Friday, 22 November 2024, 00:59
Basic RGB

gaulislam edisi 789/tahun ke-16 (11 Jumadil Awal 1444 H/ 5 Desember 2022)

Sebelum ada media sosial, media massa menjadi senjata yang bisa diandalkan untuk memengaruhi cara pandang publik. Ketika media sosial datang, media massa perannya sedikit berkurang, walau tetap menjadi senjata yang cukup efektif untuk menyebarkan dan membentuk opini publik sesuai keinginan yang membuat dan membentuk opini tersebut.

Sayangnya, meski sempat menjadi penyeimbang, media sosial itu tergantung juga siapa yang menggunakannya. Di tangan yang salah, senjata sebagus apa pun bisa tak memiliki daya guna. Bahkan bisa menjadi ‘senjata makan tuan’. Misalnya aja nih, kamu yang wara-wiri di media sosial lebih banyak bikin konten yang ngasal asal viral, atau malah jadi produsen konten sampah demi rupiah. Intinya, senjata yang digadang-gadang bisa menyaingi media massa, malah jadi nyusahin diri penggunanya. Sementara pengelola media massa masih banyak yang konsisten memengaruhi cara pandang publik. Jadi, tetap perlu diwaspadai.

Sobat gaulislam, kerlap-kerlip budaya pop sangat mudah disalurkan lewat media massa. Baik media elektronik maupun media cetak. Dan kita, seperti patuh saja mengikuti apa yang diajarkan media massa. Jadi nggak usah heran kalo kemudian budaya yang disebarkan di media massa ditiru secara massal.

Fenomena Korean Wave atau gelombang Korea masih menjadi tren hingga saat ini. Gelombang Korea meliputi kesadaran global akan berbagai aspek kebudayaan Korea Selatan termasuk film dan televisi (khususnya drama), musik pop, komik, bahasa, dan masakan Korea. Jepang juga nggak kalah ngasih pengaruh. Disebarkan lewat media massa. Film adalah media yang banyak diminati untuk menyebarkan suatu informasi atau opini. Sampai sekarang manga, anime, dan beragam produk budaya Jepang masih eksis. Makanan dan pakaian, masih bertebaran di pasaran dalam negeri. Diawetkan oleh anak dan remaja dari generasi ke generasi.

Kamu tahu kan manga Naruto? Ya, Naruto adalah seri manga (komik Jepang) dan anime (animasi khas Jepang) karya Masashi Kishimoto. Pertama kali diterbitkan di Jepang oleh Shueisha pada tahun 1999 dalam edisi ke-43 majalah Shonen Jump. Sampai sekarang masih eksis kan, ya?

Bagaimana dengan Doraemon? Wah, zamannya ortu kamu kanak-kanak kayaknya sudah ada deh. Ya, sejak pertama kali muncul pada tahun 1969, cerita Doraemon telah dikumpulkan dan dibagi ke dalam 45 buku yang dipublikasikan sejak tahun 1974 sampai 1996, dan telah terjual lebih dari 80 juta buku pada tahun 1992. Versi pertama adalah saat manga pertamanya diciptakan pada tahun 1969 oleh Hiroshi Fujimoto di bawah nama pena Fujiko F. Fujio.

Doraemon adalah salah satu karakter manga yang paling populer di Indonesia. Animenya disiarkan oleh RCTI sejak 13 November 1988 hingga sekarang. Selain Doraemon, juga ada Ninja Hatori dan lainnya. Melalui film, budaya suatu negeri bisa ditampilkan dan bahkan bisa dijadikan rujukan. Nah, itulah mengapa media massa menjadi senjata dalam menyebarkan informasi dan pembentukan opini.

Tersebar dan berpengaruh

Kita memang nggak bisa menutup diri dari perkembangan dunia saat ini. Bahkan sulit banget menghindari informasi yang mendatangi kita. Bukti bahwa informasi itu dengan bebas mendatangi kita adalah televisi. Coba aja lihat, televisi dengan tanpa “permisi” langsung “masuk” ke rumah kita. Yup, begitu kita nyetel televisi, mau channel yang mana saja pasti menghadirkan informasi. Entah informasi yang buruk, atau pun yang baik. Meski harus diakui informasi itu lebih banyak buruknya.

Apa yang ditawarkan televisi? Rasa-rasanya sih kita semua udah pada tahu. Iya, kan? Dari mulai hiburan, informasi, sampe edukasi lebih banyak menghadirkan “sisi buruk” ketimbang yang baiknya. Nah, karena digempur terus menerus, maka nggak usah kaget atawa bingung kalo akhirnya kita merasa mendapatkan inspirasi dari informasi yang kita lihat di televisi.

Eh, sebenarnya sejak era internet, kehadiran televisi mulai berkurang peminatnya. Terutama di kota-kota besar yang terbiasa mengakses internet. Mereka beralih ke kanal Youtube, misalnya. Bahkan bisa membuat konten sendiri. Namun, televisi masih menjadi alat hiburan dan informasi di pelosok desa, karena akses internet tak semudah dan semurah di kota besar.

Ambil contoh, mungkin kita nggak pernah menyangka sebelumnya bahwa kasus bullying di kalangan pelajar nggak bakalan marak akhir-akhir ini. Setelah diberitakan ada sisi yang lain, yakni lebih buruk, menjadi inspirasi bagi sebagian orang yang melihat atau membaca berita tersebut. Ini dilema bagi media massa. Karena apa? Karena ketika diberitakan, apalagi dengan “reka ulang” dan ditayangkan di televisi, sangat boleh jadi akan menginspirasi remaja lain untuk melakukan hal yang sama jika kasus yang dialaminya sama. Tapi jika tak diberitakan, info tersebut nggak nyampe ke masyarakat. Padahal tugas media massa salah satunya adalah menyampaikan informasi.

Jadi dilema banget, kan? Di satu sisi memberitakan tapi di sisi lain malah “ngajarin” jika tidak disertai penilaian atas kasus itu dari sudut pandang hukum atau pun norma agama. Dan ternyata harus diakui pula bahwa saat ini kebanyakan pemberitaan di media massa seperti “ngajarin” atau lebih tepatnya berita yang bersangkutan malah menginspirasi pemirsa lain untuk melakukan hal yang sama dengan obyek yang sedang diberitakan. Barangkali dari sinilah dimulai proses “membebek” itu. Tragedi banget dah!

Melihat betapa ampuhnya media massa untuk membentuk opini dengan menciptakan tren dan menjadikan pembaca atau pemirsanya sebagai korban tren, membuat para konglomerat industri media menjadikannya senjata. Jika ditelusuri lebih jauh dan detil, maka akan dapat disimpulkan bahwa musuh-musuh Islam menjadikan media massa sebagai senjata “perusak moral” secara massal.

Fuad bin Sayyid Abdurrahman ar-Rifa’i (dalam bukunya yang berjudul Yahudi dalam Informasi dan Organisasi) menuliskan bagaimana kaum Yahudi memperkuat pengaruhnya lewat dominasi kantor berita, media massa, perfilman, keuangan, dan lembaga dunia. Kantor berita terbesar dunia, Reuters, dibangun keturunan Yahudi, Julius Reuters. Kantor berita besar lainnya, Associated Press, International News Service dan United Press International, juga dimiliki orang Yahudi. Bahkan, surat kabar yang tidak terlalu besar pun, seperti The Sunday Times, The Chicago Sun Times dan The City Magazine, tidak mereka lepaskan. Nggak tahu di zaman sekarang ketika internet jadi andalan, apakah media-media tersebut masih eksis.

Selain media cetak, beberapa konglomerat Yahudi berhasil merambah dunia broadcasting. Di jalur ini ada American Broadcasting Companies (ABC), Columbia Broadcasting System (CBS), National Broadcasting Company (NBC), dan Cable News Network (CNN). Dunia hiburan yang masih ada hubungan dengan media massa juga nggak dilepaskan dari kontrol Yahudi. Jajaran pengusaha top bisnis hiburan di Hollywood tercatat sebagai bagian dari jaringan media Yahudi. Sebut saja Perusahaan film Fox Company milik William Fox, Golden Company (Samuel Golden), Metro Company (Lewis Mayer), Warner & Bross Company (Harny Warner), serta Paramount Company milik Hod Dixon, merupakan perusahaan film yang punya pengaruh besar di bidangnya.

Bukan hanya itu, di AS hampir 90% pekerja film mulai dari sutradara, produser, editor, artis, dan krunya adalah orang-orang Yahudi. Luasnya keterlibatan orang-orang Yahudi di industri ini membuktikan bahwa mereka sangat mendominasi perfilman Amerika dan bahkan dunia.

Disney memiliki beberapa anak perusahaan di bidang stasiun televisi. Misalnya Walt Disney Television, Touchstone Television, Buena Vista Television. Untuk film, Walt Disney memiliki Walt Disney Picture Group. Termasuk juga Touchstone Pictures, Hollywood Pictures, dan Caravan Pictures. Disney juga memiliki Miramax Films.

Sobat gaulislam, jaringan mereka cukup kuat. Dulu, di bisnis penerbitan buku, tercatat ada tiga penerbit kaliber raksasa dan cukup berpengaruh; Random House, Simon & Schuster, dan Time Inc. Book Co. Semuanya dimiliki pemodal Yahudi. Pimpinan eksekutif Simon & Schuster, Richard Snyder dan ketuanya Jeremy Kaplan, keduanya orang Yahudi. Malah di luar penerbit yang tiga di atas, Western Publishing tercatat ada pada peringkat paling atas, yang menerbitkan buku-buku untuk anak-anak, dengan pangsa pasar yang dikuasainya 50 persen dari pangsa pasar buku untuk anak-anak yang ada di dunia. CEO Western Publishing adalah Richard Bernstein, seorang Yahudi.

Celakanya bagi kita, media massa di berbagai negara kerapkali mengambil media-media massa besar tersebut sebagai rujukan beritanya. Termasuk di negeri ini tentunya. Hasilnya, opini yang berkembang jadi seragam. Bener lho. Gimana nggak seragam, wong yang diambil dari sono, kok. Ambil contoh, media cetak di negeri kita aja suka mencantumkah sumbernya, seperti dari Reuters, CNN, AP dan lain sebagainya.

Emang sih nggak semuanya media massa dikuasai Yahudi. Tapi gawatnya, justru yang besar dan berpengaruh yang dimiliki mereka. Jadi, mau nggak mau kudu nelan mentah-mentah informasi yang diberikan mereka. Dan inget lho, film-film yang ditayangkan di televisi or di layar lebar di seluruh dunia, juga nggak lepas dari muatan yang dipesan oleh kalangan Yahudi. Paling nggak, hal itu akan memengaruhi penilaian kita dalam menerima informasi. Apalagi kemasannya begitu memikat.

Tak salah jika George Gerbner menyebutkan, “Mass Communication is the technologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continous flow of messages in industrial societies” (Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri).

Dalam kondisi seperti ini, media memang menjadi corong untuk membangun dan membentuk opini. Gawatnya, jika opini tersebut sudah diseleksi (baca: diplintir) oleh pihak yang berkepentingan untuk mewujudkan keinginannya. Hasilnya, media massa telah berubah menjadi ancaman yang sangat mengerikan.

‘Tradisi’ mengubah persepsi berlaku juga dalam tataran dunia hiburan. Kita tahu betapa gencarnya rumah produksi di Hollywood yang rata-rata dikuasai Yahudi, telah memberikan gambaran yang buruk kepada kita, kaum muslimin. Kalangan Yahudi punya semboyan: “Kita tidak sekadar memberikan pengaruh yang menentukan dalam sistem politik yang kita kehendaki serta kontrol terhadap pemerintah; kita juga melakukan kontrol terhadap alam pikiran dan jiwa anak-anak mereka”

Itu sebabnya, media massa memang senjata yang ampuh dalam menyebarkan opini. Kalo opininya baik, maka kebaikan insya Allah akan cepat menyebar. Tapi celakanya, jika opini yang digembar-gemborkan sesat dan menyesatkan, maka hasilnya pun sudah bisa dipastikan betapa dahsyatnya pengaruh opini tersebut. Jadi amat wajar jika banyak generasi kita yang tanpa sadar mengikuti apa yang diajarkan media massa. Membebek deh jadinya. Mengerikan, Bro en Sis!

So, waspadalah dengan informasi yang disampaikan pemilik media massa saat ini, jangan asal telan mentah-mentah tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Jangan juga mudah percaya dengan sebaran informasi dan opini di media sosial, karena bisa jadi juga salah. Lebih khusus lagi, jangan ikut-ikutan tren nggak bener yang disebar di media massa maupun media sosial. Bahaya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Kamu telah mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak, kamu tetap mengikuti mereka. Kami bertanya: Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani? Baginda bersabda: Kalau bukan mereka, siapa lagi?” (HR Bukhari-Muslim)

Oya, jangan juga ngajarin nggak bener kalo kamu menggunakan media sosial. Sebab, kalo itu keburukan, tetapi terlanjur viral bisa bikin rugi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Siapa saja yang mencontohkan perbuatan yang baik kemudian beramal dengannya, maka ia mendapat balasannya (pahala) dan balasan serupa dari orang yang beramal dengannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan siapa saja yang mencontohkan perbuatan yang buruk kemudian ia berbuat dengannya, maka ia mendapat balasannya (dosa) dan balasan serupa dari orang yang mengikutinya tanpa mengurangi balasan mereka sedikit pun.” (HR Ibnu Majah)

 Jadi, jangan mudah terpapar pengaruh buruk dari informasi dan opini yang disebarkan media massa, dan bijaklah menggunakan media sosial. Jadilah orang yang bisa melakukan perubahan ke arah kebaikan dengan memanfaatkan media massa dan juga media sosial. Jadikan senjata itu berguna bagi kebaikan. Setuju, ya? Harus! [O. Solihin | IG @osolihin]