Saturday, 23 November 2024, 19:19
statusanak

gaulislam edisi 762/tahun ke-15 (29 Syawal 1443 H/ 30 Mei 2022)

Ini judulnya emang gini. Sengaja. Maklum, katanya sih lagi sering dibahas di media sosial. Ribut-ribut soal “hubungan sebelum pernikahan” lalu menghasilkan anak. Nah, status anaknya gimana? Kamu, perlu tahu juga lho bahasan soal ini. Lanjut!

Sobat gaulislam, kejelasan keturunan ini menjadi perhatian Islam. Karena, selain berhubungan dengan nasab, kejelasan keturunan juga akan menjadi patokan dalam pembagian warisan. Jadi, nggak disepelekan, lho. 

Sedih nggak sih kalo tiba-tiba kamu ditanya: “Anak siapa?” Kalo nggak jelas asal-usulnya kan bikin malu en minder. Mungkin ada yang bilang “anak haram”. Idih, sebenarnya tega juga ya kalo sampe dibilang anak haram. Karena anak mah nggak tahu apa-apa. Bapak-ibunya aja yang nggak tahu diri. Biasanya di masyarakat yang disebut dengan anak haram adalah anak hasil perzinaan.

Tapi bila jelas dan kita tahu, bisa dengan pede dan bangga menjawab pertanyaan tersebut, “Saya anak fulan bin fulan”. Jadi, emang penting baget kejelasan nasab alias keturunan. Itu sebabnya, sebagai agama sekaligus ideologi, Islam memperhatikan juga masalah keturunan ini.

Diikat dengan pernikahan yang sah

Islam sangat memelihara keturunan. Itu sebabnya, ada aturan yang menjelaskan tentang nasab, pentingnya nasab. Manusia sampe sekarang berkembang biak melalui proses generatif, diturunkan. Bukan dengan proses membelah diri atau bertunas. Nah, karena proses generatif, maka harus jelas hubungan antara induk yang menurunkan dengan anaknya. Itu sebabnya, dalam Islam disyariatkan pernikahan.

Kenapa harus jelas ikatannya? Karena Islam memang menghargai keturunan. Bayangin deh kalo manusia bebas berzina. Ganti-ganti pasangan. Gimana kalo kemudian yang perempuan hamil. Pasti bingung nentuin anaknya: anak siapa? Karena begitu banyak lelaki yang telah berhubungan dengan wanita secara bebas. Tapi jika terikat dengan pernikahan, maka sudah jelas pasangannya. Anak jelas ibunya dan bapaknya. Di sinilah Islam benar-benar menghargai manusia dengan syariatnya yang mengatur tentang keturunan yang jelas melalui ikatan pernikahan.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS ar-Ruum [30]: 21)

Jadi nih, jika sudah ada seseorang yang menarik hatimu; yang menghancurkan gunung es yang membeku di hatimu; yang membuatmu gelisah saat berada jauh darinya; yang membuatmu salah tingkah saat bertemu dengannya, bisa dipastikan, kamu sedang jatuh cinta. Jatuh cinta kepada seseorang yang telah membuatkan jalan untuk muara emosimu. Dialah kekasih hatimu.

Sejak hati tertambat di kerling matanya. Sejak mata tertahan pandangannya karena rupanya yang menawan. Dadamu terus bergejolak dengan rasa-rasa yang sebelumnya belum pernah menyapamu. Setelah kamu tahu keramahannya, dan juga begitu sholehahnya dia, rasa suka itu memenuhi ruang hatimu. Malam-malam yang dilalui terasa begitu berat. Siang-siang yang dilalui rasanya gersang. Tentu, jika tanpa menyebut namanya, atau tak bertemu dengannya. Duile.. sampe sebegitunya.

Jika rasa itu begitu kuat mendesak, menekan, dan bahkan nyaris mengendalikanmu, hanya ada dua cara yang bisa dilakukan. Pertama, kuatkan tekad untuk meyakinkan diri agar lebih mantap menatap masa depan bersamanya. Menjalin cinta dan kasih sayang. Merenda bahagia dalam pernikahan yang suci. Itu sebabnya, sudah saatnya mulai menyusun rencana untuk mendekatinya. Untuk mengetahui sisi kehidupannya. Untuk menjelajahi identitas dirinya. Siapa tahu memang itu jodohmu.

Kedua, jika pernikahan terlalu berat untukmu saat ini. Merasa diri belum mapan, merasa mental masih belum kuat, tak ada salahnya untuk mengubur dulu keinginan menikah. Tak usah kamu paksakan. Karena segala sesuatu yang dipaksakan tanpa didukung kemampuan diri dan niat yang kuat, biasanya tak akan berjalan dengan baik. Jadi, sementara hindari dulu dengan banyak mengukur diri. Menyingkir dari obrolan-obrolan temanmu tentang pernikahan, dan lebih banyak menahan hawa nafsu dan menjauhi segala hal yang menjadi pembangkit gharizah an’nau dalam dirimu. Bukan mustahil jika itu akan membuatmu lebih tenang dalam menikmati hidupmu. Sambil terus berbenah untuk masa depan yang insya Allah akan kamu jalani terus selama hayat masih dikandung badan.

Ya, hanya dua jalan itu yang tersedia. Tak ada jalan lain. Itu sebabnya, merayakan naluri mencintai dengan jalan selain itu hanya mengundang bahaya. Ketika kamu merayakan ‘rasa cintamu’ dengan cara yang hewani, maka itu sama artinya telah merelakan bahaya mengancam dirimu, mengancam sang pujaan hatimu, dan juga mengancam orang-orang yang ada di sekitarmu yang telah menaburkan benih-benih cintanya kepadamu.

Cinta yang suci ini tak pantas dan tak layak untuk diekspresikan dengan cara-cara yang merujuk kepada hawa nafsu semata. Tak pantas pula dilakukan oleh seorang mukmin yang telah menjadikan hidupnya rela diatur syariat Allah. Seorang muslim sejati tak akan pernah ridha untuk menodai cintanya dengan perbuatan yang dilarang ajaran agamanya.

Sobat gaulislam (khususnya yang udah siap nikah), jika segalanya telah mungkin, jika segalanya telah siap kamu lakukan, tak perlu ragu dan tak perlu was-was. Tatap masa depan dengan mata penuh harapan. Kuatkan tekad dalam hatimu untuk menempuh jalan pernikahan yang sah. Tanamkan kesabaran dan ketakwaan dalam hatimu. Insya Allah Dia akan menjadikan dirimu dan dirinya selamat di dunia dan akhirat. Menentramkan hati kalian berdua dengan kebaikan-Nya. Dijadikan-Nya kasih-sayang dan cinta di antara kalian. Cintamu pasti akan disambut cintanya. Kalian akan saling menjaga kehormatan masing-masing, akan saling percaya, saling memahami, saling peduli, dan tumbuh rasa khawatir satu sama lain.

Hubungannya dengan warisan

Jelasnya nasab, yakni karena diikat dengan pernikahan yang sah, akan memberikan kemudahan dalam mewariskan harta. Syariat tentang warisan adalah salah satu bentuk kepedulian Islam dalam pendistribusian harta. Bayangkan kalo keturunannya nggak jelas, atau karena nggak terikat pernikahan, maka keturunan yang seperti itu terancam nggak bisa dapet warisan. Wah, kasihan juga kan?

Dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya.” (HR Ahmad 7042, Abu Daud 2267, dihasankan Syuaib al-Arnauth)

Oya, kayaknya kita perlu sedikit tahu tentang definisi waris. Muhammad Ali ash-Shabuni (dalam buku Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, hlm. 33), menjelaskan bahwa al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa – yaritsu – irtsan – miiraatsan. Maknanya, menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.

Nah, pengertian menurut bahasa ini nggak terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetap mencakup harta benda dan nonharta benda. Ayat-ayat al-Quran banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya Allah berfirman (yang artinya): “Dan Sulaiman telah mewarisi Daud…” (QS an-Naml [27]: 16)

Kalo hadis ada nih, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Al-‘Ulamaa’u warotsatul an-biyaa’i–Ulama adalah pewaris nabi.”

Itu menurut bahasa ya. Nah, sedangkan makna al-miirats menurut istilah (makna hukum) yang dikenal para ulama adalah bepindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.

Sekarang, apa aja sih sebab-sebab yang bisa menjadikan seseorang dapetin harta warisan? Islam memberikan batasan bahwa sebab-sebab waris-mewarisi ada empat: Pertama, kekeluargaan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS an-Nisaa’ [4]: 7)  

Sebab kedua seseorang boleh mendapatkan warisan atau mewarisi adalah karena perkawinan alias pernikahan. Ketiga, dengan jalan memerdekakan dari perbudakan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (yang artinya): “Hubungan orang yang memerdekakan hamba dengan hamba itu seperti hubungan keturunan, tidak dijual, dan tidak dihibahkan (diberikan).” (HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Hakim)

Sebab keempat dalam waris-mewarisi adalah karena hubungan Islam. Orang yang meninggal dunia apabila tidak ada ahli warisnya yang tertentu, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitul maal untuk umat Islam dengan jalan pusaka alias warisan. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Aku menjadi waris orang yang tidak mempunyai ahli waris.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)

Oya, maksud hadis ini, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam nggak menerima warisan untuk diri beliau sendiri, tetapi beliau menerima warisan seperti itu untuk dipergunakan bagi kemaslahatan umat Islam. Sebabnya, selain sebagai Nabi dan Rasul, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam juga adalah sebagai kepala negara. Jadi tuh harta dari orang yang tidak memiliki ahli waris bakalan diserahkan ke negara. Tepatnya ke baitul maal untuk kemaslahatan kaum muslimin.

Sobat gaulislam, dari paparan tentang nikah dan waris ini semakin membuktikan bahwa Islam sangat memperhatikan keturunan. Menjaga dan memeliharanya. Dirunut dengan jelas. Bayangin deh kalo semua orang berprinsip “Semau Gue” dalam pergaulan cowok-cewek tanpa ikatan pernikahan yang sah, maka udah nggak jelas tuh anak siapa karena pasangannya sering gonta-ganti. Ancur deh kehidupan umat manusia ini, karena udah nggak jelas asal-usul keturunannya karena nggak diikat dengan pernikahan yang sah.

Oya, biar lebih jelas dalam urusan keturunan dan waris, ada beberapa sebab seseorang nggak dapetin warisan dari keluarga mereka yang meninggal: Pertama, hamba sahaya. Seorang hamba sahaya nggak mendapat warisan dari semua keluarganya yang meninggal dunia selama ia masih berstatus hamba.

Kedua, pembunuh. Orang yang membunuh keluarganya tidak mendapat warisan dari keluarga yang dibunuhnya itu. Sabda Rasulullah saw. (yang artinya): “Yang membunuh tidak mewarisi sesuatu pun dari yang dibunuhnya.” (HR Nasa’i)

Ketiga, murtad. Orang yang keluar dari agama Islam nggak dapetin warisan dari keluarganya yang masih tetap memeluk agama Islam, dan sebaliknya ia pun nggak mewariskan mereka yang masih beragama Islam. Duh, rugi banget kan? Dari Abu Bardah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku untuk menemui seorang laki-laki yang kawin dengan istri bapaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh supaya aku membunuh laki-laki tersebut dan membagi hartanya sebagai harta rampasan, sedangkan laki-laki tersebut murtad.”

Terus yang keempat yang menjadi sebab nggak bisa menjadi ahli waris dan mewarisi adalah orang yang nggak memeluk agama Islam (kafir). Dia nggak berhak menerima warisan dari keluarganya yang memeluk agama Islam. Begitu juga sebaliknya, orang Islam nggak berhak pula menerima warisan dari keluarganya yang kafir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Orang Islam tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak pula mewarisi orang Islam.” (HR Jamaah)

Itu sebabnya nih, untuk menjaga kejelasan nasab (keturunan) dan juga memelihara mereka untuk tetap mendapatkan warisan, Islam melarang pernikahan beda agama. Anaknya yang muslim, tapi salah satu ortunya masih nonmuslim ketika meninggal, maka tuh anak nggak dapetin harta warisan dari ortunya yang meninggal karena masih berstatus nonmuslim. Kasihan banget kan?

Sobat, semoga kita tetap disatukan dalam ikatan keluarga yang utuh, harmonis, dan tentunya islami. Oya, pembahasan tetang nasab (keturunan) yang jelas melalui ikatan pernikahan yang sah, juga tentang waris-mewarisi, dan tentang keluarga ini kian mengukuhkan bahwa Islam memang sempurna. [O. Solihin | IG @osolihin]