gaulislam edisi 806/tahun ke-16 (12 Ramadhan 1444 H/ 3 April 2023)
Cita-cita, mustahil, dan utopia adalah tiga konsep yang berbeda satu sama lain. Namun, ada juga yang belum bisa membedakan. Itu sebabnya, kita bahas di buletin ini. Insya Allah kita akan membahas dari sisi duniawi dan juga urusan akhirat. Maksudnya, cita-cita dimaksud di sini berkaitan dengan tujuan dunia dan juga tujuan akhirat.
Satu per satu kita bahas, ya. Cita-cita adalah sesuatu yang diinginkan atau diharapkan seseorang untuk dicapai di masa depan. Cita-cita biasanya dapat dicapai dengan usaha dan kerja keras yang tepat, meskipun mungkin memerlukan waktu dan usaha yang lama.
Misalnya aja, bila menjadi dokter adalah cita-cita kamu, maka kamu kudu melewati beberapa upaya sebagai berikut:
Pertama, pendidikan. Menjadi dokter memerlukan pendidikan yang memadai. Biasanya, untuk menjadi dokter, kamu harus menyelesaikan program pendidikan sarjana di bidang kesehatan seperti kedokteran, kedokteran gigi atau kebidanan dan ilmu kesehatan.
Kedua, setelah menyelesaikan pendidikan sarjana, kamu harus mengikuti pelatihan atau pendidikan lanjutan dalam bidang kesehatan yang terkait dengan spesialisasi yang diinginkan. Kamu juga harus mendapatkan sertifikasi untuk dapat mempraktikkan ilmu kedokteran secara legal. Sertifikasi ini dapat berupa lisensi dari lembaga pemerintah atau badan profesional di bidang kesehatan.
Ketiga, memiliki kompetensi interpersonal. Ya, menjadi dokter juga memerlukan kompetensi interpersonal yang baik, seperti kemampuan berkomunikasi dengan pasien, mengelola stres, bekerja dalam tim, dan memimpin. Hal ini dapat diperoleh melalui pelatihan dan pengalaman kerja.
Keempat, kepatuhan etika. Kamu juga harus memahami dan mematuhi etika kedokteran dan prinsip-prinsip moral dalam praktik kedokteran. Oya, menjadi dokter juga kudu sehat, dong. Jadi,
menjaga kesehatan dan gaya hidup yang sehat sangat penting.
Jadi intinya, mencapai cita-cita menjadi dokter memerlukan usaha dan ketekunan yang tinggi, serta keinginan yang kuat untuk membantu orang lain.
Apakah sudah banyak orang yang menjadi dokter? Ya, kamu bisa lihat sendiri di sekitarmu. Jumlahnya nggak bisa dihitung saking banyaknya. Itu artinya bahwa cita-cita itu bisa diwujudkan dari upaya yang kita lakukan. Tentu, kalo hakikatnya, ya karena pertolongan Allah Ta’ala.
Bagaimana dengan mustahil? Mustahil merujuk pada sesuatu yang tidak mungkin terjadi atau tidak dapat dicapai, bahkan dengan usaha dan kerja keras yang maksimal. Ini berarti bahwa mustahil adalah sesuatu yang tidak dapat direalisasikan atau dicapai secara praktis. Kalo pun pada faktanya ada yang bisa, itu faktor keberuntungan juga, sih. Misalnya ada teman kita yang komentar begini, “Bulan depan saya ingin menjadi direktur sebuah perusahaan”. Padahal, saat ini saja masih sekolah dan banyak yang meragukan kemampuannya. Jadi, rasa-rasanya mustahil kalo bisa diraih. Namun, masih menyisakan sedikit saja, mungkin setengah persen untuk bisa terwujud. Intinya, sangat sulit diraih.
Nah, kalo utopia, secara umum adalah konsep tentang masyarakat atau dunia yang ideal dan sempurna, di mana semua orang hidup dalam harmoni dan kebahagiaan. Utopia sering kali dianggap sebagai sesuatu yang ideal dan diinginkan, tetapi dalam praktiknya sulit atau bahkan tidak mungkin dicapai. Bener banget. Utopia memang menggambarkan suatu hal yang sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dicapai, seperti ingin hidup seribu tahun lagi, karena bertentangan dengan kenyataan alam dan keterbatasan manusia.
Nah, kamu mulai bisa membedakan, ya? Oke. Penjelasan singkat ini semoga bikin kamu bisa memahami perbedaan dari ketiga istilah tersebut. Konsep ini bisa diterapkan untuk tujuan duniawi dan juga akhirat, lho. Artinya, cita-cita yang kamu ingin raih bisa untuk duniawi, bisa juga cita-cita untuk kehidupan akhirat kelak.
Cita-cita tertinggi seorang muslim
Sobat gaulislam, Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menuturkan penjelasan menarik dalam Kitab Fawaidul Fawaid (terjemahan, hlm. 424), bahwa sejak lahir hingga wafat nanti kita masih terus berjalan menuju Allah. Kita baru akan turun dari tunggangan ketika hari perjumpaan dengan-Nya tiba. Jalan menuju Rabb Yang Mahakuasa sudah begitu jelas bagi hamba, tetapi kekeruhan hati membuat banyak dari mereka yang tersesat di jalan kebinasaan. Karena itu, tetaplah fokus menuju Allah dan perbanyaklah perbekalan Anda untuk menghadap-Nya kelak.
Beliau melanjutkan penjelasannya, bahwa untuk meraih cita-cita yang tinggi, ada syarat yang harus kita tunaikan. Cita-cita yang tinggi hanya bisa dicapai dengan semangat yang tinggi dan niat yang benar. Jadi, siapa saja yang tidak memiliki kedua hal tersebut, sulit baginya untuk menggapai cita-citanya.
Apabila semangat seseorang untuk meraih cita-citanya begitu tinggi, maka semangatnya hanya akan terkait dengan cita-citanya tinggi itu, dan tidak akan terkait dengan hal lainnya. Apabila niatnya sudah benar, maka niatnya akan menggerakannya untuk menempuh jalan yang dapat menyampaikannya kepada cita-citanya.
Dengan demikian, niat akan melapangkan jalan yang akan dilaluinya, sedangkan semangat akan memfokuskannya pada cita-cita yang ingin dicapainya. Jika jalan ini sudah tersambung kepada tujuan atau cita-cita yang ingin diraih, maka dipastikan tujuan atau cita-cita tersebut akan tercapai.
Akan tetapi, apabila semangatnya untuk meraih cita-citanya rendah, maka semangatnya akan terkait dengan hal-hal yang rendah pula dan tidak akan terkait dengan tujuan yang tinggi. Apabila niatnya untuk menggapai cita-cita tidak benar, maka jalan yang ditempuhnya tidak akan bisa mengantarkannya pada cita-citanya.
Maka, pokok permasalahan dalam hal ini terletak pada semangat dan niat. Keduanya merupakan perkara yang harus dipenuhi oleh orang yang ingin meraih cita-cita, sekaligus merupakan jalan yang harus ditempuh untuk sampai pada tujuan (Fawaidul Fawaid, hlm. 425)
Itu sebabnya, untuk meraih cita-cita tertinggi bagi seorang muslim, yakni surga, maka niatnya harus benar dan semangat kudu tinggi untuk meraih cita-citanya tersebut. Ini bakalan menentukan hasil akhirnya. Nggak mungkin banget kita pengen dapetin surga, tetapi shalat aja masih jarang dilakukan, atau jika pun dilakukan masih sering ditunda-tunda sehingga nggak selalu tepat waktu, sedekah tak pernah, zakat nggak mau, dan boro-boro puasa. Aduh, itu gimana urusannya kalo ada yang model gini? Cita-citanya ingin dapetin surga tetapi upayanya nggak ada. Itu namanya sekadar angan-angan. Sebab, orang yang berharap itu sambil beramal. Kalo cuma berharap tanpa beramal, namanya sekadar angan-angan.
Kalo ada yang berpikir bahwa Allah Ta’ala adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, lalu bilang “nggak apa-apa kok kalo nggak beramal, Allah Ta’ala itu Maha Pengampun”. Betul memang. Tapi untuk siapa? Untuk orang beriman yang mengetuk pintu ampunan-Nya. Bukan untuk yang tak pernah beramal dan tak pernah minta ampunan kepada Allah Ta’ala. Betul bahwa bisa masuk surga itu bukan semata karena amal shalih kita, tetapi karena rahmat dan ampunan dari Allah Ta’ala. Nah, persoalannya bagaimana bisa mendapatkan rahmat dan ampunan kalo kita tak pernah beramal shalih? Mustahil ini namanya karena sekadar berangan-angan saja. Hati-hati, lho.
Dalam hadits disebutkan (yang artinya), sesungguhnya Abu Hurairah berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.” “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.” (HR Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816)
Sedangkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabbmu dan surga yang lebarnya selebar langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS al-Hadiid [57]: 21)
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa surga itu disediakan bagi orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Berarti ada amalan. Eh, jangan bingung dulu, ya. Seolah ada pertentangan antara al-Quran dan hadits. Kita cari tahu pendapat ulama.
Nah, ini ada penjelasan menarik dan bagus dari Imam Nawawi rahimahullah (yang dinukil dari laman rumaysho.com), “Ayat-ayat al-Quran yang ada menunjukkan bahwa amalan bisa memasukkan orang dalam surga. Maka tidak bertentangan dengan hadits-hadits yang ada. Bahkan makna ayat adalah masuk surga itu disebabkan karena amalan. Namun di situ ada taufik dari Allah untuk beramal. Ada hidayah untuk ikhlas pula dalam beramal. Maka diterimanya amal memang karena rahmat dan karunia Allah. Karenanya, amalan semata tidak memasukkan seseorang ke dalam surga. Itulah yang dimaksudkan dalam hadits. Kesimpulannya, bisa saja kita katakan bahwa sebab masuk surga adalah karena ada amalan. Amalan itu ada karena rahmat Allah. Wallahu a’lam.” (Syarh Shahih Muslim, jilid 14, hlm. 145)
Jadi kita masuk surga bukan semata-mata dengan amalan kita. Amalan kita itu bisa ada karena taufik Allah. Taufik Allah itulah karunia dan rahmat-Nya. Jadi, amalan itu ada karena karunia dan rahmat-Nya. Hanya Allah yang memberi taufik. Nah, ini penjelasannya, ya. Itu sebabnya, bersyukurlah jika kita termasuk orang yang dimudahkan dalam beramal.
Maka, kalo cita-cita tertinggi bagi kita seorang muslim adalah meraih surga, maka cara yang bisa diupayakan adalah dengan beriman dan beramal shalih. Tentu menjadi mustahil kalo pengen langsung masuk surga (tanpa mampir di neraka) tetapi amal shalihnya minim. Apalagi yang halu alias utopia banget, nggak beriman dan nggak beramal shalih tetapi pengen masuk surga. Jangan sampe kita berbuat yang demikian. Masuk surga adalah cita-cita tertinggi. Cita-cita masih bisa diupayakan. Sudah dijelaskan ya cara-caranya tadi, intinya beriman dan beramal shalih. Detilnya tentu kita jauhi maksiat dan berlomba dalam kebaikan (beramal shalih).
So, untuk meraih cita-cita duniawi saja perlu upaya keras dan cerdas, apalagi untuk cita-cita di akhirat yang ingin mendapat surga secara langsung (tanpa mampir dulu ke neraka). Iya, kan? Jangan berangan-angan tanpa amal shalih karena itu mustahil. Apalagi tanpa iman dan tanpa amal shalih, itu utopia namanya. Bahaya. [O. Solihin | IG @osolihin]