allah Swt.: “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati,” (QS al-Baqarah [2]: 159)”
Oya, ayat ini turun berkenaan dengan rahib-rahib Yahudi yang menyembunyikan kebenaran dari Allah yang tertera dalam Taurat, salah satunya tentang akan ada nabi baru, yakni Nabi Muhammad saw. Dalam Tafsir Jalalain yang ditulis Imam Jalaluddin asy-Syuyuthi dan Imam Jalaluddin Muhammad Ibn Ahmad al-Mahalliy, disebutkan bahwa: “Ayat berikut ini turun tentang orang-orang Yahudi, (Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan) kepada manusia (apa-apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan dan petunjuk) seperti ayat rajam dan tentang ciri-ciri Nabi Muhammad saw. (setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Alkitab) yakni Taurat (mereka itu dikutuk oleh Allah) maksudnya disingkirkan-Nya dari rahmat-Nya (dan dikutuk pula oleh makhluk-makhluk lainnya dengan mendoakannya agar mendapat kutukan.
Masih dalam keterangan di Tafsir Jalalain, ayat 159 ini ada hubungannya dengan ayat 146, yang dijelaskan dalam tafsir tersebut sbb.: “(Orang-orang yang Kami beri Alkitab mengenalnya) Muhammad (sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri) karena disebutkan ciri-cirinya dalam kitab-kitab suci mereka. Kata Ibnu Salam, “Sesungguhnya ketika aku melihatnya, maka aku pun segera mengenalnya, sebagaimana aku mengenal putraku sendiri, bahkan lebih kuat lagi mengenal Muhammad.” (Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran) maksudnya ciri-cirinya itu (padahal mereka mengetahui) keadaanmu dan siapa kamu yang sebenarnya.”
Itu sebabnya, yang paling mungkin kita lakukan adalah getol untuk memberi opini tandingan. Itu akan lebih efektif jika kita, kaum muslimin, punya media cetak dan elektronik yang memadai, insya Allah kita bisa mengimbangi opini yang menyudutkan Islam yang kini sedang panas-panasnya. Sementara ini, barangkali yang bisa dilakukan adalah rajin-rajinlah menyuarakan ide-ide ini di tengah-tengah masyarakat; baik lewat lisan maupun tulisan. Bagi teman-teman yang rajin nulis, silakan manfaatkan media massa Islam yang ada. Internet juga bisa jadi alternatif, sarana chatting juga bisa dicoba, situs jejaring sosial macam facebook dan twitter bisa jadi solusi penyampai pesan kita, blog gratisan macam wordpress dan blogspot bisa kita jadikan media penyampai pesan di internet, manfaatkan juga radio, syukur-syukur ada kesempatan menyampaikan opini via televisi. Pokoknya semua fasilitas media komunikasi bisa dicoba untuk mengembangkan opini kita. Kini saatnya ‘perang opini’. Bersiaplah kawan! Allahu Akbar! Salam perjuangan dan kemenangan ideologi Islam! [solihin | Twitter: @osolihin | Blog: www.osolihin.net]