Thursday, 21 November 2024, 20:39
patahcinta

gaulislam edisi 793/tahun ke-16 (9 Jumadil Akhir 1444 H/ 2 Januari 2023)

Masih hangat kasus menantu selingkuh ama mertuanya. Bukan cuma jalan bareng atau ngobrol bareng, konon kabarnya menurut informasi yang beredar luas di media sosial dan media massa, mereka udah sekamar bareng segala. Kok bisa begitu, ya? Ibu mertua malah nafsu ama suami anaknya sendiri. Celakanya, nafsunya disambut baik sang menantu. Aduh, nggak cuma ‘produknya’ yang dinikmati, ‘pabriknya’ juga dilahap. Begitu kira-kira komentar netizen di dunia maya. Ngeri.

Banyak banget kasusnya model gini, Bro en Sih. Dan, yang terbaru ini bukan satu-satunya dan bukan yang pertama. Banyak sudah sebelumnya kasus kayak gini. Ngakunya mencintai, eh nggak tahunya malah menodai. Cinta cuma jadi tameng kebejatannya. Sekadar pintu masuk untuk merusak kehormatan. Gembar gembor sampe berbusa-busa mengatakan cinta, ternyata faktanya dusta belaka. Bohong. Niatnya mau bangun rumah tangga, yang ada malah meruntuhkan kehormatan keluarga. Selingkuh jadi hal lumrah di zaman sekarang.

Di kasus yang mirip, remaja banyak yang tertipu kata-kata sakti “cinta”, yang diucapkan pacarnya. Akhirnya jadu bucin tanpa berpikir jernih. Manut aja dibawa ke mana pun sang pacar mau. Dibujuk dengan rayuan pulau kelapa, eh, dengan rayuan gombal. Bahkan diajak ngamar alias serumah tanpa ikatan nikah malah kontan nggak nolak. Aduh, bahaya bener, deh. Itu namanya bukan cinta. Sebab, kalo benar  mencintai mestinya menjaga kehormatan diri dan orang yang dicintainya. Bukan malah menodai. Itu sih dusta belaka yang didorong nafsu bejat. Waspadalah!

Bebas lalu bablas

Sobat gaulislam, ibarat kata pepatah, “tak ada asap kalo tak ada apinya”. Artinya, nggak bakal ada akibat kalo nggak ada sebab. Begitu cara berpikir sederhananya. Sesuai fakta yang bisa dijangkau. Kalo hubungan laki-laki dan perempuan dijaga, ada aturan dan batasan, maka pergaulan bebas yang kebablasan nggak bakalan terjadi. Itu artinya, kalo pergaulan antara laki-laki dan perempuan sedemikian bebas, maka akibatnya bisa bablas kayak contoh-contoh tadi.

Saling memandang itu udah jadi pintu awal perbuatan berikutnya. Awalnya mungkin saja memandang biasa, tetapi berikutnya ketika pandangan mata sudah dikendalikan setan maka yang terjadi adalah pandangan liar yang udah ditunggangi nafsu bejat. Bahaya kalo udah kayak gitu. Padahal, kita diajarkan untuk menundukkan pandangan ketika berhadapan dengan lawan jenis yang bukan mahram.

Dulu, tahun 2003, hampir dua puluh tahun silam, saya dan seorang kawan pernah menulis dan diterbitkan jadi buku dengan judul Jangan Nodai Cinta. Kamu, yang sekarang baca tulisan ini, kayaknya belum lahir waktu buku itu terbit, ya. Buku itu, di zamannya, insya Allah memberi jejak pencerahan kepada sebagian Generasi X (lahir tahun 1965-1979) dan sebagian di Generasi Y alias milenial (lahir tahun 1980-1995). Kini, kamu yang baca buletin ini, umumnya kisaran lahir di tahun 2009 (kelas 1 SMP) dan 2004 atau 2005 (kelas 3 SMA). Jadi emang udah bukan lagi generasi milineal, apalagi generasi X. Kamu udah generasi Z (lahir tahun 1996-2009). Berikutnya Generasi Alpha (yang lahir tahun 2010-sampai nanti tahun 2025).

Buat kamu yang Gen Z, yang nggak hadir saat terbit buku Jangan Nodai Cinta yang saya tulis bersama kawan saya itu, saya kutipkan sedikit sesuai tema pembahasan ini agar bisa tahu juga nuansa ‘cinta’ pada tahun-tahun itu. Termasuk karena sebenarnya pembahasan cinta adalah tema ‘abadi’.

Salah satu bab di buku Jangan Nodai Cinta adalah: Mata; Jendela Hati dan Jembatan Cinta. Saya tuliskan di sini sesuai yang ada di buku itu, dan tentunya konteks fakta di zaman itu. Namun, bisa mirip kondisinya dengan zaman sekarang. Siap-siap, ya.

Permulaan bab, tertulis begini: Dari mana datangnya cinta? Dari pandangan mata. Ya, pandangan memang pintu utama datangnya cinta. Sebagian ulama salaf mengatakan bahwa pandangan adalah panah cinta dan syahwat kepada hati. Ketika mata kita memandang ‘obyek’ yang menstimulir naluri cinta (gharizah an-nau’) maka  cinta itu akan berpendar. Misalkan saat para pirsawan pria menatap Siti Nurhaliza dalam acara Satu Jam bersama penyanyi asal Malaysia yang imut itu, maka decak kagum dan perasaan kesengsem bercampur menjadi satu. Atau ketika para gadis ABG menatap tampang cool Jerry Yan dan Vic Zhou di layar tivi dalam serial Meteor Garden semburat cinta juga muncul. Mereka pun jejeritan histeris bahkan tidak jarang pingsan ketika menyaksikannya secara live di konser.

Kalo dibanding dengan zaman sekarang kan tinggal diubah faktanya aja. Misalnya, banyak remaja putri di zaman now yang gandrung dengan para personel band K-Pop atau jajaran selebritis ganteng dan cantik di sinetron Indonesia. Iya, kan?

Nah, sebagai solusi, masih di bab itu dalam buku Jangan Nodai Cinta, ditulis seperti ini:

Itulah sebabnya Islam memberikan aturan yang demikian mendalam mengenai pandangan mata ini. Tidak lain untuk menciptakan pergaulan yang sehat dan menyelamatkan umat manusia. Terbukti hingga kini berbagai macam kejahatan seksual juga dimulai dari pandangan; bisa berupa pandangan langsung ataupun pandangan tidak langsung, seperti menyaksikan film porno, gambar-gambar yang tidak senonoh, dsb. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),“Pandangan mata itu (laksana) anak panah beracun dari berbagai macam anak panah iblis. Barang siapa menahan pandangannya dari keindahan-keindahan wanita, maka Allah mewariskan kelezatan di dalam hatinya hingga hari ia bertemu dengan-Nya.” (HR Ahmad)

Ibnu Abbas berkata: “Kedudukan setan dalam diri seorang pria itu ada di tiga tempat; dalam pandangannya, hatinya, dan ingatannya. Kedudukan setan dalam diri seorang wanita juga ada tiga; dalam lirikan matanya, hatinya dan kelemahannya.”

Pada masa masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang pria sedang berjalan-jalan ketika kemudian ia melihat seorang wanita yang menarik perhatiannya. Wanita itu pun memandangnya. Setan kemudian membisikkan godaan pada keduanya hingga keduanya terus bertatapan sampai-sampai pria itu tidak menyadari bahwa ada dinding di hadapannya. Akhirnya ia menabraknya dan hidungnya terluka. Ia berkata, “Demi Allah aku tidak akan menghapus darah sampai aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahukan pada beliau tentang kejadian ini.” Ketika ia berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan peristiwa tersebut, Allah Ta’ala pun menurunkan ayat 30-31 dari surat an-Nuur (yang artinya):

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,” (QS an-Nuur [24]: 30-31)

Sejak saat itu kaum muslimin diperintahkan untuk saling menjaga pandangan yang dapat memunculkan syahwat mereka.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah membonceng al-Fadhl bin Abbas radhiallahu ‘anhu pada saat pelaksanaan qurban dari Mudzalifah hingga ke Mina, mereka berpapasan dengan serombongan wanita yang mengendarai unta. Al-Fadhl melihat mereka dan terus menatapnya lekat-lekat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengetahui hal itu lalu membalikkan kepalanya ke arah yang lain.

Sementara itu kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu beliau juga bersabda (yang artinya), “Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan dengan pandangan lagi, karena yang pertama menjadi bagianmu dan yang berikutnya bukan lagi untukmu (yakni menjadi dosa).” (HR Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud)

    Maka hal yang paling lazim untuk membuat seseorang jatuh cinta adalah melalui pandangan. Bahkan ada orang yang dapat jatuh cinta dengan hanya pandangan pertama. Love at first sight, namanya. Kamu bisa deg-degan hanya gara-gara melihat wajah seseorang. Wajah itu pun akan terus terkenang meski kamu baru pertama kali bertemu.

Tuh, gara-gara nggak menundukkan pandangan aja jadi ribet, kan? Apalagi melanggar aturan lainnya dalam pergaulan pria dan wanita seperti: larangan khalwat (berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram); wajibnya mengenakan pakaian sempurna bagi wanita ketika keluar rumah (kerudung dan jilbab); keewajiban izin bagi wanita kepada suaminya atau walinya ketika keluar rumah; larangan safar bagi wanita tanpa disertai mahram; dan kewajiban pemisahan antara kaum pria dan wanita dalam kehidupan; serta interaksi antara pria dan wanita dalam kehidupan umum, hanya untuk urusan muamalah (pendidikan, medis, dan jual-beli). Interaksi itu pun tetap wajib dijaga dan diatur dengan syariat.

Kalo nggak diatur kayak gitu, pastilah pacaran akan tetap marak, selingkuh jadi semacam tradisi, pergaulan bebas sampai bablas dengan melakukan perzinaan dianggap biasa karena saking banyaknya. Bakal banyak remaja putri yang hamil di luar nikah (ini udah sering terjadi), rumah tangga berantakan karena suami atau istri selingkuh dengan wanita atau pria lain. Kekacauan nasab dan seabrek problem ikutan yang bikin ruwet.

Cinta sejati, taat aturan

Sobat gaulislam, meskipun untuk jatuh cinta orang tidak perlu belajar, tapi kita harus belajar cara mencintai orang dengan sehat. Itulah sebabnya, cinta membutuhkan aturan. Even love needs rules. Cinta juga adalah sebentuk tanggung jawab. Ya, cinta adalah tanggung jawab. Ketika kita berani mencintai seseorang atau sesuatu, maka kita sudah harus mendampinginya dengan tanggung jawab.

Kecintaan seseorang kepada dirinya sendiri, akan memberikan rasa tanggung jawab bahwa ia harus menjaga dan merawat dirinya sendiri. Baik secara fisik maupun mental. Ketika kita mencintai harta yang kita miliki, maka kita akan punya tanggung jawab untuk menjaga dan merawatnya. Begitu pun ketika kita mencintai seseorang; mencintai calon istri atau calon suami, mencintai anak kita, mencintai istri atau suami kita, mencintai orang tua, maka semua itu pasti melahirkan tanggung jawab. Kita akan merawatnya agar cinta yang kita taburkan bersih, suci, dan kita berkomitmen sebagai bentuk dari tanggung jawab bahwa kita berusaha untuk tak akan pernah mencederainya atau menodainya.

Oya, ada beda lho antara cinta dan seks. Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang ulama itu, ngasih penjelasan yang detil banget soal cinta. Kata beliau, cinta (dalam bahasa Arab al-mahabbah), pengertian dasarnya adalah bersih. Sebab bangsa Arab menggunakan istilah ini untuk menyebut gigi yang putih bersih. Ada juga yang bilang kalau kata al-mahabbah berasal dari akar kata al-habab, yakni air yang menguap karena hujan yang lebat. Sehingga al-mahabbah (cinta) itu bisa diartikan sebagai luapan perasaan saat dirundung kerinduan ingin bertemu kekasih. Catet deh, tuh!

Ada juga yang mengartikan al-mahabbah sebagai tenang dan teduh, seperti unta yang duduk tenang dan tidak mau bangun lagi setelah menderum. Jadi, seakan-akan orang yang sedang jatuh cinta itu merasa tenang, mantap dan tidak terlintas sedikit pun untuk beralih pada yang lain. Pengertian lain tentang cinta (al-mahabbah) adalah “bara api yang membakar hati, karena keinginan untuk bersama dengan orang yang dicintai”.

Jadi, sekali lagi, harus dipahami bahwa cinta tak sama dengan seks. Ini untuk memberikan bimbingan bahwa, ketika merasakan jatuh cinta kepada lawan jenis, bukan berarti harus dilampiaskan dengan melakukan hubungan seksual pranikah. Karena rasa cinta dengan mengekspresikan cinta adalah sesuatu yang berbeda. Rasa cinta adalah bagian dari penampakan naluri mempertahankan jenis, sementara mengekspresikan cinta adalah upaya pemenuhan dari naluri melestarikan jenis.

Oke deh, sebagai muslim kita terikat dengan akidah dan syariat Islam. Nggak boleh asal berbuat, apalagi karena dorongan hawa nafsu buruk. Jangan sampe juga bilangnya cinta, ternyata dusta. Dusta karena tak membuktikan ucapan cintanya, malah yang terjadi menodai cintanya demi nafsu bejat yang telah menyembelih akal sehatnya. Pacaran dan selingkuh itu dusta atas nama cinta, dan itu perbuatan nista. Waspadalah! [O. Solihin | IG @osolihin]