Sunday, 24 November 2024, 05:36
hamhakasaimanusia

gaulislam edisi 788/tahun ke-16 (4 Jumadil Awal 1444 H/ 28 November 2022)

Kalo kamu bingung dengan judul ini, saya jelaskan pelan-pelan. Tahu akronim HAM? Ya, yang dimaksud adalah Hak Asasi Manusia. Sudah ada lembaganya tersendiri yang mengurusi hak asasi manusia ini. Levelnya ada yang sudah dunia, yakni Dewan HAM PBB. Setiap negara juga punya lembaga HAM tersendiri. Tugas dan wewenangnya tentu aja ada.

Cita-citanya bagus untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, tetapi dalam praktiknya sering anomali alias aneh, khususnya kalo melibatkan kaum muslimin. Anehnya adalah, kalo korbannya kaum muslimin, dunia bungkam. Misalnya kasus yang udah terang benderang di siang hari pas matahari bersinar terik, Israel yang menjajah Palestina. Dunia diam, Dewan HAM PBB cuma obral ultimatum, dan tetap mendiamkan kejahatan Israel tersebut. Begitu pun soal Muslim Uighur yang ditindas pemerintah China, Muslim India yang dipersekusi pemimpin negaranya, dan juga Muslim Rohingya yang dibantai dan yang diusir dari negerinya sendiri. Itu gimana urusannya? Mungkin ada lembaga yang memperjuangkan, tetapi lembaga level tertingginya mendiamkan. Jadi, HAM yang melanggar HAM jika begitu, kan?

Sekadar contoh aja, dikutip dari laman okezone.com, bulan Oktober kemarin, Dewan HAM PBB memilih tidak membahas persoalan Uighur. Awalnya, kelompok-kelompok yang memperjuangkan atau minimal empati terhadap Muslim Uighur mendesak Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk membentuk komisi penyelidikan dengan tujuan memeriksa secara independen perlakuan terhadap warga Uighur. Minoritas lainnya di China meminta Kantor PBB untuk segera melakukan penilaian terhadap risiko kekejaman, termasuk genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang.

Namun, Dewan Hak Asasi Manusia PBB telah memilih untuk tidak memperdebatkan perlakuan terhadap Uighur dan sebagian besar minoritas Muslim lainnya di wilayah barat laut China Xinjiang. Bahkan setelah kantor hak asasi manusia PBB menyimpulkan bahwa pelanggaran di sana mungkin sama dengan kejahatan terhadap kemanusiaan dan China menutup rapat untuk mencegah penyelidikan lebih lanjut ke dalam situasi di Xinjiang.

Banyak Negara yang mengatakan “tidak” atau menolak debat soal muslim Uighur di Xinjiang, China oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Markas PBB, Jenewa, Swiss. Bahkan negara-negara mayoritas Muslim seperti Indonesia sekalipun.

Maka, rasanya pantas juga komentar Agnes Callamard, aktivis HAM dan Sekjen Amnesty International ketika menyikapi kejadian tersebut, Ia mengatakan bahwa pemungutan suara tersebut berupaya melindungi para pelaku pelanggaran hak asasi manusia daripada para korban.

“Hasil yang mengecewakan, yang menempatkan badan hak asasi manusia utama PBB dalam posisi konyol, mengabaikan temuan kantor hak asasi manusia PBB sendiri,” ujar dia dikutip di Insia Today, Jumat (7/10/2022).

Jadi, HAM yang melanggar HAM jika begitu, kan? Belum lagi kasus lainnya. Termasuk yang terkait LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Nah ini juga runyam, deh. Masih ada aja yang pro ama para pelaku maksiat yang melanggengkan kemaksiatan yang pernah ada di masa lalu itu, dari zaman kaum Nabi Luth ‘alaihi sallam. Ngeri. Alasannya, HAM. Aneh, kan?

Coba itu, yang di Piala Dunia 2022 di Qatar sekarang nih, banyak negara Eropa yang protes tentang larangan kampanye LGBT di Piala Dunia. Mestinya kan bagus (kalo menurut sudut pandang orang waras). Sebab, pelaku LGBT itu memang nggak waras. Harus disadarkan. Maka, dilarang supaya nggak menyebar. Kalo dikasih tempat, bahaya. Bisa jadi pebenaran terhadap perilaku tersebut. Ini juga sebenarnya perlindungan terhadap yang normal. Mereka bilang “love is love”, cinta adalah cinta. Jadi nggak perlu ada orang melarang perilaku mereka. Tapi perlu dicatat, meski cinta adalah cinta, kalo kemudian jadi bablas tanpa aturan, terutama bagi kaum muslimin, aturan syariat Islam, jelas akan membahayakan. Jadi, jangan sampe bilang cinta adalah cinta, tapi kalo mencintai istri orang, kan itu dosa dan bahaya. Bisa ada pertumpahan darah. Jadi nggak akan dibiarkan.

Itu sama aja kayak bilang “water is water”, iya air adalah air, tetapi apa iya ada orang yang mau minum air toilet atau air comberan? Kampanye LGBT itu nggak bener. Udah nggak normal. Mengkampanyekan perilaku kuno bin jahiliyah yang di zaman Nabi Luth saja kaumnya yang berperliku demikian diazab langsung oleh Allah Ta’ala.

But, dalam kondisi kayak gini, HAM jadi nggak berlaku. Mereka yang pro LGBT juga beralasan HAM. Jadi HAM khusus untuk untuk melindungi yang nggak bener perilakunya dan yang bejat akhlaknya? Mereka yang normal dan baik-baik malah dilanggar hak asasinya? Ini gara-gara cara berpikir yang nggak benar. Bukan pada syariat. Jadinya rusak.

HAM, senjata untuk maksiat?

Sobat gaulislam, ngomong-ngomong soal HAM, kita perlu membongkar apa sih yang diinginkan dari pembuatnya? Kamu wajib tahu juga, dong. Dalam pandangan sistem Kapitalisme, yakni sistem yang berlandaskan pemisahan antara agama dengan politik (kehidupan), hak individu sangat dijunjung tinggi, bahkan oleh negara sekali pun. Seseorang dibiarkan untuk melakukan apa saja. Permisif alias serba boleh banget. Pokoknya terserah berbuat apa pun sesuka hatinya. Dan itu nggak ada sanksinya, kecuali bila tindakannya merugikan orang lain.

Kok bisa begitu ya? Kamu jangan heran bin aneh, sebab sistem ini—yang sekarang mengatur kehidupan kita—memang buatan manusia. Bayangin aja, aturan agama aja dipisahkan dari politik (kehidupan). Ini jelas nggak benar menurut Islam. Itu artinya, agama nggak boleh mengurusi problem kehidupan manusia. Dengan kata lain agama nggak boleh ikut campur dalam menata kehidupan. Itu sebabnya, agama cukup diterapkan oleh individu sebatas urusan ibadah ritual. Untuk masalah sosial, ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, peradilan, dan hukum diserahkan kepada penguasa dengan aturan buatan manusia. Inilah jalan kompromi yang kemudian melahirkan sistem rusak ini.

Kalo dilihat dari sejarahnya, sekularisme itu memang bukan dari Islam, tapi produk kapitalisme. Sekular sendiri sejarahnya cukup panjang. Sejarah awal pemisahan agama dari pemerintahan (sekularisme) dimulai ketika Kaisar Romawi, Constantine I (288-337M) memeluk agama Kristen. Sebelum pemelukan agama oleh Constantine, kalangan Kristen berhukum dengan agama mereka dalam semua perkara. Namun setelah Constantine memeluk agama Kristen, berkembang pemikiran untuk menyebarluaskan agama tersebut sekaligus sebagai upaya merebut hati Constantine. Itu sebabnya, para rahib Nasrani membuat semacam fatwa yang bertujuan memisahkan agama dari pemerintahan dengan berdalilkan kata-kata Yesus: Pertama, serahkan hak Kaisar kepada Kaisar dan hak Allah kepada Allah. Kedua, kerajaan aku bukanlah di alam ini.

Pada tahun 325 M, Constantine menyatakan bahwa agama Kristen sebagai agama resmi kekaisaran Roma. Dengan demikian, kehidupan manusia terbagi menjadi dua: Pertama, keagamaan, ibadah; yakni hak Tuhan. Kedua, ‘keduniaan’ dan undang-undang yang merupakan hak Kaisar (pemerintah).

Beberapa kalangan dari politisi, sejarawan, dan budayawan Inggris menyebutkan bahwa sekularisme adalah produk dari masyarakat Kristen yang didefinisikan sebagai reaksi atau gerakan penentangan (dalam Encyclopedia of Religion and Ethnics, James Hasting and T Clarks 1971)

Sufur bin Abdul Rahman al-Hawali menyatakan bahwa sekularisme adalah: “Membangun kehidupan bukan berdasarkan agama, baik dalam sebuah negara ataupun bagi seorang individu” (dalam al-‘Ilmaniyah Nasyatuha Ma Tatawwaruha Wa Atharuha Fi al-Hayah al-Islamiyah al-Mu’asharah–Sekularisme, kemunculan, perkembangan dan pengaruhnya terhadap kehidupan Islam modern)

Dalam bahasa Perancis, sekular juga dikenal sebagai laicisme. Yakni satu doktrin yang benar-benar bebas dan tidak bercampur dengan agama. Ia melibatkan kepercayaan bahwa peranan atau fungsi yang biasa dilaksanakan oleh kaum rohaniwan, seharusnya dipindah-alihkan kepada negara, terutama di dalam bidang perundangan dan pendidikan.

Bro en Sis rahimakumullah, dari ide sekularisme-kapitalisme inilah kemudian lahir banyak aturan, salah satunya adalah rumusan tentang HAM. Karena sekularisme sendiri menentang campur tangan agama dalam mengelola aturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka aturan yang lahir dari sana juga pasti membela manusia (baca: hawa nafsu) dan mengesampingkan ajaran agama.

Nah, sekadar tahu aja ya, ternyata ada empat ide pokok dalam HAM, lho. Semuanya bicara tentang kebebasan. Pertama, kebebasan berakidah (beragama). Nah, ide ini menurut pembuatnya, menyatakan bahwa setiap orang boleh memilih untuk beragama atau tidak. Kemudian, boleh juga berpindah-pindah agama sesuka hatinya. Kacaunya lagi mereka menggunakan ayat al-Quran seperti, firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” (QS al-Baqarah [2]: 256)

Dalam pandangan Islam, seseorang tidak dibenarkan berbuat demikian. Dan sebenarnya ayat tersebut tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk beragama atau tidak. Karena ayat itu ditujukan kepada orang-orang kafir. Mereka tidak dipaksa untuk masuk Islam. Tapi bila seseorang sudah masuk Islam, maka ia harus tunduk dan patuh pada aturan Islam, termasuk tidak dibenarkan keluar dari Islam. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya): “Siapa saja yang mengganti agama (Islam)-nya, maka bunuhlah dia.” (HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Asshhabus Sunnan)

Nah, kalo sekarang? Pindah agama aja nggak dipersoalkan. Nikah beda agama (muslimah dengan lelaki kafir) malah difasilitasi. Ngeri. Seorang muslim pun gaya hidupnya sudah tidak mencirikan identitas Islam lagi. Kacau kan? Inilah rusaknya HAM. Mentang-mentang atas nama HAM, akhirnya boleh berbuat sesukanya. Nggak peduli kalo itu bertentangan dengan Islam.

Aturan kedua tentang kebebasan dalam HAM adalah ide kebebasan berpendapat. Dalam pandangan sistem kapitalisme, itu berarti setiap orang boleh ngomong apa saja dan dari sudut pandang apa saja. Bebas merdeka untuk ngomong atau ngelakuin banyak hal sesuka hatinya, nggak boleh ada yang ngerecokin. Nafsi-nafsi alias individualis, deh. Dalam aturan kapitalisme, kalo ente mau berpendapat sampe berbusa-busa untuk mengajak orang berbuat maksiat silakan saja. Nggak ada yang melarang dan nggak boleh ada pihak yang ngelarang.

Itu sebabnya, jangan kaget kalo ada yang berpendapat tentang perlunya menghargai hak-hak pelaku LGBT, pendapatnya nggak boleh disensor. Media massa harus menyebar-luaskannya dengan adil. Kebebasan berpendapat ini dijamin oleh negara, lho. Tapi anehnya, kalo ada pendapat lain yang mengimbangi pendapatnya seringkali kena sensor atau malah dinyinyirin. Lihat aja fakta terbaru di gelaran Piala Dunia 2022 ini. Qatar, sebagai tuan rumah memiliki kewajiban sekaligus hak sesuai ketentuan syariat Islam untuk melarang kampanye LGBT bagi siapa saja yang datang ke sana. Wajar, dong. Tetapi pelaku LGBT merasa itu menindas HAM mereka. Aneh, kan? Begitulah.

Wah, jadi arti kebebasan yang digembar-gemborkan dalam HAM itu adalah kebebasan berbuat sesuai hawa nafsu dong, ya? Norma apa pun yang sifatnya baik-baik nggak boleh melarang kebebasan hawa nafsu. Begitu? Ciloko!

Oya, kebebasan yang ketiga yang diajarkan HAM adalah, kebebasan bertingkah laku. Nah, ini dia. Kebebasan bertingkah laku ini udah amat tertanam dalam perilaku kaum Muslim, termasuk di kalangan remaja. Buktinya, kita sering menyaksikan teman-temen remaja yang udah nggak peduli lagi dengan aturan agama. Contohnya, dalam urusan makanan aja teman remaja kadang ada yang nggak peduli dengan halal dan haramnya. Main gares aja. Begitu pun dengan dandanan, sebagian besar remaja memilih pakaian sesuai seleranya. Nggak peduli syariat Islam, yang penting modis dan trendi. Liat aja, banyak remaja putri Islam yang udah putus urat malunya dengan berdandan ala kadarnya; bikini, tang-top, swimsuit (pakaian renang tapi sering jadi pakaian untuk konsumsi umum karena pas renang direkam kamera atau difoto lalu disebarkan di media massa), dan model dandanan lain yang memberikan peluang para lelaki iseng untuk ngejailin.

Nah, termasuk dalam urusan tingkah laku ini adalah kasus kaum LGBT. Menurut HAM, nggak dilarang. Jangankan jadi pelaku LGBT, jadi pelacur, bandit, perampok, atau mau selingkuh nggak boleh ada yang ngerecokin, terutama dilarang keras bicara atas nama agama untuk mensikapi persoalan ini. Waduh, rusak berat, kan?

Kebebasan terakhir yang tertuang dalam aturan HAM adalah kebebasan pemilikan. Ini juga sangat berbahaya. Kalo kamu merhatiin masalah di sekitar kehidupan kamu, pasti bakal geleng-geleng kepala. Kenapa? Kamu tahu hutan kan? Nah, hutan dan segala sumber daya alam di dalamnya menurut pandangan Islam adalah milik umum yang dikelola oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun apa yang terjadi? Ternyata hutan udah dikavling-kavling untuk para konglomerat yang bebas sedot sumber daya alam sesukanya. Kalo pun ada razia illegal logging alias pembalakan liar, kayaknya itu karena nggak setor aja ke kantong oknum pejabat negara. Kalo setor mah nggak bakalan diusik deh. Sama kaya perjudian dan diskotek, mereka yang digerebek biasanya yang nggak punya izin atau telat bayar setoran. Udah jadi rahasia umum, kok. Udah pada tahu. Sumpah!

Sobat gaulislam, inilah rusaknya HAM. Itu sebabnya, nggak salah-salah amat kan kalo kita bilang bahwa HAM adalah senjata atau tepatnya tameng untuk berbuat maksiat. Soalnya, banyak kaum muslimin, termasuk temen-temen remaja tentunya, ketika berbuat bejat berlindung di balik HAM. Kalo ditanya, kenapa berbuat nista begitu, “HAM dong!” Kenapa nggak shalat? “Suka-suka gua dong. Taati HAM atuh!”. Kenapa mendukung LGBT? “Semau gue dong. Lo jangan ngelarang eike, ye! Eike berbuat begini ada aturannya dalam HAM, tahu!”

Terus terang kita prihatin banget dengan kejadian-kejadian seperti ini. Jadi jelas, HAM memang melanggar HAM. Mereka yang baik dan benar serta taat syariat agama, disalahkan. Sebaliknya, yang salah malah dibela atas nama HAM. Berarti memang niat sejak awal dibentuk HAM adalah untuk merusak yang baik-baik dan mendukung yang buruk-buruk sesuai kepentingan pemilik kuasa. Ironi! [O. Solihin | IG @osolihin]